The Alchemists: Cinta Abadi

Keputusan Ren



Keputusan Ren

0Setelah seminggu menenangkan diri, Fee tetap tidak merasa tenang. Ia merasa kuatir akan keadaan Ren. Ia tahu Ren punya masalah insomnia yang sangat parah sebelum bertemu dirinya. Bagaimana suaminya tidur selama seminggu ini? Apakah dia baik-baik saja?     

"Nyonya, masih tidak enak badan?" tanya Linda yang menghampiri Fee di kamarnya. Gadis itu tampak lemah karena tidak enak badan dan seminggu terakhir kurang tidur.     

Fee menggeleng. "Aku tidak apa-apa."     

"Nyonya sudah seminggu ini kelihatannya sakit. Apa perlu kita panggil dokter Henry?" tanya Linda lagi.     

"Aku tidak apa-apa," kata Fee lagi. Ia menerima teh dari Linda dan menyesapnya pelan. Ia lalu menoleh kepada kepala pelayannya itu dan bertanya. "Linda, kau bilang kau telah mengenal suamiku sejak ia masih kecil. Apakah kau tahu di mana saja tempat tinggal miliknya?"     

Linda menatap Fee keheranan. "Nyonya tidak tahu?"     

Fee menjadi malu mendengar pertanyaan itu. Benar. Bukankah ia istri Ren? Mengapa ia tidak tahu apa saja aset suaminya?     

Ah.. ia tidak pernah bertanya karena ia tak ingin dianggap mata duitan dan mementingkan harta. Tetapi sudah seminggu Ren tidak pulang ke rumah mereka dan ia mulai kuatir. Bagaimana kalau Ren kembali tidak bisa tidur?     

Akhirnya, Fee menggeleng. "Aku tidak tahu. Ia pergi ke apartemennya di pusat kota tetapi aku tidak tahu alamatnya."     

"Uhm.. Nyonya bisa minta diantarkan John. Kurasa John akan dengan senang hati mengantar Anda," kata Linda memberi saran. "Kalau Tuan pergi karena Tuan dan Nyonya bertengkar, kusarankan Nyonya untuk menunggu saja. Tuan pergi karena ia perlu waktu sendiri."     

"Ah.. aku pikir juga begitu. Tetapi ini sudah seminggu lebih," kata Fee. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."     

"Tuan tidak apa-apa, Nyonya. Beliau pagi ini berangkat ke Belanda. Ada urusan selama akhir pekan. Ada Karl yang menemaninya," kata Linda sambil tersenyum. "Sekarang Nyonya perhatikan kesehatan Nyonya sendiri saja. Agar Tuan tidak bertambah beban pikirannya."     

"Ren ke Belanda? Kenapa dia tidak bilang?" Fee sangat terkejut mendengar keterangan Linda. Biasanya suaminya selalu memberitahunya kalau ia ada kunjungan keluar negeri.      

Apakah Ren sedang menghukumnya karena ia tidak menuruti kata-kata pria itu minggu yang lalu?     

Tiba-tiba saja Fee merasakan dadanya sesak. Wajahnya menjadi pucat dan air matanya kembali menggenang. "Aku mau beristirahat dulu, Linda. Terima kasih atas tehnya."     

Linda yang mengerti bahwa majikannya sedang bersusah hati hanya bisa membungkuk hormat dan meninggalkan Fee seorang diri. Setelah Linda pergi, Fee mengambil ponselnya dan mencoba memencet sebuah nomor dengan air mata berlinang.     

***     

saat itu Ren sedang bersiap-siap hendak keluar hotelnya. Ia mengenakan syalnya dan mantel musim gugur. Angin di Belanda selalu lebih menusuk daripada di Moravia, sehingga ia mengenakan mantel yang lebih tebal dari biasanya.     

Ia hendak menutup laptopnya ketika pandangannya menangkap sosok Fee di layarnya tampak sedang menangis. Gadis itu sedang mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.     

Apakah Fee akan menelepon Mischa?     

Entah kenapa lagi-lagi dadanya dikuasai kemarahan. Selama seminggu ini ia memperhatikan Fee mengurung diri dan tidak kemana-mana. Gadis itu beberapa kali mengirim SMS kepadanya tetapi Ren hanya membalas sekadarnya. Ia masih belum tahu apa yang harus dilakukannya kepada Fee. Ia tak mau mengambil keputusan yang salah dan terburu-buru.      

Ia tahu Fee tidak mengirim SMS ataupun telepon kepada orang lain, ia dapat dengan mudah melacak ponsel gadis itu.      

TUT     

TUT     

Tiba-tiba saja dada Ren serasa diguyur air dingin ketika ponselnya berbunyi dan ia menyadari bahwa ternyata Fee menelepon dirinya.     

Oh...      

"Ada apa?" tanya Ren setelah mengangkat ponselnya.     

"Linda mengatakan kau pergi ke Belanda. Kenapa tidak bilang kepadaku?" tanya Fee. "Apakah kau baik-baik saja?"     

Ren tertegun sesaat mendengar kata-kata Fee.     

Kau masih saja menguatirkan aku? Kenapa kau tidak menguatirkan dirimu sendiri? Seminggu ini kau hampir tidak tidur... pikir Ren dalam hati.     

"Aku ada urusan penting di Belanda. Kau tak usah memikirkanku. Aku baik-baik saja," akhirnya Ren menjawab dengan suara datar.     

"Apakah kau bisa tidur? Bukankah kau punya insomnia parah?" tanya Fee cemas.     

Terdengar suara tawa kecil dari ujung telepon. "Fee, aku sudah hidup selama 30 tahun tanpamu dan aku baik-baik saja. Tidur bukanlah yang terlalu penting buatku. Jangan mentang-mentang karena kau bisa membantuku tidur lebih baik kau mengira aku menjadi tergantung kepadamu. Aku baik-baik saja."     

Fee terpana mendengar kata-kata Ren yang diucapkan dengan nada datar, tetapi terdengar di telinganya begitu dingin menusuk. Inikah rasanya menghadapi Ren yang dingin dan ketus seperti yang banyak dikenal orang?     

"Kenapa kau bersikap seperti ini?" tanya Fee. "Apakah aku, sebagai istrimu tidak boleh menguatirkanmu?"     

"Fee, aku rasa kau tahu apa yang membuatku seperti ini," kata Ren. "Aku masih memikirkan apa yang harus kita lakukan kalau kau mendapatkan keinginanmu."     

"Kau benar-benar tidak menginginkan anak dariku?" tanya Fee dengan suara tercekat.     

"Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa kita tidak dapat memiliki anak hingga empat tahun ke depan dan kau sudah setuju. Aku tidak dapat menerima bahwa kau mengingkari janjimu setelah satu tahun saja," kata Ren. "Kalau kau sudah melanggar janji ini... aku tidak dapat mempercayaimu dengan yang lain-lain. Pernikahan tanpa rasa percaya sebaiknya tidak diteruskan."     

Fee menggigit bibirnya. Ia tidak dapat menyangkal kata-kata Ren. Memang dirinya yang telah melanggar janji.     

"Tetapi kau yang melakukannya. Aku tidak memaksamu..." kata Fee. "Aku hanya menolak minum obat pencegah kehamilan."     

"Dan aku tidak dapat memaksamu meminumnya..." kata Ren dengan suara lelah. Ia memejamkan mata. Ia sebenarnya dapat membuat Linda memasukkan obat tersebut diam-diam di minuman Fee, tetapi entah kenapa ia tidak juga melakukannya. Dan kini setelah seminggu berlalu, obat apa pun sudah tidak berguna.     

Ia hanya dapat berharap Fee tidak hamil.     

"Jadi, kau mau berpisah dariku?" tanya Fee dengan nada suara bergetar.     

"Kalau kau hamil, kau dapat melakukan apa pun yang kau inginkan. Aku tidak dapat bersamamu lagi. Tetapi kalau kau tidak hamil, aku akan memberimu kesempatan sekali lagi dan kita akan melupakan semua kejadian ini," jawab Ren masih dengan suara datar. "Dan kuharap.. ke depannya kau tidak akan ingkar janji lagi."     

Ini dapat menjadi ujian cinta bagimu, Fee. Kalau kau sangat mencintaiku dan ingin selalu bersamaku... kau akan melakukan apa pun untukku.     

Kalau ternyata kau mengandung... apakah kau akan menggugurkan kandunganmu dan berpura-pura bahwa tidak ada kehamilan agar kau dapat kembali kepadaku?     

Kalau benar.. maka tanganku bersih. Bukan aku yang melakukannya. Kau yang mengugurkan anakmu sendiri, demi seorang laki-laki.     

"Kalau aku hamil.. berarti... kau ingin berpisah?" tanya Fee sekali lagi, menegaskan kata-kata Ren.     

"Kau punya telinga, kan?"      

Fee menahan dadanya yang sesak dengan tangan kanannya. Ia belum pernah merasakan perlakuan sedingin ini dari suaminya. Kemana perginya Ren yang penyayang dan selalu bersikap hangat kepadanya?     

"Baiklah.. aku hanya ingin kepastian. Aku akan memikirkannya," kata Fee.     

***     

"Nona... Tuan datang!" bisik pelayan setia Sophia sambil menggamit pinggang gadis cantik itu. Sophia yang sedang sibuk membaca sesuatu di ponselnya mengangkat wajah dan melihat ke arah pintu.     

Wajahnya seketika bersinar-sinar gembira. Pria itu datang!     

Sophia sudah setahun ini tidak bertemu dengannya dan mulai merasa resah. Ia ingin tahu kapan mereka akan melakukan sesuatu. Bukankah sudah lima tahun berlalu? Tidak.. malah sudah 5,5 tahun sejak mereka mengambil Vega dari keluarganya. Ia tidak sabar melihat keluarga Alaric menjadi semakin menderita saat mereka melihat anak perempuannya mati.     

Dua orang pria melangkah masuk ke kafe milik Sophia. Yang seorang berumur sekitar 40-an dan berwajah tampan dengan tubuh tinggi besar dan pakaian yang rapi. Di sampingnya ada seorang pria muda yang berpakaian kasual, seperti seorang mahasiswa yang sedang dipusingkan dengan ujian. Wajahnya sangat tampan tetapi ekspresinya masam.     

"Tuan, kenapa tidak bilang kalau Anda akan datang?" sapa Sophia dengan suara merdunya. "Aku sangat merindukanmu."     

Lelaki berumur 40-an itu hanya melambaikan tangannya dengan acuh. "Aku kebetulan lewat. Kau bisa menemani kami minum di sini. Sudah lama sekali."     

"Benar, sudah lama sekali," kata Sophia dengan gembira. Sudut matanya berusaha memperhatikan jalan dan sekitar kafenya, untuk memastikan tidak ada orang yang mengawasinya.     

Laki-laki itu tertawa kecil melihat sikap waspada Sophia. "Skia sudah membereskan semuanya. Mereka tidak lagi mencurigaimu. Sudah setahun lamanya mereka tidak lagi mengawasi kafe ini."     

"Oh, benarkah?" Wajah Sophia seketika menjadi cerah. "Aku senang mendengarnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.