The Alchemists: Cinta Abadi

Pulang Ke Moravia



Pulang Ke Moravia

0Hannah sangat mengerti kekuatiran suaminya. Siapa yang akan membantu Hannah mengurusi bayi kecil mereka nanti jika Friedrich tiada?     

Gadis itu menggigit bibirnya. "Keluargaku tidak menyayangiku. Bagiku mereka sudah mati. Mereka tidak berhak menyebut diri sebagai keluargaku."     

Friedrich menggeleng pelan. "Aku sama sekali tidak memiliki keluarga dan aku sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Karena itu, aku selalu iri kepada anak-anak yang memiliki keluarga, nanti entah karena satu dan lain hal, mereka tidak menghargai keberadaan keluarganya. Kurasa, sudah saatnya kalian bertemu dan melupakan kepahitan di masa lalu."     

Ia mengusap-usap bahu istrinya dan membujuk Hannah yang keras kepala untuk melunakkan hatinya. Wajah gadis itu yang cemberut akhirnya pelan-pelan berubah menjadi cerah dan ia kemudian mengangguk enggan.     

"Hmm.. aku akan mencoba, tetapi aku tidak akan memohon kepada mereka untuk menerimaku kembali. Toh, selama ini mereka juga sudah memandangku sebagai anak bermasalah yang hanya bisa membuat mereka malu. Aku tidak peduli lagi pada keluarga kerajaan," cetus Hannah. "Kalau kita kembali ke Moravia, itu karena aku merindukan kampung halamanku dan ingin bertemu sahabat-sahabatku kembali."     

Friedrich mengangguk senang. "Aku senang kau mau mengubah pikiranmu. Saat ini, bukan waktunya untuk memikirkan tentang sakit hati masa lalu. Bagaimanapun mereka adalah keluargamu. Sejahat-jahatnya harimau, dia tidak akan memakan anaknya sendiir."     

"Hmm.. kau benar juga," kata Hannah pelan. "Eh.. ngomong-ngomong, peribahasa dari mana itu? Aku baru mendengarnya."     

Friedrich mengangkat bahu. "Aku sudah lupa. Aku telah membaca terlalu banyak buku, jadi tidak bisa mengingat semuanya satu per satu."     

Hannah tertegun mendengar kata-kata suaminya. Sebenarnya, setahunya, daya ingat Friedrich sangat kuat. Baru akhir-akhir ini saja ingatannya mulai bermasalah agak parah.     

Dokter sudah mengatakan bahwa ini merupakan salah satu gejala yang mereka harus perhatikan.     

Menyadari bahwa penyakit pada syaraf suaminya mulai kembali menunjukkan gejala, Hannah merasakan dadanya sesak. Namun, ia berhasil menguasai diri dan tetap tersenyum, lalu mengalihkan pembicaraan.     

"Ah, kupikir kau menciptakan sendiri peribahasanya. Kurasa kalimat tadi sangat bijak. Baiklah. Aku menuruti kata-katamu. Aku akan mengurus kepergian kita ke Moravia," kata Hannah.     

Setelah ia menikah dengan Friedrich enam bulan yang lalu, Hannah telah kembali menjalin komunikasi dengan Aurora sahabatnya. Ia merasa aman karena keluarga raja Moravia sudah berhenti mencarinya setelah Valentino menikah dengan putri dari kerajaan Swedia.     

Pernikahan yang gagal di antara kedua pangeran dan putri dari kerajaan Spanyol dan Moravia memang membuat hubungan baik di antara kedua negara menjadi agak renggang. Hannah tahu ayahnya akan selalu menyalahkannya atas peristiwa itu, tetapi kini ia sudah tidak peduli.     

Baginya, tidak ada lagi yang penting di dunia ini selain Friedrich dan calon anak mereka, serta adik iparnya, Karl yang sedang sekolah di Inggris.     

"Karl akan datang ke Moravia setelah kita menemukan rumah di sana," kata Friedrich. "Kurasa akan bagus baginya mendapatkan suasana baru."     

"Aku setuju," kata Hannah.     

Ia mencium Friedrich lalu menelepon Aurora dan menceritakan rencana kepulangannya bersama Friedrich ke Moravia. Aurora menjadi sangat terharu. Ia menangis dan mereka mengobrol di telepon selama berjam-jam untuk meluapkan kerinduan.     

***     

Ketika Friedrich dan Hannah tiba di bandara Almstad, Sebastian Genevieve dan tunangannya Auroralah yang menjemput mereka. Kedua keluarga besar mereka telah mencari hari baik untuk pernikahan dan mereka sangat gembira karena Hannah datang tepat waktu.      

Aurora sangat berharap Hannah, sahabatnya akan dapat menjadi pendamping pengantin wanita setelah ia melahirkan nanti, karena pernikahan akan dilangsungkan pada musim gugur.     

"Kalian mencari rumah? Sebentar, sepertinya bibiku ingin menjual rumah peninggalan suaminya di ibukota. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Seattle dan sudah sangat jarang kemari," kata Sebastian saat kedua pasangan itu mengobrol di teras yang menghadap ke taman rumah Sebastian.     

Hannah dan Friedrich untuk sementara menginap di rumahnya sebagai tamu sampai mereka dapat menemukan rumah baru untuk menetap. Walaupun Sebastian tidak keberatan kalau mereka mau tinggal seterusnya, tetapi sebagai laki-laki Friedrich merasa tidak enak jika ia merepotkan orang lain, apalagi yang ia tidak terlalu dekat.     

"Bibimu di Seattle? Maksudmu Lady Diane?" tanya Hannah memastikan.     

"Benar. Kalian masih ingat bibiku, kan? Ia punya beberapa properti di Almstad. Yang menurutku sangat bagus adalah mansionnya. bangunannya tidak terlalu besar sehingga tidak merepotkan untuk dirawat, tetapi tamannnya luar biasa besar. Kalau kalian tinggal di sana, pasti kualitas hidup kalian menjadi jauh lebih baik karena tempatnya asri dan udaranya segar," kata Sebastian dengan penuh semangat. "Aurora pernah ke sana. Benar kan, sayang? Bagaimana pendapatmu tentang rumah Bibi Diane?"     

"Wahhh.. kau ini ternyata berbakat juga menjadi sales properti, ya," komentar Aurora sambil tertawa. Ia lalu menepuk tangan Hannah dan mengonfirmasi ucapan Sebastian. "Dia benar. rumah Bibi Diane sangat bagus. Kalau Sebastian belum punya rumah sebagus ini, aku pasti akan memintanya membeli rumah bibinya itu."     

Hannah dan Friedrich saling pandang.     

"Sepertinya bagus," kata Hannah mengangguk. "Kami mau lihat."     

***     

Seperti dugaan Sebastian, Hannah memang sangat menyukai rumah besar dengan halaman yang luar biasa luas itu. Dari gerbang depan menuju ke teras rumah panjangnya hampir 2000 meter, sehingga mereka harus naik mobil atau buggy hanya untuk pergi ke gerbang, saking luasnya taman rumah itu.     

"Aku suka tempatnya. Bagaimana menurutmu?" bisik Hannah kepada suaminya. Friedrich mengangguk.     

"Kita beli saja. Aku akan bicara dengan pengacaraku di Seattle untuk mengurusi pembeliannya dengan Lady Diane," kata pemuda itu.     

"Oh.. aku senang sekali!" cetus Hannah gembira. "Akhirnya kita memiliki rumah berdua."     

Ia mencium suaminya dengan penuh keharuan.     

Kini, anak mereka akan segera lahir, dan mereka akan menetap di Moravia. Sekarang, Hannah tinggal berharap hubungannya dengan kedua orang tua dan kakaknya akan dapat membaik, supaya nanti anaknya dan Friedrich dapat memiliki keluarga besar, sehingga ia tidak akan kesepian.     

***      

Proses jual beli mansion tersebut berlangsung cepat dan mulus. Lady Diane sangat senang karena mansion warisan mendiang suaminya dibeli oleh orang yang dikenalnya, Ia sangat simpati kepada pasangan itu karena ia juga telah mendengar banyak tentang Friedrich dari Laura Atlas, temannya di Seattle.     

Setelah melakukan renovasi kecil pada mansion yang baru mereka beli, Hannah dan Friedrich akhirnya pindah ke rumah baru mereka dan memutuskan untuk tinggal di sana. Kehidupan baru mereka dimulai di Moravia dengan sangat menyenangkan.     

Sebastian dan Aurora sangat setia, selalu datang membantu kapan saja dibutuhkan. Mereka berusaha membuat kehidupan di Moravia menjadi semudah mungkin bagi pasangan itu.     

Tanpa terasa waktu dua tahun yang disebutkan dokter hanya tersisa enam bulan lagi. Hannah berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu dari kepalanya. Ia tidak mau mengingat bahwa saat ini, kebahagiaannya bersama Friedrich hanya tinggal menunggu waktu.     

Jam sedang berdentang dan waktu mereka tidak lama lagi akan habis.     

"Hannah... aku membaca ada penelitian baru dari sebuah perusahaan farmasi yang sedang meneliti obat-obatan untuk menghentikan atau memulihkan perburukan dementia," kata Friedrichh pada suatu hari. Ia mengangkat wajahnya dari laptop dan memanggil Hannah yang sudah hamil tujuh bulan.      

Perut istrinya sudah sangat besar sehingga langkahnya menjadi lebih lambat dari biasanya, karena kakinya yang mungil keberatan menyangga perutnya yang sedang hamil besar.     

"Benarkah?" Hannah sama sekali sudah tidak mau berharap lagi. Sejak setahun terakhir suaminya rajin meneliti perkembangan situasi penyakitnya dengan mempelajari hasil riset banyak perusahaan farmasi dan ilmuwan.     

Tekad Friedrich untuk mencari informasi yang dapat membawanya pada petunjuk akan sedikit saja kemajuan pada penyakitnya ini menjadi semakin kuat semenjak Hannah hamil. Seolah-olah, Friedrich benar-benar tidak mau menyerah sebelum ia benar-benar kalah oleh Lewy Body Dementia.     

Tapi dari berbagai penelitian dan berita yang ia terima, rata-rata hanya memberi harapan palsu di awal yang kemudian terbukti salah atau tidak berhasil. Hannah tidak mau sakit hati lagi dengan memupuk harapan.     

"Benarkah?" tanya gadis itu. "Kuharap mereka berhasil."     

"Yang ini sepertinya sangat menjanjikan. Aku sudah bicara banyak dengan beberapa ilmuwan yang terlibat di sini. Aku akan menemui mereka setelah anak kita lahir," kata Friedrich. Ia menatap Hannah dengan wajah berseri-seri. "Kurasa ada harapan."     

Hannah tersenyum haru saat melihat tekad di wajah suaminya. Kalau orang bilang tekad untuk sembuh dapat mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang, maka ia dapat melihat hasilnya pada Friedrich. Kini sudah hampir dua tahun sejak prediksi dokter saat itu, tetapi Friedrich belum mengalami perburukan kondisi yang parah.     

Mungkin... mungkin memang ada harapan, pikir Hannah.      

"Setidaknya, aku ingin ada saat anak kita lahir," kata Friedrich sambil tersenyum. Ia mengusap perut Hannah dengan penuh kasih sayang. "Anak ini benar-benar membuat semangat hidupku semakin bertambah. Aku kini punya dua tujuan hidup. Yang pertama adalah membahagiakanmu, dan yang kedua... setidaknya ada di sampingmu saat anak kita lahir."     

Setelah itu, ia tidak tahu apakah ia benr-benar akan dapat sembuh dan dapat membesarkan anak mereka bersama Hannah. Tetapi setidaknya... Friedrich ingin ada saat anaknya melihat dunia pertama kali. Ia ingin menyambut putranya. Kalau setelah itu ia harus mengucap selamat tinggal... maka ia sudah tidak memiliki penyesalan.     

"Kau akan menjadi ayah yang baik," puji Hannah. Ia sudah belajar selama beberapa bulan terakhir untuk menata emosinya dan tidak menjadi negatif atau sedih di depan Friedrich.      

"Terima kasih," kata Friedrich. "Itu karena kau adalah ibu yang baik."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.