The Alchemists: Cinta Abadi

Kerusuhan Di Bandara (1)



Kerusuhan Di Bandara (1)

0"Kumohon.. ampuni aku..." tangis Ren sambil memeluk lutut Vega. "Kumohon berikan aku kesempatan kedua. Bukankah ayahmu juga mendapatkan kesempatan kedua setelah ia bertemu ibumu? Ia dapat berubah... Ia tidak lagi sejahat dulu. Lalu kenapa aku tidak boleh mendapatkan kesempatan kedua seperti dirinya?"     

Vega menatap Ren dengan sepasang mata sendu dan air mata yang mengalir deras. Ia telah mendengar semua cerita Ren dengan dada yang terasa sesak.     

Ia kini mengerti apa yang terjadi di masa lalu. Ia dapat mengerti kenapa dendam Ren begitu dalam kepada ayahnya. Ingatannya kembali pada peristiwa dua tahun lalu di Salzsee saat ia melihat Ren di tepi danau.     

Pria itu bicara tentang ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Vega ingat betapa sedihnya wajah Ren saat itu, hingga membuat hatinya bergetar dan ikut dipenuhi kesedihan.     

Kini, saat ia teringat kembali adegan itu, Vega membayangkan seperti apa kira-kira perasaan Ren saat itu, melihat anak dari orang yang bertanggung jawab atas kematian ayah kandungnya ada di depannya.     

Tentu saat itu Ren sangat membencinya...     

Atau mungkin, Ren sudah merasa terhimpit oleh rasa benci dan kasihan sekaligus, pada gadis muda tak berdaya yang hidupnya telah ia hancurkan...     

Entahlah, saat ini Vega tidak tahu lagi bagaimana ia harus menilai sorot mata Ren saat itu.     

Dengan teriksa-isak, Vega mengambil ponsel dari sakunya dan memencet sebuah nomor dengan tangan gemetaran.     

***     

Suasana sangat tegang, tetapi Alaric tampak sangat tenang seperti biasa. Ketika ponselnya bergetar, ia mengambilnya dan memencet tombol terima panggilan dengan kalem, seolah-olah mereka tidak sedang menghadapi seorang penjahat yang mengancam akan meledakkan dirinya dan semua orang di sekelilingnya.     

Setelah memencet kode untuk mengaktifkan bom, mereka hanya memiliki waktu setengah jam sebelum bomnya meledak. Kalau polisi menembak Karl, maka bom itu akan otomatis meledak setelah tidak mendeteksi detak jantungnya.     

Sungguh, mereka semua berada dalam situasi dilematis yang sangat berbahaya. Perlahan-lahan, kerumunan yang tadi ramai telah berkurang dan orang-orang berusaha pergi menjauh agar tidak ikut menjadi korban.     

"Ada apa, Sayang?" tanya Alaric.     

Suasana seketika menjadi hening. Orang-orang menoleh ke arah pria tampan yang berdiri tegak dengan ponsel di telinganya, bicara dengan suara yang demikian lembut dan hangat kepada siapa pun itu yang ada di ujung sana.     

Bahkan Karl yang berdiri dengan sikap mengancam tampak mendengarkan baik-baik. Ia dapat menduga telepon itu dari istri atau anak Alaric. Ia tahu laki-laki kejam itu bersikap dingin kepada semua orang kecuali istri dan anak-anaknya.     

Apakah telepon itu ada hubungannya dengan Ren? Karl bertanya-tanya dalam hati.     

"Ayah.. apakah, 32 tahun yang lalu ayah mengadakan percobaan dengan Splitz yang menyebabkan terjadinya krisis psikologis dan ribuan orang bunuh diri?" tanya Vega dengan suara bergetar.     

Alaric tertegun mendengar pertanyaan anak perempuan yang sangat ia sayangi itu.     

"Kau sekarang ada di mana?" tanya Alaric lembut. "Apakah kau tidak berada di Targu Mures?"     

"Kumohon.. jawab pertanyaanku, Ayah..." Suara Vega kini berubah memohon. Ia perlu mendengar dari mulut ayahnya sendiri tentang dosanya di masa lalu.      

Vega perlu tahu, apakah Ren memang mengatakan yang sebenarnya atau tidak.     

Alaric dapat menduga telah terjadi sesuatu dan kini Vega membutuhkan jawaban darinya untuk mengambil keputusan. Alaric tidak bangga dengan perbuatannya di masa lalu. Malah, setelah ia memiliki keluarga sendiri, ia dapat merasakan simpati kepada para korbannya dulu.     

"Itu benar," jawab Alaric pelan. "Ayah memang melakukan hal itu."     

"Oh...." Vega menarik napas panjang dan menurunkan ponselnya. Tangannya terasa lemas dan kehilangan tenaga.     

Ren benar. Ayahnya memang bersalah.     

Ayah Vega telah membunuh ayah Ren, dan itulah yang menjadi awal semua dendamnya.     

Oh, bukankah Alaric juga tumbuh menjadi pembenci manusia dan berusaha memusnahkan sangat banyak orang karena ia menyalahkan manusia sebagai penyebab kematian ibunya?     

Sementara itu, Alaric yang tidak lagi mendengar suara Vega menatap ponsel di tangannya dengan kening berkerut.     

Tiga puluh dua tahun yang lalu? Siapa gerangan yang mati 32 tahun yang lalu, sehingga Vega mengajukan pertanyaan itu kepadanya?     

Pandangannya beralih ke arah Karl Sotterham yang tadi mengaku bahwa semua rencana balas dendamnya kepada Alaric adalah demi Sophia, kekasihnya.     

Tadinya ia sempat menduga Karl Sotterham sebenarnya adalah Charles Neumann, adik Friedrich Neumann, ayah kandung Renald Hanenberg, atau Renald Neumann.     

Namun, Ren dan Karl membantah hal itu, dan DNA juga menyatakan bahwa mereka tidak memiliki hubungan keluarga.      

Hal itu mematahkan kecurigaan Alaric terhadap Ren, dan ia tidak mempunyai bukti untuk mencurigai menantunya itu. Namun... bagaimana jika mereka mendapatkan petunjuk yang salah?     

Sepasang mata ungu Alaric bertemu dengan sepasang mata hijau Karl yang dipenuhi dendam. Ia kembali teringat pada remaja laki-laki yang kabarnya mati terbunuh dalam perkelahian di kampus 30 tahun yang lalu.     

Ahh.. mungkin memang dugaan pertamanya yang benar. Sebenarnya semua dendam ini ada hubungannya dengan Friedrich Neumann. Dendam itu bukan karena Alaric membeli Atlas X dan menghancurkannya, melainkan...     

Apakah kematian Friedrich 32 tahun yang lalu itu karena percobaan yang diluncurkan Splitz? Kalau memang demikian, maka kini semuanya menjadi masuk akal.     

Dendam yang begini dalam, tidak mungkin diakibatkan oleh sebuah perusahaan saja. Ia menatap Karl yang tampak begitu benci kepadanya. Bahkan kebencian yang ada di mata Sophia kepadanya, tidak ada apa-apanya dibandingkan kebencian Karl.     

Dendam kesumat yang menguasai Karl ini bukan karena ia ingin membalaskan dendam Sophia, tetap dendamnya sendiri.     

Alaric kemudian teringat saat ia mengundang Ren makan malam bersama untuk menginterogasi menantunya itu. Baru sekarang ia dapat mengerti sorot mata Ren yang aneh saat itu.     

Sebenarnya, walaupun Ren dan Karl tidak mirip secara fisik, ada sesuatu dalam diri mereka yang membuat Alaric merasa keduanya saling berhubungan. Sorot mata kebencian Karl sekarang, mengingatkannya akan sorot mata kebencian Ren waktu itu...     

Ahh... ia mengerti sekarang.     

Ini memang salahnya.     

Ia sebenarnya menyukai Friedrich Neumann dan ingin agar pria genius itu bekerja untuknya. Sayangnya Friedrich mati muda karena kecelakaan saat sedang berperahu di danau.     

Kalau memang Friedrich menjadi korban percobaan Splitz waktu itu dan ikut bunuh diri bersama ribuan orang lainnya, kenapa penyebab kematiannya tidak disebutkan sebagai bunuh diri? Kenapa disebut sebagai kecelakaan berperahu? Apakah mereka memang sengaja mengubah datanya?     

Ahh.. bisa jadi.     

Alaric ingat bahwa komplotan penjahat itu memiliki seorang hacker genius bernama Skia yang hingga kini belum terlacak. Bisa jadi mereka mengubah semua data sesuai kebutuhan mereka, termasuk menyembunyikan penyebab kematian Friedrich, dan memalsukan kematian Charles Neumann.     

Ahhh.. sekarang semuanya menjadi masuk akal. Ren adalah anak Friedrich Neumann yang dibesarkan dengan dendam terhadap Alaric karena telah membunuh ayahnya. Sementara Karl adalah Charles yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mendidik Ren membalas dendam kematian Friedrich.     

Mereka telah menyiapkan semuanya, termasuk menjadikan Sophia sebagai kambing hitamnya, kalau sampai rencana mereka terbongkar. Lalu.. siapakah Skia sebenarnya? Mengapa ia memberi petunjuk yang memberatkan Ren tetapi semua bukti yang tersedia justru membebaskan Ren dari semua tuduhan?     

Dan kenapa sekarang Karl justru mengakui semua kesalahan sebagai perbuatannya yang ingin membalaskan dendam Sophia?     

Apakah Karl ingin melindungi Ren? Lalu siapa Skia sebenarnya? Ada begitu banyak pertanyaan yang memenuhi benak Alaric.     

Ia sudah menduga jawabannya... tetapi ia perlu kepastian.     

"Karl Sotterham dan Sophia Meier, dengar baik-baik. Aku akan bicara terakhir kalinya. Aku... tidak akan pernah memaafkan kalian karena telah menghancurkan kehidupan anakku," kata Alaric dengan dingin. "Sekarang kalian selamat... tetapi, kalau aku bertemu kalian lagi, aku akan memastikan kalian menerima hukuman yang pantas. Kematian kalian akan begitu pedih dan perlahan..."     

Setelah berkata demikian, Alaric berbalik dan pergi begitu saja. Ia tidak mempedulikan ancaman Karl yang akan meledakkan diri jika permintaannya tidak dipenuhi.     

"Kau adalah monster... kau pantas menerima semua ini!" seru Karl tiba-tiba. "Kau yang bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami anak perempuanmu! Aku tidak akan pernah membiarkanmu tenang kalau kau terus membunuh orang yang tidak bersalah. Kau camkan itu!"     

Sama halnya Alaric tidak takut Karl akan meledakkan diri di saat itu juga, Karl juga tidak takut akan ancaman Alaric.     

"Jangan pergi, Brengsek!"     

Karl mengangkat jam tangannya dan hendak memencet tombol untuk meledakkan diri, diiringi jeritan panik orang-orang yang ada di sekelilingnya. Namun, tiba-tiba, di saat yang demikian nahas, Alaric berbalik dan mengacungkan pistol yang diambilnya dengan begitu cepat dari balik jasnya.     

DOR      

DOR     

Semua orang seketika membeku di tempatnya saat Alaric dengan cepat telah menembakkan pistolnya ke arah tubuh Karl dan mengenai tepat di lima titik. Kedua pergelangan tangan Karl, lehernya, dan kedua lulutnya.     

BRAK     

Dengan bunyi keras, tubuh Karl segera jatuh terjerembab di lantai dan darah mengucur deras dari kelima titik tembakan tersebut.     

"Lepaskan borgolnya!" perintah Alaric kepada petugas yang tadi memborgol Mischa dan ia segera memerintahkan orang-orang segera menjauh dari lokasi. "Kalau kalian tidak ingin mati segera menjauh dari sini, goblok!"     

Tanpa diperintah dua kali, ratusan orang yang ada di sekitarnya segera berlari kalang kabut. Tadi mereka telah mendengar Karl mengatakan bahwa bomnya akan segera meledak jika tidak berhasil mendeteksi detak jantungnya. Dan laki-laki menakutkan ini dengan santai membunuhnya?     

Apa dia tidak takut bomnya akan segera meledak? Gila!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.