The Alchemists: Cinta Abadi

Akhir Hubungan Friedrich Dan Hannah



Akhir Hubungan Friedrich Dan Hannah

0Karl akhirnya mengerti bahwa sebenarnya kakaknya juga mencintai Hannah. Tetapi, karena Friedrich adalah seorang laki-laki sejati yang tidak ingin membuat wanita menderita, ia tidak ingin mengikat Hannah kepadanya dengan menyatakan cinta sekarang, di saat umurnya sudah hampir berakhir. Ia merasa bahwa itu adalah perbuatan egois.     

Sang adik menarik napas panjang. Ia mengerti apa yang dirasakan kakaknya. Dalam hati ia menangisi nasib kakaknya yang buruk, dan cinta Hannah yang seolah bertepuk sebelah tangan.     

"Friedrich... apakah yang kau bilang tadi itu benar?"     

Seketika kedua pemuda itu tertegun.     

Keduanya sangat terkejut saat mendengar suara pintu dibuka dan Hannah bicara dengan suara serak. Dari ambang pintu kamarnya, tampak gadis cantik itu berurai air mata. Friedrich menahan napas saat melihat betapa sedihnya wajah sang putri.     

"Kau... mendengar pembicaraan kami?" tanya Friedrich dengan suara tercekat. Ia merasa sangat menyesal membicarakan isi hatinya secara terbuka di apartemen seperti ini. Seharusnya ia lebih berhati-hati karena Hannah ada di dekat mereka.     

Namun demikian... hati kecilnya merasa lega karena Hannah mendengar pembicaraannya dengan Karl. Mungkin di lubuk hatinya yang paling dalam, Friedrich sebenarnya ingin agar gadis itu mengetahui isi hatinya.     

Ia tak ingin membawa rahasia ini ke lubang kubur.     

Mungkin... di lubuk hatinya yang terdalam... ia sungguh-sungguh ingin Hannah tahu bahwa ia memang mencintainya. Sejak kapan? Entahlah.. Friedrich sendiri tidak tahu.     

Hannah mengangguk pelan. "Maaf, aku tidak bermaksud menguping. Tadi aku juga merasa tidak bisa tidur dan ingin minum air putih."     

Friedrich mengangguk. Ia melambaikan tangannya dan memberi tanda kepada Hannah agar mendekat. "Kemarilah. Aku membuat teh chamomile agak banyak."     

"Aku akan mengambilkan cangkir untuk Kak Hannah," kata Karl cepat. Tanpa disuruh ia telah melompat ke dapur dan kembali tidak lama kemudian dengan sebuah cangkir berwarna biru dan menuangkan teh dari poci untuk Hannah. "Ini tehnya, Kak."     

"Terima kasih, Karl," kata Friedrich mewakili Hannah. Ia berdeham. "Bisakah kau malam ini tidur di kamarku saja? Ada yang mau kubahas dengan Hannah di sini."     

"Tentu saja," kata Karl. Ia mengambil laptop dan cangkir tehnya lalu beranjak ke kamar kakaknya. "Selamat malam Kak Hannah."     

Hannah mengangguk sambil tersenyum sedikit kepada pemuda itu. Karl menutup pintu dan segera mematikan lampu kamar. Ia merasa senang sekaligus berdebar-debar karena akhirnya Friedrich dan Hannah bicara dari hati ke hati, setelah sekian lama.     

Mungkin memang sudah waktunya mereka mengungkapkan perasaan masing-masing.     

Sementara itu di ruang tamu, Hannah menyesap tehnya tanpa berkata apa-apa. Dadanya berdebar-debar ingin mengetahui apa yang Friedrich ingin bicarakan dengannya.     

Ia dapat menduga bahwa pemuda itu akhirnya akan bersikap jujur dan mengungkapkan isi hatinya. Karena bagaimanapun, tadi Hannah sudah mendengar ucapannya kepada Karl bahwa Friedrich sebenarnya mencintainya.     

"Hannah..." Friedrich mengangkat wajah dan menatap gadis itu dengan pandangan sangat serius. "Kumohon kau lupakan apa yang kau dengar tadi. Anggap kau tidak mendengar apa-apa. Aku minta maaf karena memberimu harapan dan membuatmu sedih. Aku tidak bermaksud begitu."     

Hannah seketika merasa tenggorokannya tercekat. Ia menurunkan cangkirnya dan menatap Friedrich dengan sepasang mata membulat. Air mata kembali mengalir dengan deras ke pipinya.     

"Fred... Kenapa kau berkata seperti itu? Apakah kau membenciku?" tanya gadis itu dengan suara serak.     

Friedrich menarik napas panjang dan wajahnya tampak sangat menderita. "Justru sebaliknya... Hannah, aku tak ingin membuatmu menderita. Aku hanyalah laki-laki yang sedang menghitung umurnya. Kalau kau menginvestasikan perasaanmu kepadaku.. maka, tahun depan kau hanya akan menjadi sangat terluka. Lebih baik kita selesaikan perjalanan kita ini sebagai teman, dan kau bisa mengenangku sebagai teman baik. Nanti, kau bisa mencari laki-laki lain yang jauh lebih baik dariku. Laki-laki yang sehat dan dapat menyertaimu hingga tua bersama. Laki-laki yang akan membuatmu bahagia..."     

Hannah menaruh cangkirnya di meja dan beringsut mendekati Friedrich. Tangannya menyentuh tangan pria itu dan meremasnya. "Aku tidak ingin laki-laki lain. Aku hanya ingin bersamamu. Aku ingin menjadi keluargamu. Aku ingin mengenangmu sebagai kekasihku.. Aku ingin menyimpanmu dalam hatiku, seumur hidupku, sebagai laki-laki terbaik yang pernah kukenal."     

Friedrich menatap tangannya yang diremas Hannah, kemudian ia menatap wajah gadis itu yang kini berurai air mata. Ia berusaha mengatakan sesuatu tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.     

"Fred... kita hanya punya waktu sedikit. Kenapa kita tidak manfaatkan untuk menikmati kehadiran satu sama lain sepenuhnya? Aku ingin hidup selamanya bersamamu.. Tetapi kalaupun aku hanya diberikan setahun untuk hidup denganmu.. aku akan memilih hidup bersamamu, seribu kali pun aku akan selalu memilihmu, daripada hidup selama-lamanya tanpamu," Hannah bersikeras. Ia benar-benar tidak mau mundur karena akhirnya ia telah mengetahui perasaan Friedrich yang sebenarnya.      

Ia mengerti kekuatiran pria itu, dan ia sangat menghargai karena Friedrich benar-benar tidak ingin membuat Hannah menderita karena mengikatnya dalam hubungan cinta mustahil yang memiliki batas waktu. Tetapi Hannah tidak mempedulikan itu semua.     

"Aku tidak mau mengenangmu sebagai teman," kata gadis itu lagi. Ia mengerucutkan bibirnya dan menatap Friedrich lekat-lekat. "Kau akan membuatku patah hati kalau kau berpura-pura tidak pernah mengucapkan kata-katamu yang tadi."     

Friedrich tertegun dan menatap Hannah lama sekali. Ia sungguh tidak tahan melihat gadis itu bersedih.      

"Hannah..." Friedrich mengangkat tangannya dan mengusap air mata yang mengalir ke pipi Hannah. "Jangan menangis. Aku tidak bisa melihatnya..."     

Selama ini Hannah selalu menyembunyikan air matanya dari Friedrich karena ia tidak ingin membuat pemuda itu tertekan. Ia sudah cukup pusing dengan kondisinya sendiri. Tetapi... kali ini Hannah sudah tak dapat menahan lagi perasaannya.     

"Maaf, aku tidak bisa menahannya," Hannah menunduk dan berusaha menyembunyikan wajahnya yang basah. "Aku tidak mau membuatmu terbeban. Baiklah.. aku akan melakukan apa yang kau minta. Aku akan melupakannya. Terima kasih untuk tehnya."     

Hannah mengambil cangkir tehnya dan buru-buru meminumnya sampai habis. Ia merasa menyesal telah bersikeras barusan. Rasanya memang lebih baik kalau ia melupakan semua yang telah didengarnya. Besok pagi saat mereka bangun tidur, semuanya akan kembali seperti semula.     

Ia akan menganggap bahwa ini hanya mimpi.     

"Selamat tidur," Hannah menaruh cangkirnya kembali ke meja dan bersiap bangkit dari kursi untuk kembali ke kamarnya.     

"Hannah..."     

Tanpa sadar, Friedrich menahan tangan kanan Hannah dan tidak membiarkannya pergi. Gadis itu tertegun saat menyadari tangannya kini ada dalam genggaman Friedrich.     

"Kau mau apa?" tanya Hannah dengan suara bergetar. Ia menatap tangannya yang sedang digenggam Friedrich lalu menatap wajah pria itu. "Aku sama sekali tidak keberatan jika hanya memiliki sedikit waktu bersamamu. Aku mencintaimu dengan tulus. Tetapi, kalau yang kau inginkan adalah agar aku melupakannya dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa... maka aku akan melakukannya agar—"     

Sebelum Hannah menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja Friedrich telah menarik tangan gadis itu dan di saat berikutnya, Hannah tahu-tahu telah menemukan dirinya di pangkuan Friedrich. Pemuda tampan itu memeluknya erat sekali.     

"Aku tidak ingin bersikap egois dengan mengikatmu... sementara waktuku hanya tinggal sedikit. Maafkan aku..." bisik Friedrich berkali-kali. "Aku ingin sekali memilikimu di sisa waktuku.. tetapi aku tidak ingin menyakitimu."     

Hannah balas memeluk Friedrich dan menangis di bahunya. "Kau tidak menyakitiku, Fred.. Aku yang ingin bersamamu. Kalau kau ingin bersikap egois, kumohon lakukan saja. Kau akan membuatku menjadi gadis paling bahagia di dunia..."     

Keduanya berpelukan dengan sangat erat dan saling bertangisan. Untuk pertama kalinya setelah saling mengenal selama lebih dari enam bulan dan tinggal bersama, akhirnya mereka saling terbuka dengan perasaan masing-masing.     

Hannah tahu ia sudah jatuh cinta kepada Friedrich begitu pemuda itu membelanya dari Valentino yang brengsek. Sementara, Friedrich mungkin sudah jatuh cinta kepada Hannah setelah gadis itu mulai tinggal di rumahnya.     

Friedrich melepaskan pelukannya kepada Hannah dan menatap wajah gadis itu dari jarak yang sangat dekat.     

Untuk sesaat, mereka tidak saling mengatakan apa-apa.      

"Fred..." Hannah menyentuhkan tangannya ke pipi Friedrich dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Air matanya masih mengalir, tetapi bibirnya telah mulai tersenyum.      

Friedrich mendekatkan wajahnya ke wajah Hannah lalu mencium lembut bibir gadis itu. Ia merasa tidak dapat lagi menahan diri. Walaupun ia sebenarnya tidak ingin mengikat Hannah dalam hubungan cinta, tetapi kali ini ia tak dapat lagi menahan diri untuk bersikap egois.     

Hannah sendiri telah memberinya izin untuk menjadi egois. Mungkin... di penghujung usianya, Friedrich boleh mementingkan dirinya sendiri setelah selama ini ia selalu memikirkan orang lain.     

Hannah membalas ciuman Friedrich dan mengusap rambutnya. Mereka mencurahkan semua cinta yang selama ini terpendam di antara keduanya. Rasa cinta yang selama ini disimpan tanpa dapat diungkapkan akhirnya keluar tercurah bagaikan air bah.     

Malam itu Friedrich menginap di kamar Hannah.     

Karl yang tidak lagi mendengar suara kakaknya berbicara dengan Hannah dari ruang tamu, akhirnya memutuskan untuk memejamkan mata dan tidur sendirian di kamar Friedrich.     

Ia sadar kedua pasangan itu akhirnya memutuskan untuk memadu kasih. Hatinya merasa sangat lega.     

***     

Keesokan harinya Karl berpura-pura sakit perut dan meminta Friedrich berangkat berdua saja bersama Hannah untuk menyaksikan matahari terbit di atas balon udara, di langit Cappadoccia. Ia ingin memberi mereka waktu berdua saja sebanyak-banyaknya.     

Pagi itu, di atas langit Cappadoccia, Turki, saat matahari terbit di ujung timur, dengan puluhan balon udara berwarna-warni di sekitar mereka, Friedrich melamar Hannah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.