The Alchemists: Cinta Abadi

Ren, Apakah Kau Mencintaiku?



Ren, Apakah Kau Mencintaiku?

0Fee terdiam. Ia tidak tahu apakah sebaiknya ia memberi tahu Ren tentang apa yang didengarnya dari balik jendela tadi... atau menyimpannya sendiri. Akhirnya ia hanya menggeleng dan menolak melanjutkan pembicaraan mereka.     

"Aku tidak bermaksud apa-apa..."     

Ren tahu bahwa Fee sedang tidak jujur kepadanya, tetapi ia tidak mendesak gadis itu.     

"Baiklah. Kalau begitu, aku akan membuatkan rekening baru untukmu, dan mulai besok aku sendiri yang akan mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan dirimu. Amelia tidak akan ikut campur sama sekali," kata pria itu kemudian. Fee tertegun mendengar kata-katanya. Ia sama sekali tidak mengira Ren akan berkata demikian. Ren tidak berhenti di sana. Ia masih melanjutkan kata-katanya. "Amelia juga dilarang datang ke rumah ini."     

"Kau..." Fee tidak tahu harus bicara apa. Perasaannya menjadi campur aduk. Tadi ia merasa sedih saat mengetahui dari mulut Ren sendiri bahwa pria itu tidak mencintainya, tetapi saat Ren memperhatikan keluhannya tentang Amelia dan mengambil tindakan, mau tidak mau Fee merasa tersentuh.     

"Kau tidak setuju?" tanya Ren.     

"Bukan begitu..." Fee menelan ludah. "Kenapa kau melakukan ini? Kau sendiri yang bilang bahwa kau tidak pernah mau mengurusi hal-hal seperti itu."     

Ren mengangkat bahu. "Karena kau istriku dan Amelia membuatmu kesal. Aku tentu harus memperhatikan perasaanmu."     

Fee tertunduk sambil mempermainkan jari-jarinya. Walaupun Ren tidak mencintainya, tetapi pria itu memperlakukannya dengan sangat baik. Ia juga memperhatikan perasaan Fee.     

Apakah Fee bisa menerima kehidupan pernikahan seperti ini? Mencintai seseorang secara sepihak?     

"Terima kasih. Aku sangat menghargainya." Akhirnya Fee menarik napas dan mengangguk. "Tetapi, kalau boleh.. aku tetap ingin mencari pekerjaan. Aku ingin mendapatkan kesibukan dan belajar mandiri. Kuharap kau tidak keberatan."     

Sebenarnya Ren sangat keberatan. Namun saat melihat tatapan Fee yang begitu sungguh-sungguh, akhirnya ia mengalah.     

"Baiklah. Tapi hanya pekerjaan part time, dan sebelum kau menerima sebuah tawaran, kau harus membicarakannya denganku."     

Fee mengangguk. "Aku akan melakukannya."     

Demikianlah, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Ren menyetujui permintaan Fee dan tidak mengekangnya sama sekali. Ia berharap setelah beberapa lama, Fee akan menyadari bahwa hidup enak di rumah besar tanpa harus bekerja akan lebih menyenangkan daripada hidup seperti orang biasa.     

"Aku akan mulai melihat-lihat lowongan," kata Fee sambil bangun dari pangkuan Ren. "Kau masih mau beristirahat? Obat yang diresepkan dokter Henry sudah kuberikan kepada Linda. Apakah ia sudah memberikannya kepadamu?"     

Ren mengangguk. "Sudah. Terima kasih."     

"Sama-sama. Aku mau jalan-jalan sebentar untuk menurunkan makan siangku." Tanpa menoleh, Fee lalu berjalan meninggalkan ruang makan. Sikapnya sungguh membuat Ren keheranan. Keningnya berkerut dan mencoba memikirkan apa gerangan yang membuat Fee berubah sikap.     

Apakah terjadi sesuatu antara tadi pagi dan siang ini? Pikirannya mengingat-ingat berbagai kemungkinan. Wajah tampannya tampak berpikir keras saat ia berjalan ke kamar untuk mengambil laptopnya.     

Ia membuka tirai yang menutupi jendela besar di kamar mereka untuk melihat pemandangan taman. Saat itulah pandangannya tertumbuk pada sosok Fee yang sedang berjalan kaki ke taman sambil membawa sebuah keranjang rotan.     

Gadis itu tampak begitu sempurna berjalan di antara tanaman bunga beraneka warna. Ia benar-benar terlihat seperti peri bunga yang anggun dan mempesona.     

Ia tadinya hendak membawa laptopnya untuk pergi bekerja di ruang kerjanya, tetapi saat melihat sosok Fee di kejauhan, Ren akhirnya memutuskan untuk bekerja di kamar, dengan membiarkan tirainya terbuka, agar ia bisa melihat gadis itu sewaktu-waktu.     

Saat ia duduk di sofa dan membuka laptopnya, tiba-tiba sebuah pikiran terbetik di benaknya. Apakah tadi Fee sempat mendengar pembicaraannya dengan Amelia di telepon?     

Kalau memang benar, ia bisa mengerti kenapa Fee tiba-tiba terlihat sedih dan gusar. Ia ingat percakapannya dengan Amelia tadi memang tidak terdengar positif bagi Fee.     

Ahh... pria itu hanya bisa menarik napas panjang. Ia tidak dapat lagi berkonsentrasi bekerja. Kepalanya tiba-tiba kembali terasa sakit. Ren akhirnya memutuskan untuk meminum obat dari dokter Henry dan membaringkan diri di tempat tidur.     

Ketika mereka bertemu kembali di meja makan saat makan malam tiba, sikap Ren telah menjadi biasa. Ia sama sekali tidak membahas tentang dugaannya bahwa Fee mendengar pembicaraannya dengan Amelia di telepon.     

Ia memutuskan untuk membereskannya dengan cara lain.     

***     

Selama dua hari berikutnya, Ren banyak menghabiskan waktu untuk memulihkan diri dengan beristirahat, sementara Fee berdiam di perpustakaan untuk membaca atau mengurusi taman. Ia masih merasa perlu untuk menata hati, sambil ia dapat memutuskan bagaimana ia harus mengambil sikap.     

Fakta bahwa ia tidak dicintai suaminya, memang menyakitkan, tetapi di satu pihak, Ren tidak memperlakukannya dengan buruk. Fee merasa bersalah jika ia menuntut berlebihan. Ia tahu dirinya juga bersalah.     

Sedari awal, Ren memang tidak pernah menyatakan cinta kepadanya. Pria itu selalu mengatakan bahwa ia menyukai kehadiran Fee dan gadis itu membuatnya nyaman dan damai, sehingga ia bisa beristirahat.     

Fee sendiri yang jatuh cinta kepada Ren, dan ketika pria itu melamarnya, ia tidak berpikir panjang, langsung menerima. Wanita mana yang tidak merasa tersanjung ketika laki-laki yang mereka kagumi dan cintai menyatakan ingin menikah dengan mereka?     

Akhirnya setelah memikirkannya baik-baik, Fee pun mengambil keputusan.     

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Ren saat melihat Fee mengerutkan keningnya dan berpikir keras.     

Mereka sedang bersiap tidur. Ren telah meminum obatnya, sementara Fee tampak masih duduk di tepi tempat tidur. Gadis itu sedang mencari cara terbaik untuk membicarakan isi hatinya kepada Ren.     

"Ren... kita sudah berapa lama kenal?" tanya gadis itu kemudian.     

Ren tampak berpikir dan mengingat-ingat sesuatu. "Satu setengah bulan."     

"Kau ini impulsif ya.. melamarku saat kita baru kenal sebulan," kata Fee sambil tersenyum.     

"Kalau begitu kau juga impulsif," balas Ren. "Aku kan tidak menikah sendirian. Aku memintamu menjadi istriku dan kau bersedia. Aku tidak memaksamu, aku juga tidak menjebakmu."     

"Itu benar." Fee mengakui bahwa keputusan akhir ada di tangannya. Bagaimanapun Ren akan bertindak, tetapi pada akhirnya Fee yang menentukan apakah mereka akan menikah atau tidak. "Lalu bagaimana pendapatmu tentang keputusan impulsifmu itu. Setelah dua minggu menikah... apakah kau memiliki penyesalan?"     

Ren menatap Fee lekat-lekat sebelum kemudian menjawab, "Sama sekali tidak."     

"Benarkah?" Fee bertanya lagi hendak memastikan. Ia mendesah lega ketika Ren mengangguk tanpa ragu. Ia lalu bertanya lagi. "Apakah kau memiliki keluhan terhadapku? Apakah ada sikapku yang kurang sebagai istrimu? Aku ingin mencoba memperbaiki diri kalau memang kau merasa ada hal-hal yang kurang mengenakkan."     

"Aku tidak menemukan hal yang kurang dari dirimu, Fee," kata Ren dengan sabar. "Beberapa hari terakhir, sikapmu berubah dan kau tampak tidak bahagia. Saat kau tidak bahagia, maka suasana rumah ini pun menjadi tidak lagi bahagia. Aku sedang berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi dan mengganggu pikiranmu. Aku ingin kau kembali ceria dan bahagia seperti biasanya."     

Mendengar ucapan Ren yang sangat sungguh-sungguh, Fee menjadi memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya dan apa yang membuatnya terganggu selama beberapa hari ini.     

"Ren.. apakah kau mencintaiku?" Fee memegang kedua tangan suaminya dan menatap pria itu dengan wajah tertekan. "Atau.. kalau kau belum mencintaiku.. apakah ada kemungkinan kau akan dapat mencintaiku di masa depan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.