The Alchemists: Cinta Abadi

Aku Ingin Mempunyai Anak Darimu



Aku Ingin Mempunyai Anak Darimu

0Friedrich merasa sangat egois karena beberapa bulan terakhir ia sangat bahagia. Setiap hari ia bangun dengan wajah cantik Hannah di sampingnya. Ia belum pernah merasakan euphoria seperti saat ia memeluk tubuh gadis itu, menciumnya, dan bercinta dengannya.     

Untuk pertama kalinya dalam umurnya yang belum 22 tahun, ia merasa benar-benar hidup. Memang ironis rasanya mengetahui bahwa ia baru merasakan hidup yang sebenarnya ketika usianya sudah hendak berakhir.     

Siang itu mereka mengantar Karl ke bandara. Ia akan pergi ke London untuk sekolah asrama. Ia memutuskan untuk mengambil ujian persamaan SMA di Inggris agar nanti ia dapat masuk universitas. Alasannya, ia ingin menjadi orang yang berpendidikan. Padahal, Karl sengaja hendak memberikan waktu bagi Friedrich dan Hannah untuk berduaan saja setelah mereka menikah.     

Awalnya Hannah menentang rencana adik iparnya itu, tetapi Karl meyakinkannya berkali-kali, hingga akhirnya gadis itu mengalah.     

"Aku sudah memiliki Kak Friedrich selama 21 tahun. Sudah saatnya ia menghabiskan seluruh waktunya bersamamu. Kalau aku tetap di sini, aku hanya akan menjadi orang ketiga yang mengganggu," kata Karl sambil tersenyum lebar.      

"Karl..." Hannah tampak tidak enak. "Kau yakin tidak apa-apa?"     

"Aku tidak apa-apa," kata Karl dengan senyum lebar. "Aku pernah tinggal di panti asuhan selama dua tahun sebelum Kak Friedrich mengambilku. Aku sangat mandiri. Enam bulan lagi, aku akan kembali bersama kalian, jangan kuatir. Kalian nikmati saja bersenang-senang berdua. Ahem... kalau bisa berikan aku keponakan yang lucu."     

Wajah Hannah seketika memerah dan tanpa sadar ia memukul bahu adik iparnya berkali-kali. "Uh.. kau ini."     

"Aduh, sakit... hahahaha." Karl segera mengelak dan mengambil kopernya. "Aku berangkat dulu. Kalian bersenang-senang di Maldives!"     

Ia berjalan gembira tanpa menoleh lagi ke belakang. Friedrich dan Hannah tidak melihat pemuda itu menitikkan air mata saat ia melalui security check-in dan menyerahkan paspornya untuk diperiksa petugas keamanan bandara. Ia sangat ingin terus bersama kakak kandungnya, karena ia tahu waktu Friedrich terbatas, tetapi Karl tidak ingin egois.     

Ia ingin memberikan waktu bagi Friedrich dan Hannah untuk berdua saja. Biarlah mereka menikmati kebahagiaan sepenuhnya, berbagi kasih tanpa harus sungkan atas kehadirannya.     

Setelah pemuda itu menghilang dari pandangan, Friedrich dan Hannah saling pandang. Wajah keduanya tampak bersemu merah.     

Mereka ingat kata-kata Karl yang menyuruh mereka memberinya keponakan yang lucu.     

Sebenarnya usia Hannah dan Friedrich masih terlalu muda untuk memiliki anak. Terlebih dengan kondisi kesehatan Friedrich, rasanya pemuda itu sama sekali tidak mau memikirkan tentang keturunan. Ia takut akan tambah membebani Hannah.     

Ia ingin agar setelah ia meninggal, Hannah akan dapat memulai hidup baru, jatuh cinta kepada laki-laki lain dan membina keluarga bersamanya. Biarlah Friedrich hidup dalam kenangannya saja.     

"Aku ingin kita punya anak..." kata Hannah tiba-tiba. Ia langsung menekap bibirnya setelah mengucapkan kata-kata mengejutkan itu.     

Friedrich tertegun mendengarnya. Ia menatap Hannah lama sekali. Pikirannya dipenuhi luapan emosi yang tidak dapat ia tahan lagi. Matanya kemudian tampak berkaca-kaca.     

"Tapi aku tidak akan ada... untuk menemanimu membesarkannya," bisik pemuda itu akhirnya. "Aku tidak mau kau menjadi repot dan kesusahan."     

Hannah menggeleng kuat-kuat. Air matanya pun perlahan menetes turun.     

"Aku tidak akan merasa direpotkan atau pun kesusahan..." bisik gadis itu. "Aku ingin memilikimu selamanya. Aku ingin bagian dari dirimu selalu bersamaku, bahkan setelah... setelah..."     

Ia tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya.     

Friedrich sangat terharu karena istrinya mencintainya begitu dalam. Ia pun sangat ingin membangun keluarga bersama Hannah. Beberapa bulan yang lalu ia telah pasrah kepada nasibnya yang tidak akan berumur panjang. Tetapi kini, setelah ia merasakan betapa bahagianya hidup bersama gadis itu.. ia mulai merasa benci kepada takdir yang tidak memberinya waktu lebih panjang.     

Rasanya ia ingin menjadi egois lebih lama dan hidup untuk melihat anaknya lahir ke dunia ini... lalu membesarkannya bersama Hannah.     

"Aku sangat mencintaimu..." bisik Friedrich sambil merengkuh Hannah ke dalam pelukannya. "Aku ingin memiliki anak bersamamu."     

Mereka berpelukan erat selama beberapa saat, dan membuat orang-orang yang lewat di bandara menuju security check-in menoleh ke arah mereka dan melihat dua kali. Pasangan ini tampak begitu sempurna. Yang lelaki tampan, dan yang wanita cantik. Keduanya tampak begitu saling mencintai.     

Semua orang dapat melihat betapa dalam cinta keduanya terhadap satu sama lain.     

Friedrich lalu melonggarkan pelukannya. Ia menatap wajah Hannah dari jarak begitu dekat, tanpa pernah merasa puas. Ia lalu menyentuh dagu gadis itu dan memiringkan wajahnya untuk mencium lembut bibirnya.     

Ia tidak memperdulikan bahwa mereka sedang berada di bandara, yang dilalui begitu banyak orang. Saat itu, ia tidak mempedulikan siapa pun. Baginya yang terpenting adalah ia bersama Hannah.     

Mereka berciuman dengan mesra. Saat itu, rasanya waktu berhenti bagi keduanya.     

Setelah keduanya dapat menguasai diri kembali, Friedrich dan Hannah saling melepaskan diri dan tersenyum lebar. Mereka lalu berpegangan tangan untuk kembali ke tempat parkir dan pulang kembali ke apartemen mereka.     

Di sana mereka akan menghabiskan satu hari terakhir, hanya berdua saja, lalu bersiap untuk berangkat ke Maldives. Friedrich dan Hannah akan menghabiskan waktu dua minggu di negara kepulauan cantik itu sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Australia.     

***     

Hannah menjerit gembira saat ia memeriksakan kehamilannya kepada dokter siang itu. Wajahnya tampak berseri-seri dan sepasang matanya tampak dipenuhi kebahagiaan. Ia meremas tangan Friedrich yang duduk di sampingnya dengan pandangan tidak percaya.     

"Dokter bilang anak kita laki-laki," bisik Hannah berulang kali. "Aku berharap ia akan sepertimu."     

Kata-katanya kemudian menjadi sedih.     

Ia sungguh berharap anak mereka akan mirip suaminya. Agar nanti, setelah Friedrich meninggal, ia akan dapat mengenang pemuda itu melalui anak mereka.      

Friedrich mengerti apa yang dipikirkan istrinya. Ia meremas tangan gadis itu dan mengangguk.     

"Dia pasti mirip aku, karena dia adalah anakku," katanya sambil tersenyum. Tangannya ditepuk-tepuk lembut pada tangan Hannah.     

Mereka sudah menikah selama hampir enam bulan dan kehamilan Hannah sudah memasuki bulan kelima. Perutnya tampak mulai membesar, menggemaskan sekali. Fridrich sangat suka mengelus-elus perut istrinya kalau mereka sedang berduaan, dan membacakan dongeng dari berbagai bahasa.     

Dokter kandungan di Melbourne yang tidak mengetahui tentang penyakit Friedrich tersenyum lebar dan memberikan selamat kepada pasangan muda itu.     

"Selamat ya, sekali lagi atas calon anak Anda berdua. Kalau dilihat dari hasil USG dan berbagai pemeriksan barusan, kandungan ibu dan bayinya sejauh ini sehat. Seperti biasa, tolong menghindari stress dan aktivitas yang terlalu menguras tenaga. Bayi Anda berdua diperkirakan akan lahir pada bulan September."     

Friedrich dan Hannah saling pandang. Empat bulan lagi adalah waktu yang sangat singkat bagi mereka untuk mempersiapkan semuanya. Jika mereka tetap tinggal di Australia, maka trimester terakhir Hannah akan berlangsung pada musim dingin. Menurut Friedrich hal itu akan membuat istrinya sangat tidak nyaman.     

"Kita pulang ke Eropa setelah dari Australia?" tanya pemuda itu. "Jadi kau bisa melahirkan di awal musim gugur di sana. Cuacanya bagus dan tentu akan lebih nyaman."     

Hal yang jauh lebih penting daripada cuaca, sebenarnya bagi Friedrich adalah siapa yang akan membantu Hannah nanti mengurus anak mereka kalau ia tiada? Mereka tidak punya teman dan keluarga lain.     

Ia memutuskan untuk membicarakan dengan Hannah tentang kemungkinan agar ia kembali ke Moravia. Setidaknya negara itu adalah kampung halamannya, dan ia tentu akan merasa lebih betah tinggal di sana. Ia juga memiliki Aurora dan Sebastian yang akan dapat menolongnya.     

"Terima kasih banyak, dokter. Kami meminta semua rekam medis istri saya untuk kami bawa, supaya nanti ketika kami pindah ke Eropa, istri saya dapat segera mendapatkan penanganan yang sesuai," kata Friedrich sambil mengulurkan tangannya, menyalami Dokter Lucy.     

"Selamat sekali lagi, Tuan dan Nyonya. Nanti asisten saya akan menyiapkan semuanya," jawab Dokter Lucy. Ia lalu memanggil asistennya dan memberi perintah agar sang asisten memberikan semua data yang dibutuhkan pasangan muda itu.     

Ketika Friedrich dan Hannah keluar dari klinik dokter kandungan, mereka sangat menarik perhatian para pasien dan pengunjung rumah sakit itu. Selain karena keduanya sangat rupawan, mereka juga terlihat begitu muda. Banyak yang mengira mereka mahasiswa yang mengalami kecelakaan sehingga hamil di luar nikah.     

Namun, untungnya tidak ada yang usil dan membicarakan mereka. Hanya memperhatikan keduanya dan bertanya-tanya dalam hati.     

Setelah mereka kembali ke rumah besar yang disewa Friedrich untuk mereka selama di Australia, Pemuda itu mengajak istrinya bicara serius.     

"Kita harus pulang ke Moravia," kata pemuda itu tegas.     

"Kenapa?" tanya Hannah keheranan. "Kau kan tahu aku sudah tidak menganggap keluargaku, setelah perbuatan mereka kepadaku selama ini."     

Pemuda itu menggeleng dan meremas tangan istrinya. "Tetapi sekarang kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri, Hannah. Apakah kau mau anak kita tidak mengenal keluarganya dari pihak ibu? Aku sama sekali tidak mempunyai siapa-siapa selain Karl, dan adikku itu masih terlalu muda. Ia tidak dapat diandalkan. Siapa nanti yang akan membantumu kalau..."     

Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Tanpa kalimat lengkap sekalipun, Hannah sudah mengerti apa maksud suaminya.     

Siapa yang akan membantu Hannah mengurusi bayi kecil mereka nanti jika Friedrich tiada? Tentu itu saja yang menjadi beban pikiran Friedrich selama ini.     

Gadis itu menggigit bibirnya. "Keluargaku tidak menyayangiku. Bagiku mereka sudah mati. Mereka tidak berhak menyebut diri sebagai keluargaku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.