The Alchemists: Cinta Abadi

Perasaan Friedrich Yang Sebenarnya



Perasaan Friedrich Yang Sebenarnya

0Friedrich hanya memandang ponselnya yang berdering berkali-kali. Ia tidak mengenal nomor telepon itu karenanya ia tidak berniat mengangkatnya.     

"Siapa yang menelepon?" tanya Hannah yang duduk di sampingnya menikmati teh khas Turki. Karl tampak sedang mengagumi pemandangan kota dari puncak atap bangunan tempat mereka berada.     

Mereka bertiga sedang menikmati pemandangan senja dari kafe cantik yang terletak di atap bangunan kuno di Cappadocia. Pemandangan buki-bukit batu dan bangunan bersejarah yang ada di sekitar mereka tampak sangat luar biasa.     

Di langit terlihat puluhan balon udara sedang melayang memberikan backdrop menawan bagi siapa pun yang ingin mengambil foto dan mengabadikan pemandangan yang terasa seperti mimpi itu.     

Friedrich menggeleng. "Pasti kantor. Ini nomor Amerika. Mungkin mereka sedang mencariku. Seharusnya mereka tahu aku tidak akan mengangkat nomor telepon yang tidak kukenal. Aku juga sudah tidak bekerja di sana. Aku tak mau merusak liburan ini dengan membicarakan urusan pekerjaan."     

Hannah mengangguk paham. Gadis itu menatap Friedrich dengan wajah penuh cinta. Ia merasa bahagia karena Friedrich benar-benar mengajaknya dalam perjalanannya mengelilingi dunia. Ia dapat menunjukkan tempat-tempat berkesan yang pernah didatanginya dan membagikan pengalaman indah itu bersama laki-laki yang ia kagumi ini.     

Setidaknya... jika Friedrich harus mati, ia telah menikmati berbagai hal terbaik yang ada di bumi ini. Ia bisa merelakan hidupnya karena ia telah merasakan hidup yang sebenarnya.     

Sejak ia masih sangat muda, Friedrich telah bekerja dan memikirkan banyak hal. Ia tak pernah menikmati hidup sama sekali. Dalam pikirannya, ia hanya ingin membesarkan adiknya, Karl. Kini, setelah hampir terlambat, barulah ia memikirkan dirinya sendiri.     

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa ada yang aneh di wajahku?" tanya Friedrich sambil menyesap tehnya. Ia sama sekali tidak perlu menoleh ke arah Hannah untuk mengetahui bahwa gadis itu memperhatikannya sedari tadi.     

Gadis itu yang merasa terpergok buru-buru menaruh cangkirnya dan terbatuk pelan.     

"Maaf.. aku tidak sengaja," gumamnya.     

Friedrich akhirnya menoleh dan mendapati wajah Hannah yang seperti kepiting rebus karena malu.     

"Kenapa kau suka sekali memandangku?" tanya pemuda itu sambil tersenyum. "Aku memperhatikan akhir-akhir ini kau sering melamun dan terus melihatku diam-diam. Apa.. kau kasihan kepadaku?"     

Hannah buru-buru menggeleng. "Ti-tidak... aku hanya senang melihatmu. Maaf kalau kau merasa tidak nyaman."     

Seandainya diizinkan.. Hannah sangat ingin bisa terus memandangi Friedrich... hingga saat terakhir.     

Tetapi, tentu saja ia tidak dapat mengatakan hal ini.     

"Tidak apa-apa, kok," jawab Friedrich sambil tersenyum simpul. "Aku tidak keberatan kalau ini membuatmu senang. Aku tidak rugi apa-apa."     

"Ahh.. syukurlah," seru Hannah sambil menghembuskan napas lega. Friedrich hanya geleng-geleng melihatnya. Pemuda itu telah menghabiskan teh di cangkirnya. Ia lalu menambahkan teh dari poci dan mengisi cangkirnya hingga penuh. Wangi teh Turki yang khas segera memenuhi udara. "Kau mau teh lagi?"     

Hannah mengangguk penuh semangat. "Terima kasih."     

Keduanya kembali menikmati teh dengan tenang, membiarkan Karl mengambil banyak foto pemandangan di sekitar mereka. Keduanya lalu bercakap-cakap tentang tujuan mereka besok. Pagi-pagi sekali mereka akan naik balon udara bersama dan melihat pemandangan matahari terbit dari udara.     

Kemudian mereka akan melanjutkan petulangan mereka ke Yunani, menyaksikan berbagai sisa peninggalan budaya kerajaan Yunani di masa lalu. Dari situ mereka akan melanjutkan ke Petra di Yordania, Damaskus di Syria, dan Iran. Lalu melanjutkan petualangan ke China, Jepang, dan beberapa kawasan penting lainnya di Asia.     

Mereka tidak menyadari bahwa Karl yang sedang asyik memfoto pemandangan telah menoleh ke arah mereka dan tersenyum sendiri melihat keduanya. Ia melihat kehangatan di antara Friedrich dan Hannah dan dengan cekatan ia lalu mengangkat kameranya dan diam-diam membidik mereka beberapa kali.     

Sungguh pasangan yang sangat serasi dan rupawan, pikirnya. Karl tahu pasti bagaimana perasaan Hannah kepada kakaknya, tetapi hingga kini ia tidak tahu bagaimana perasaan Friedrich terhadap gadis itu.     

Apakah Friedrich juga mencintai Hannah? Menurut naluri Karl, memang demikian. Kalau tidak ada perasaan khusus kepada gadis itu, untuk apa ia membawa-bawa Hannah bersama mereka dalam perjalanan penting ini?     

Tetapi, mengapa sampai sekarang kakaknya sama sekali tidak berusaha menunjukkan perasaannya yang sebenarnya kepada Hannah? Kalau ia memang mencintai Hannah, bukankah lebih baik jika ia mengakuinya dengan jujur dan menikmati hubungan cinta sebelum waktunya habis?     

Karl tidak mengerti apa yang dipikirkan Friedrich. Mau sampai kapan ia memperlakukan Hannah seperti itu?     

***     

Mereka menginap di apartemen dua kamar di Cappadocia. Hannah menginap di satu kamar, Friedrich di kamar yang satunya lagi, sementara Karl memilih untuk tidur di ruang tamu. Agak sulit menemukan apartemen tiga kamar di daerah wisata ini di saat musim panas dan penuh turis seperti sekarang.     

Karl yang masih muda sangat santai dan tidak keberatan tidur di ruang tamu. Ia menghabiskan banyak waktunya di depan laptop ketika Friedrich dan Hannah telah tidur di kamar masing-masing. Ia dengan setia menjalin komunikasi dengan banyak hacker di Darknet dan berusaha masuk ke komunitas mereka.     

Karl sendiri sudah meminati teknologi informasi sejak ia masih sekolah di SMP dan setelah ia tinggal bersama Friedrich, kakaknya itu telah memberikan semua fasilitas yang ia butuhkan untuk memperdalam minatnya itu.     

Seperti yang diinginkan Friedrich, Karl tidak pernah membongkar tentang rahasia kaum Alchemist. Ia menyimpan informasi itu baik-baik dan kemudian berusaha mencari informasi sendiri tentang hal-hal yang berkaitan tentang mereka, tanpa memberi tahu komunitasnya.     

"Kau belum tidur?"      

Karl mengangkat wajahnya dan melihat Friedrich keluar dari kamarnya. Kakaknya itu tampak memegangi kepalanya dengan kedua tangan.     

"Ada yang masih kukerjakan," kata Karl sambil menutup laptopnya. "Kakak ada perlu apa?"     

Ia segera berdiri hendak membantu Friedrich mengambilkan apa saja yang kira-kira dibutuhkan kakaknya itu. Terkadang, Friedrich akan mengeluh sakit kepala dan ia membutuhkan obat agar bisa tidur.     

"Hmm.. aku merasa agak pusing," kata Friedrich.     

"Biar kuambilkan obat dan minumannya," kata Karl menawarkan diri. Sebelum Friedrich menjawab, pemuda itu telah bergegas ke dapur mengambilkan segelas air dan beberapa butir obat dari lemari. Ia menyerahkannya kepada Friedrich.     

"Hmm.. terima kasih," kata Friedrich. Ia segera meminum obatnya dan memejamkan mata. Tangan kanannya memijat keningnya sebentar. "Ya.. sekarang sudah baikan."     

Ia duduk di sofa selama beberapa saat dan mencoba mengembalikan rasa kantuknya, tetapi tidak bisa. Akhirnya pemuda itu bangkit dan berjalan ke dapur. Ia memutuskan untuk membuat teh chamomile untuk membantunya tidur.     

"Biar aku saja yang membuatkan tehnya," kata Karl buru-buru, tetapi Friedrich hanya melambaikan tangannya dan segera merebus air di poci.     

"Aku bukan orang cacat yang selalu harus dilayani," kata Friedrich, membuat adiknya tertegun.     

"Aku tidak bermaksud begitu," kata Karl dengan nada bersalah.     

"Tidak apa-apa, aku mengerti, kau begitu karena kau menyayangiku. Tetapi aku tidak mau diperlakukan seperti orang yang tidak bisa apa-apa, oke?"     

Karl mengangguk pelan. "Baiklah."     

Setelah air mendidih, ia membiarkan kakaknya menyeduh teh di poci. Ia membantu membawa dua cangkir ke ruang tamu dan di sana mereka minum teh berdua.     

"Oh, sebentar, tadi sore aku mengambil beberapa foto di kafe atap tempat kita melihat matahari terbenam," kata Karl tiba-tiba. Ia lalu membuka laptopnya dan membuka folder berisi kumpulan foto-foto yang diambilnya hari ini.     

Ada sepuluh foto yang sangat menarik perhatian. Foto itu berisi Friedrich dan Hannah yang sedang duduk berdampingan sambil mengobrol dan membahas tentang itinerary perjalanan mereka selanjutnya. Latar belakang matahari terbenam di sebelah kiri mereka membuat foto-foto itu tampak indah sekali.     

Wajah sang pria sangat tampan, dan sang wanita sangat cantik. Sungguh pasangan serasi!     

Friedrich menatap satu persatu foto itu lama sekali. Karl dapat melihat ekspresi kakaknya yang seolah dipenuhi kesedihan saat menatap Hannah.     

Kenapa Friedrich justru merasa sedih? Bukankah mereka sedang membahas hal menyenangkan tadi? Pemandangannnya juga indah sekali.     

"Kakak.... kenapa kakak sedih?" Akhirnya Karl tak dapat menahan pertanyaan itu keluar dari bibirnya.     

Friedrich sama sekali tidak menoleh. Ia kemudian mendesah pelan.      

Karl dapat menduga bahwa kesedihan kakaknya ini ada hubungannya dengan Hannah. Dengan penuh pengertian, Karl tidak lagi mendesak.     

"Apakah... kakak menyukai Kak Hannah?" Suaranya terdengar sangat pelan. Ia benar-benar ingin mengetahui jawabannya, tetapi di saat yang sama, ia tidak ingin memaksa kakaknya untuk terbuka.     

Ia menahan napas ketika melihat Friedrich mengangguk.     

Astaga! Benar dugaannya. Ternyata Friedrich memang menyukai Hannah.     

"Aku mencintainya, Karl," kata Friedrich akhirnya setelah untuk beberapa lama tampak bergumul dengan dirinya sendiri. "Terima kasih kau sudah mengambil foto-foto yang cantik."     

"Kalau kakak memang mencintai Kak Hannah, kenapa Kakak tidak pernah mengatakan apa-apa kepadanya? Aku yakin Kak Hannah sangat ingin mendengar sendiri darimu bagaimana perasaanmu kepadanya yang sesungguhnya." tanya Karl lagi.     

Friedrich hanya menggeleng. "Aku tidak mungkin berbuat sejahat itu kepada seorang wanita. Umurku hanya menghitung bulan. Kalau aku menyatakan cinta kepadanya dan membuatnya merasa terikat kepadaku... aku hanya akan membuatnya menderita. Lebih baik seperti sekarang ini. Kurasa begini juga sudah cukup."     

Karl menelan ludah. Ia baru mengerti bahwa kakaknya yang baik hati tidak ingin mengikat Hannah kepadanya dengan menyatakan cinta sekarang, di saat umurnya sudah hampir berakhir. Ia merasa bahwa itu adalah perbuatan egois. Karl menarik napas panjang. Ia mengerti apa yang dirasakan kakaknya.     

Dalam hati ia menangisi nasib kakaknya yang buruk, dan cinta Hannah yang seolah bertepuk sebelah tangan.     

CREEK     

Keduanya terkejut saat mendengar suara pintu dibuka. Dari kamarnya, tampak Hannah yang berurai air mata, muncul di ambang pintu. Wajah gadis itu tampak sedih sekali.     

"Friedrich... apakah yang kau bilang tadi itu benar?" tanya gadis itu dengan suara serak.     

Seketika kedua pemuda itu tertegun.     

Rupanya, tadi Hannah mendengar pembicaraan mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.