The Alchemists: Cinta Abadi

Makan Malam



Makan Malam

0Mereka makan sandwich dan bergantian minum wine dari botol sambil menyaksikan matahari terbenam dan lampu-lampu Menara Eiffel yang mulai dinyalakan. Keduanya berbincang-bincang tentang apa saja dan suasana terasa begitu hangat.     

"Apakah kau sudah tahu apa yang ingin kau lakukan?" tanya Mischa kepada Vega sambil menyerahkan botol wine yang barusan diminumnya. "Selama ini kan kau tinggal di rumah untuk memulihkan diri. Sekarang ayahmu sudah mengizinkanmu keluar      

Vega menerima botolnya sambil tersenyum. Ia meneguk sekali lalu menjawab pertanyaan Mischa. "Aku rasa aku akan bepergian dan melihat dunia, sama seperti yang dilakukan kakekku. Ada enam tahun waktu yang hilang dalam hidupku dan aku ingin mengisinya dengan melihat dunia."     

"Kau masih tidak bisa mengingat apa pun dari masa enam tahun itu?" Mischa bertanya dengan hati-hati. Vega menggeleng.     

"Aku sudah menanyakan kepada keluargaku berkali-kali, tetapi jawaban mereka selalu sama. Mereka juga tidak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya senang aku pulang dengan selamat."     

"Apakah tidak dapat mengingat masa lalu itu sangat mengganggumu?" tanya Mischa lagi. "Bagaimana kalau kau sengaja melupakannya karena masa lalumu sangat sedih atau menyakitkan?"     

Vega tertegun mendengarnya. Ia memang pernah berpikir seperti itu, tetapi tidak pernah terlalu jauh.     

"Terapis mengatakan tidak ada trauma atau semacamnya," kata Vega. "Aku menjalani terapi cukup intensif selama berbulan-bulan. Kurasa kalau memang ada peristiwa menyakitkan atau sangat sedih yang menimpaku, aku pasti akan terpengaruh. Tapi buktinya.. aku sampai sekarang masih baik-baik saja."     

Tiba-tiba terdengar suara lantunan musik La Vien Rose di udara, seiring dengan permainan lampu di Menara Eiffel yang sangat indah. Mischa menoleh dan melihat ke arah asal suara, yang ternyata menara tertinggi di Prancis itu.     

Vega ikut menoleh, mengikuti arah pandangan pemuda itu. Sekilas, Mischa memang terlihat seperti sedang memperhatikan menara Eiffel, tetapi sebenarnya ia sedang menatap ke arah yang lebih jauh.     

Suaranya terdengar sungguh-sungguh saat ia bicara. "Kalau kau memiliki kesempatan untuk melupakan hal yang sangat buruk yang terjadi kepadamu, apakah kau akan mengambilnya?"     

Ia lalu menoleh ke arah Vega dan menatap gadis itu dengan wajah serius. "Kau tahu cerita tentang kotak Pandora kan?"     

Vega mengangguk. "Aku tahu."     

"Kurasa keluargamu hanya ingin membantumu melupakan peristiwa buruk yang menimpamu dengan tidak mengorek luka masa lalu. Selama kau sehat dan hidup bahagia, kurasa itu sudah cukup bagi mereka."     

Vega mendesah. Ia tidak pernah membicarakan ini sebelumnya dengan orang tua dan kakaknya, tetapi ia kadang-kadang merasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya selama ia hilang. Di mana ia tinggal? Siapa yang ia temui? Bagaimana ia bisa tetap hidup selama ini?     

Baru kali ini ia menyuarakan keresahannya kepada orang lain. Ia merasa sangat nyaman berbicara dengan Mischa. Mungkin karena lelaki itu bukan anggota keluarganya yang akan ikut menjadi cemas jika ia membagikan perasaan galaunya.     

"Aku hanya bertanya-tanya saja... Kurasa suatu hari nanti aku akan dapat berdamai dengan apa yang terjadi di masa lalu dan membiarkannya," kata Vega akhirnya.     

"Sebenarnya, Vega.. yang paling penting sekarang adalah, apakah kau bahagia atau tidak...." kata Mischa. "Kalau kau bahagia, nikmati saja hidupmu. Anggap kau diberi kesempatan untuk memulai lembaran baru yang kosong, dan kau dapat menulisinya dengan apa pun yang kau inginkan."     

Vega termenung sejurus mendengar kata-kata Mischa. Benar juga. Saat ini hidupnya baik-baik saja dan ia bahagia. Mengapa ia harus terpaku pada apa yang tidak ada?     

Kalau memang terjadi hal buruk kepadanya selama ia diculik, bukankah lebih baik jika ia melupakannya? Ribuan orang korban pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan korban kejahatan lainnya berharap mereka dapat melupakan peristiwa buruk yang menimpa mereka.     

Orang-orang itu hidup dengan trauma berkepanjangan, seumur hidup mereka. Sebagian ada yang berhasil memulihkan diri mereka dan melanjutkan hidup, tetapi peristiwa buruk itu akan terus mengikuti mereka seumur hidup... dalam bentuk ingatan.     

Kalau memang Vega mengalami pelecehan, atau penganiayaan yang membuatnya sangat trauma dan ingin melupakannya... bukankah ia harus bersyukur karena ia memperoleh kesempatan itu?     

Kalau ia memaksakan diri dan akhirnya mengingat apa yang terjadi di masa lalu... lalu mendapati bahwa semuanya ternyata sangat menghancurkan hati, apakah ia akan dapat bahagia?     

Akhirnya Vega mendesah dan mengambil botol wine dari tangan Mischa. Ia meneguk sangat banyak red wine hingga isi botolnya hampir habis. "Kakak benar. Aku seharusnya bersyukur dan menjalani hidupku ke depan. Yang terjadi sudah berlalu, dan aku juga tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengubahnya."     

Mischa tercengang melihat wine di botol sudah hampir habis. "Kau minum banyak sekali. Nanti perutmu sakit."     

Ia mengambil botol wine dari tangan Vega dan menarik tangan gadis itu untuk berdiri. "Ayo kita pulang. Aku akan memasak untukmu agar kau dapat makan makanan yang layak untuk mengurangi efek minumannya."     

"Tapi ini belum gelap," protes Vega. "Matahari belum selesai terbenam."     

"Tadinya aku akan menunggu di sini bersamamu sampai matahari terbenam, tapi kau minum banyak sekali barusan. Aku kuatir kalau tidak segera makan, nanti perutmu akan sakit."     

Vega yang tadinya hendak protes mengurungkan niatnya. Entah kenapa ia tidak dapat menolak kata-kata Mischa. Pria itu benar. Seharusnya tadi ia tidak menghabiskan wine mereka. Sandwich kecil yang tadi dimakannya tidak cukup untuk mengganjal perutnya.     

Mischa menarik tangan Vega berjalan kembali ke mobilnya yang diparkir di seberang Champ De Mars. Setelah membukakan pintu bagi Vega dan memastikan gadis itu duduk dengan baik. ia lalu masuk ke bangku pengemudi dan menjalankan mobilnya.     

***     

Di dapur penthouse terdapat berbagai bahan makanan segar yang disediakan oleh pihak hotel setiap hari. Mischa sengaja memilih memasak steak agar cepat. Ia tak mau perut Vega sakit karena menunggu makanan yang lama dimasak sementara lambungnya telah terisi wine cukup banyak.     

"Ada yang bisa kubantu?" tanya Vega.     

"Bantu buat saladnya saja," kata Mischa. Ia menunjuk tumpukan sayuran dan salad dressing di sudut konter dapur. "Cukup irisi sayur-sayuran ini dan kemudian tambahkan dressingnya."     

"Baiklah."     

Dengan sigap Vega lalu membuat salad dan dan menuangkan salad dressing seperti yang diminta Mischa, sementara pria itu mengambil celemek yang tergantung di pintu kulkas dan mengenakannya.      

Ia lalu menyalakan kompor dan menaruh wajan anti lengket dengan sedikit mentega di atasnya. Setelah panasnya cukup, ia lalu menaruh dua buah daging steak organik untuk dipanggang. Tidak sampai tiga menit, ia membalik steaknya dan memanggang sisi satu lagi.     

Dalam waktu tidak terlalu lama, dua buah steak dan salad sudah tertata cantik di piring porselen di meja makan. Mischa mengambil infused water dari dalam kulkas dan menuangkannya untuk dirinya dan Vega.     

"Kita tadi sudah minum wine banyak, jadi makan malamnya dengan infused water saja, ya..." kata pria itu sambil menyerahkan gelas berisi infused water kepada Vega.     

Gadis itu menerimanya sambil mengangguk. "Terima kasih."     

Mereka lalu duduk menikmati makan malam dengan gembira.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.