The Alchemists: Cinta Abadi

Keputusan Hannah



Keputusan Hannah

0Karl adalah anak yang patuh kepada kakaknya. Karena itu, ia menurut dan keluar dari ruang makan.      

"Aku akan mengerjakan PR-ku," kata remaja itu. Ia mengangguk dan tersenyum kepada Hannah lalu berjalan menuju kamarnya di lantai dua.     

Setelah hanya tinggal mereka berdua di ruang makan, Friedrich mengambil sebotol prosecco dari dalam lemari dan dua buah gelas. Ia tadi sengaja tidak mengeluarkan wine untuk makan siang mereka karena Karl masih belum cukup umur untuk minum wine.     

Ia tak ingin dirinya dan Hannah menikmati minuman di depan adiknya yang hanya bisa memandang. Demikianlah Friedrich sangat menyayangi Karl. Dan Karl juga sangat menghormati dan menyayangi kakaknya karena hal itu.     

"Mau minum di luar?" tanya Friedrich sambil menunjuk ke teras di samping ruang makan yang dipenuhi banyak tanaman hias. Hannah mengangguk. Ia mengambil dua buah gelas dan mengikuti Friedrich ke teras.     

Mereka duduk di kursi teras. Friedrich menuangkan prosecco untuk mereka dan menyerahkan segelas kepada Hannah. Gadis itu menerimanya dengan penuh terima kasih.     

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Friedric sambil menatap Hannah. Pertanyaan pemuda itu membuat Hannah terkejut. Ia tidak mengira Friedrich justru memulai pembicaraan dengan menanyakan keadaannya.      

Tadinya ia mengira Friedrich akan menanyakan apa yang ingin Hannah lakukan sekarang dan bagaimana rencananya. Lalu, kemudian Friedrich akan mengatakan bahwa ia hanya bisa menolong Hannah sebatas ini saja. Setelah ini Hannah harus berusaha sendiri.     

Karena Hannah tidak segera menjawab, Friedrich mengulangi pertanyaannya.     

"Apakah kau baik-baik saja?"     

Hannah tergugah dan segera menganggukkan kepalanya.     

"Aku baik. Terima kasih," jawab gadis itu. Ia mempermainkan gelasnya dan berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku sudah merepotkanmu. Aku berutang budi kepadamu."     

"Tidak usah dipikirkan," kata Friedrich dengan tenang. "Aku sama sekali tidak merasa repot."     

Hannah menatap pria itu dengan pandangan penuh terima kasih dan kagum. Ia tidak mengira, laki-laki semuda ini ternyata dapat bersikap demikian dewasa dan pengertian.     

Tanpa sadarnya, Hannah sudah jatuh cinta pada Friedrich.     

Ia belum pernah bertemu lelaki yang demikian mengesankan dan baik seperti Friedrich. Namun, sayangnya... Friedrich sepertinya tidak merasakan hal yang sama.     

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya pemuda itu keheranan. "Ada sesuatu di wajahku?"     

Hannah buru-buru menggeleng. "Tidak. Maafkan aku. Seharusnya aku tidak menatap seperti itu... tidak sopan."     

"Lalu?" Friedrich tidak mengerti kenapa Hannah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak melakukan kesalahan, bukan? Kalau memang keadaan Hannah baik-baik saja, kenapa ia seperti mau menangis?     

"Uhm.., aku hanya merasa berterima kasih dan berutang budi. Seumur hidupku, aku akan mengingat kebaikanmu." Hannah mengusap matanya dan berusaha menegarkan diri. "Aku juga sudah memikirkan baik-baik apa yang harus kulakukan selama kau pergi tadi. Aku ingin meninggalkan keluargaku. Aku akan mencari pekerjaan dan menghidupi diriku sendiri."     

"Hmm.." Friedrich mengangguk sambil menyesap wine-nya. "Bagus. Kau memikirkannya dan tidak berusaha mengandalkan orang lain. Lalu pekerjaan apa yang dapat kau lakukan?"     

"Aku bisa melakukan apa saja... bekerja di restoran sebagai pelayan juga bisa," kata Hannah cepat. "Aku tidak akan merepotkanmu."     

"Baiklah," kata Friedrich. "Aku bisa mencarikanmu pekerjaan di kantorku. Mungkin mereka dapat menerimamu di kafetaria perusahaan. Bagaimana?"     

Hannah senang sekali mendengarnya. Ia sama sekali baru di Seattle dan tidak mungkin dapat memperoleh pekerjaan yang legal karena ia bukan penduduk tetap di Amerika. Kalau Friedrich membantunya mendapatkan pekerjaan, tentu ia akan sangat terbantu.     

"Aku mau!" kata gadis itu dengan penuh semangat.     

Antusiasme Hannah membuat Friedrich tersentuh. Ia sebenarnya hanya menawarkan sebatas menawarkan saja, tidak mengira Hannah akan langsung menerimanya.     

Gadis ini.. seorang putri raja kan? Dia mau menjadi pelayan di kafetaria perusahaan?     

Friedrich memperhatikan gadis itu baik-baik, dan seketika kesannya terhadap Hannah menjadi berubah lebih baik. Tadinya ia hanya ingin menolong gadis itu karena rasa kasihan. Namun, sekarang setelah ia melihat tekad Hannah dan antusiasmenya untuk bekerja dan menghidupi diri sendiri, tidak mau menggantungkan diri kepadanya, Friedrich menjadi terkesan.     

Ternyata putri satu ini sama sekali tidak manja. Friedrich sangat senang melihatnya.     

"Baiklah, kalau begitu. Kapan kau bisa mulai bekerja?" tanya pemuda itu.     

"Secepatnya," kata Hannah malu-malu. "Aku.. perlu uang. Aku sama sekali tidak mempunyai uang."     

Ia tidak dapat menghubungi Aurora untuk membawakan pakaiannya dan ia yakin rekeningnya juga pasti sudah dibekukan.     

"Kau tidak punya uang?" tanya Friedrich keheranan. "Kau tidak membawa dompet?"     

Hannah menggeleng. "Aku membawa dompet, tetapi aku yakin rekeningku sudah dibekukan oleh orang tuaku,"     

"Oh..." Friedrich mengangguk mengerti. Ia mengambil dompet kecil dari sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu dari situ. Ia menaruhnya di meja. "Kau bisa memakai uang di kartu ini untuk sementara. Aku akan mengirimkan PIN-nya kepadamu. Di mana ponselmu?"     

"Mati," jawab Hannah. "Aku sengaja mematikannya agar mereka tidak dapat melacakku."     

"Hmm.. kau pintar juga," puji Friedrich. "Kalau begitu, aku akan membelikanmu ponsel yang baru."     

Hannah mengangguk. "Terima kasih. Aku akan membayarnya begitu aku menerima gaji."     

"Hmm.." Friedrich hanya mengangguk. Ia mengeluarkan pulpen dari sakunya dan selembar kertas kecil, lalu menuliskan PIN kartu debit barusan di sana. Ia kemudian menyerahkannya kepada Hannah. "Ini PIN-nya. Kau bisa menggunakan uangnya untuk membeli segala keperluanmu. Kau tidak usah takut terlacak. Semuanya atas namaku."     

"Terima kasih." Hannah menyimpan kertas itu setelah membaca isinya. Pelan-pelan beban yang ada di dadanya menjadi terasa semakin ringan.     

"Lalu bagaimana dengan tempat tinggal?" tanya Friedrich kemudian. "Aku tidak keberatan kalau kau mau tinggal di sini sampai kau memperoleh penghasilan dan bisa menyewa kamar atau apartemen sendiri."     

Hannah mengangguk gembira. "Aku akan senang sekali. Aku bisa memasak dan membersihkan rumah untuk membalasnya."     

Friedrich menggeleng. "Tidak perlu. Harley sangat pandai melakukannya. Kurasa yang perlu kau lakukan hanyalah mengajari Harley cara memasak hidangan yang tadi kau buat. Aku ingin robotku menjadi lebih baik."     

Hannah tersenyum lega dan mengangguk. "Baiklah. Dengan senang hati. Aku akan melakukannya."     

"Bagus. Kalau begitu, semuanya beres."     

Hannah merasa begitu ringan saat Friedrich mengatakan bahwa semuanya beres. Entah kenapa, semua kekuatiran dan ketakutan yang dirasakannya tadi, sekarang menghilang entah kemana. Ia merasa menjadi lebih berani dan sanggup menghadapi apa pun.     

Ia merasa sangat berterima kasih kepada Friedrich.     

"Baiklah, kalau begitu, kau silakan membeli semua kebutuhanmu dan menyamankan diri. Harley sudah menunjukkan kamarmu, kan? Kau bisa meminta bantuannya untuk berbagai hal. Aku harus melakukan pekerjaan. Besok aku harus menghadiri banyak meeting penting."     

Friedrich menghabiskan prosecco-nya dan beranjak dari teras masuk ke dalam rumah. Hannah hanya memandangi punggung pemuda itu hingga hilang dari pandangannya. Ahh.. ia merasa lega sekali.     

Setelah menghabiskan minumannya, Hannah segera membereskan botol prosecco dan gelasnya lalu mencucinya di dapur. Setelah itu, ia bergegas mencari Harley.     

"Harley, aku perlu komputer untuk berbelanja kebutuhan wanita. Apakah kau bisa membantuku?" tanyanya kepada robot itu.     

"Tentu saja, Nona. Mari ikut saya," kata Harley dengan penuh hormat. Ia berjalan menuju sebuah ruangan di samping ruang tamu dan menunjukkan seperangkat komputer di sana.     

"Terima kasih, Harley." Hannah segera duduk di meja komputer dan membuka marketplace. Ia lalu memesan beberapa pakaian sederhana dan kebutuhan lainnya. Tak lupa ia juga memesan sebuah ponsel baru untuk menggantikan ponselnya yang lama.     

Sambil membuka marketplace dan memesan barang-barang yang ia butuhkan, Hannah mencoba mencari berita tentang dirinya di berbagai media. Baik media Moravia maupun Amerika dan media internasional.     

Ia ingin tahu apakah keluarganya sudah mengetahui bahwa ia menghilang atau tidak, dan apa tindakan mereka sekarang...     

Hmm.. tidak ada.     

Tidak mungkin Valentino tidak memberi tahu orang tua Hannah tentang peristiwa tadi pagi. Pasti ia langsung melaporkan semuanya kepada raja dan ratu Moravia. Seharusnya sekarang mereka sudah mulai mengirim orang untuk mencari keberadaan Hannah.     

Ah... tidak ada kabar berarti kabar baik, pikir Hannah. Ia lalu menutup komputer dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat lagi menenangkan diri.     

Semua yang terjadi sejak tadi malam hingga kini masih terasa seperti mimpi baginya. Nasibnya berubah begitu drastis, dari seorang putri raja kerajaan di Eropa, kini menjadi seorang pelarian.     

Bahkan, ia akan segera menjadi imigran gelap di Amerika yang bekerja ilegal karena ia tidak memiliki visa tinggal di negara ini sehingga ia seharusnya tidak dapat mencari pekerjaan.     

Namun demikian, perasaan Hannah terasa jauh lebih bahagia seperti ini dibandingkan dengan saat ia masih hidup bergelimang kekayaan sebagai seorang putri. Uang memang tidak dapat membeli kebahagiaan.     

***     

Keesokan paginya, Friedrich terbangun oleh bau masakan yang sangat lezat dan tanpa sadar, hidungnya mencium-cium ke udara. Hmm.. apakah Harley belajar resep masakan yang baru, pikirnya sambil terkantuk-kantuk.     

"Astaga... gadis itu," gumam Friedrich tiba-tiba, begitu ia teringat kepada Hannah, gadis yang kemarin ditolongnya.     

Ia bertanya-tanya apakah Hannah yang memasak sepagi ini. Ia menguap lebar dan bergegas memakai jubah tidur dan berjalan ke arah dapur. Di sana ia menemukan gadis itu sedang memotong-motong bahan makanan dan mulai memasak.     

Untuk sesaat Friedrich menjadi tertegun di tempatnya. Mengapa Hannah bangun pagi-pagi sekali dan memasak?     

"Kau memasak apa?" tanya Friedrich sambil menghampiri gadis itu. Hannah yang terkejut mendengar suaranya yang tiba-tiba itu segera telonjak kaget.     

"Astaga.. kau mengagetkanku," kata gadis itu. Seulas senyum lebar segera terukir di wajahnya. "Aku memasak pancake kesukaanmu. Harley memberitahuku kau sangat suka pancake untuk sarapan."     

"Oh..." Friedrich terdiam. Ia tidak ingin mengoreksi Hannah dan membuat gadis itu tersinggung.     

Sebenarnya informasi dari Harley hanya setengah benar. Friedrich TIDAK menyukai pancake untuk sarapan. Ia hanya menyukai pancake buatan ibunya, karena wanita itu sering membuatkan pancake untuknya sewaktu ia masih kecil, dan kenangan itu sangat membekas di hatinya setelah ayah dan ibunya meninggal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.