The Alchemists: Cinta Abadi

Apa Yang Akan Kau Pilih?



Apa Yang Akan Kau Pilih?

0Ren mengangkat wajahnya dan menatap Amelia dengan wajah tanpa ekspresi. Ia mengangkat tangannya dan mempersilakan Amelia duduk.     

Dengan ragu-ragu, Amelia melangkah mendekati Ren dan duduk di kursi di dekatnya. Gadis itu menatap Ren dengan wajah penuh tanda tanya. Ia tidak mengerti dengan sikap Ren yang tampak tidak bisa dibaca.     

"Teh?" tanya Ren sambil memberi tanda kepada John yang dengan sigap datang dan menyajikan teh di dua cangkir bagi Ren dan Amelia. Ren mengangguk. "Minumlah."     

Amelia tampak ragu-ragu, tetapi setelah melihat Ren mengambil satu cangkir dan mulai menyesap tehnya, gadis itu menjadi sedikit lebih relaks. Mungkin, setelah berpikir selama berbulan-bulan, Ren akhirnya sadar dan kembali seperti dirinya yang dulu.     

"Kudengar kau ke Bali..." tanya Amelia dengan suara pelan "Bagaimana keadaanmu?"     

Ren menatap gadis itu, masih tanpa ekspresi.     

"Kau bisa lihat sendiri," jawabnya.     

"Hm... kuharap kau baik-baik saja," kata Amelia akhirnya. Ia kemudian terdiam. "Kau sudah mengunjungi kakek dan nenekmu?"     

"Kurasa kau lebih tahu urusan istana daripada aku," kata Ren. "Bukan itu tujuanku memanggilmu kemari."     

Amelia menelan ludah.     

"Kalau ini tentang kehamilan Fee... Aku melakukan itu untukmu, Ren..." kata Amelia dengan suara parau. "Aku tidak tahu apa yang merasukimu waktu itu, tetapi seharusnya kau tidak membuatnya hamil. Anak-anak akan mengganggu semua rencana balas dendammu. Aku membantumu kembali ke jalan yang benar."     

"Kau tidak tahu apa-apa, Amelia. Berhentilah memutuskan seolah-olah kau melakukannya untukku..." kecam Ren. "Kau hanya tidak rela melihat ada wanita lain yang mengandung anak dariku, sementara kau—"     

Ia tidak melanjutkan kata-katanya.     

"Sementara aku apa?" tantang Amelia dengan suara getir. Ia bangkit berdiri dan menghadap Ren dengan wajah dipenuhi air mata. "Aku hanya memegang kata-katamu sewaktu kita remaja dulu. Kau berjanji akan menikahiku setelah semuanya selesai. Kau menyimpan dendam yang begitu besar pada orang yang tak mungkin bisa kita jangkau.... Kau hidup hanya untuk melihatnya menderita. Kau begitu terobsesi dengan semua itu... Tetapi setelah kau bertemu dia, kau mau menyingkirkanku begitu saja? Aku telah setia kepadamu bertahun-tahun.. Aku selalu menunggumu, aku mendukungmu... Aku bahkan menerima kenyataan bahwa kau tidak akan bisa mencintaiku..."     

"Aku sudah berkali-kali bilang kepadamu kalau aku ini orang jahat dan kau tidak usah mempercayaiku," tukas Ren. "Salah sendiri kenapa kau begitu bodoh dan mau kumanfaatkan."     

Amelia tertegun mendengar kata-kata Ren yang begitu dingin. Ia selalu mendengar Ren berkata seperti itu kepadanya, tetapi Amelia tidak pernah mempedulikannya. Ia mengira Ren akan berubah. Selama Ren tidak bersama wanita lain, ia tidak keberatan jika Ren memanfaatkannya.     

Namun, mendengar Ren menyebutnya bodoh dengan sangat kasar seperti ini... hati Amelia yang sudah kebal dengan semua perlakuan buruk Ren selama ini akhirnya menjadi hancur berkeping-keping...     

"Ren... kau tidak ingat saat kita tidur berdua di atas loteng dan membicarakan semua cita-citamu menguasai Moravia, dan kemudian menguasai dunia...?" tanya Amelia dengan suara bergetar.     

"Saat itu kau menunjukkan teleskop terbarumu. Kita melihat bintang bersama dari jendela di atap, dan kau mengatakan bahwa suatu hari nanti kau akan membalas orang yang membunuh ayahmu dan merebut kerajaan Moravia dari keluarga ibumu yang mengasingkannya.     

Saat itu aku memandangmu dengan sangat kagum.... Itulah saat aku mulai mencintaimu. Ketika aku melihat pandanganmu yang sungguh-sungguh dan penuh tekad, aku merasa bahagia dan ingin membantumu mencapai semuanya..."     

Ren tidak menanggapi kata-kata Amelia. Ia ingat peristiwa itu. Ia masih menyimpan teleskopnya di kamar masa kecilnya hingga kini. Ia memang menyimpan dendam yang besar kepada banyak orang dan hal itulah yang menjadi pendorongnya untuk maju, menjadi yang terbaik dalam segalanya.     

Ia ingin menunjukkan kepada semua orang yang menjahati keluarganya bahwa ia akan memberi mereka balasan yang setimpal. Setiap detik hidupnya difokuskan pada satu tujuan itu. Membalas dendam.     

"Kita sudah hampir berhasil..." bisik Amelia. Ia bergerak perlahan dan bersimpuh, memeluk lutut Ren yang duduk di kursi. Air matanya berlinangan semakin deras. "Kita berhasil membunuh sepupumu dan membuatmu diangkat sebagai penggantinya. Selangkah lagi dan kau akan menjadi raja Moravia. Kau juga telah membuat Alaric Rhionen mendapatkan hukuman pertama. Kau telah menculik anak perempuannya. Sedikit lagi... kau juga akan mendapatkan ramuan keabadian itu dan menguasai formulanya...."     

"Aku tidak menginginkan itu lagi," kata Ren dengan suara datar. Ia memandang cangkir tehnya yang sudah hampir kosong dan pikirannya melayang ke masa lalu.     

"Kau pasti sedang tidak sehat dan tak dapat berpikir jernih," kata Amelia. "Hanya itu yang kau inginkan seumur hidupmu... Kalau kau sudah mendapatkannya, kau akan dapat menguasai dunia."     

"Kau benar. Aku tidak sehat dan kehilangan pikiran jernihku. Keduanya hilang bersama kedua anakku yang kau bunuh, Amelia," jawab Ren dengan suara getir. "Kerusakan yang kau buat tidak akan pernah dapat dipulihkan..."     

"Du—dua katamu?" Amelia tertegun mendengar kata-kata Ren. Ia tidak mengira Vega mengandung dua janin saat Amelia menembaknya.     

"Kau tidak salah dengar," kata Ren. "Aku memikirkan ini sangat lama, Amelia. Kau adalah temanku sejak kecil dan kita melalui banyak hal bersama. Selama berbulan-bulan aku menenangkan diri dan memikirkan apa hukuman terbaik yang pantas untukmu..."     

"Ren... kumohon, aku tidak tahu dia mengandung dua anakmu..." bisik Amelia.     

"Satu atau dua, tidak ada bedanya, Amelia. Kau telah merenggut nyawa anak-anakku dengan darah dingin. Aku sempat berpikir, apakah sebaiknya aku menembakmu berkali-kali di perut dan merusak rahimmu supaya kau tidak akan pernah dapat memiliki keturunan..." Suara Ren terdengar begitu dingin. "Atau sebaiknya aku membunuh dua orang yang paling kau sayangi di dunia ini, agar kau mengerti artinya kehilangan...."     

"Jangan ganggu orang tuaku!!!" jerit Amelia dengan suara histeris. Ia mencengkramkan kukunya ke lengan Ren dan menariknya kuat-kuat. "Kau tidak boleh begitu. Ibuku turut membesarkanmu. Ibuku sangat menyayangimu. Jangan sampai kau lupakan bahwa ibuku adalah sahabat ibumu.."     

"Atau mungkin sebaiknya aku menyuruhmu memilih. Apakah mereka atau kau yang mati... " Ren tampak tidak terpengaruh. Ia menatap Amelia dengan sepasang mata madunya yang sama sekali tidak menunjukkan cahaya kehidupan.      

Untuk sesaat Amelia tampak merasa jerih melihat tatapan Ren yang tampak begitu mengerikan.      

"Ren... kumohon..."     

"Apa yang akan kau pilih Amelia? Ingat, kau tahu prinsipku adalah mata ganti mata, nyawa ganti nyawa...." Ren menatap Amelia tanpa berkedip. "Nyawa anak-anakmu di masa depan, nyawa orang tuamu.. atau nyawamu sendiri? Mana yang kau pilih?"     

Amelia menggigit bibirnya dan berusaha menahan tangis. "Kau kejam, Ren."     

"Kalau kau tidak memilih, maka aku yang akan memilihkan untukmu, dan kurasa kau tidak akan menyukai pilihanku," komentar Ren.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.