The Alchemists: Cinta Abadi

Aku Sedang Hamil



Aku Sedang Hamil

0Fee diam saja sepanjang makan malam. Ia berusaha menghindari tatapan mata Ren yang memakan supnya sambil terus memperhatikan wanita itu.     

Namun, akhirnya, Fee tidak tahan juga.     

"Berhentilah menatapku seperti itu. Aku ini bukan makanan." Ia berkata begitu karena ia melihat ekspresi 'lapar' pada wajah suaminya. Namun, Fee mengatakannya sambil menunduk dan mengaduk-aduk sup di mangkuknya.     

Fee tidak bisa ditatap seperti itu terus. Ia takut kalau ia membalas menatap mata Ren, ia akan luluh.     

Sial. Kenapa ia lemah sekali?     

"Baiklah," Ren hanya menjawab seperti itu, tetapi ia terus mencuri pandang ke arah Fee sambil menikmati sup di depannya. "Bagaimana masakanku? Tidak enak, ya? Kau hampir tidak memakannya. Kalau kau sakit lagi, aku akan tinggal di sini dan merawatmu. Dokter Henry juga tidak akan kuizinkan pulang."     

Ketika ia mendengar kata-kata Ren, Fee menjadi cegukan. Ia buru-buru menyendok supnya dan memaksa dirinya untuk makan. Ia tidak bisa membiarkan Ren tinggal di sini dan merawatnya!     

Apa nanti kata bosnya?     

"Aku baik-baik saja," cetus Fee. "Lihat, aku makan supnya, kan? Aku akan menghabiskan ini."     

Setengah mati Fee berusaha memaksa dirinya untuk menyuap sup sesendok demi sesendok. Ia juga sadar bahwa ia harus tetap sehat untuk anak-anaknya.     

Setelah mereka akhirnya selesai makan, terdengar bunyi ketukan di pintu. Ren segera bangkit dari kursi dan menahan bahu Fee yang hendak bangkit dan membukakan pintu.     

"Itu pasti dokter Henry. Kau duduk saja, biar aku yang membukakan pintu," katanya.     

Fee hanya bisa tercengang melihat perbuatan Ren yang bersikap seolah di rumah sendiri.     

Ren, ini tempat tinggal orang lain. Ini bukan rumahmu... omel Fee dalam hati.     

Diam-diam ia mulai merasa cemas. Bagaimana jika dokter Henry mengetahui kehamilannya? Ugh.. ini benar-benar sangat menyulitkan.     

Ren kembali beberapa menit kemudian dengan dokter Henry mengikuti di belakangnya. Pria itu tampak agak sedih. Fee mengerti, tentu saja dokter itu merasa berat meninggalkan keluarganya saat mereka sedang berlibur keluar kota, karena Ren tiba-tiba memanggilnya. Namun, ia tentu tak dapat menolak permintaan Pangeran Putra Mahkota Moravia.     

"Selamat malam, Nyonya," Pria sepaaruh baya itu menyapa Fee dengan hormat. "Saya mendengar Anda sakit. Bisa ceritakan apa saja keluhannya?"     

Fee menggeleng dan tersenyum rikuh. "Ren terlalu berlebihan. Aku hanya lemas karena kemarin aku minum wine terlalu banyak dan sama sekali tidak makan. Tidak ada yang perlu diperiksa. Maaf suamiku sudah membuat dokter jauh-jauh datang ke sini. Tadi aku sudah makan dan sekarang aku merasa jauh lebih baik."     

"Tetapi, sebaiknya demi keamanan, saya akan memeriksa kesehatan Anda, untuk memastikan bahwa Nyonya memang baik-baik saja," kata dokter Henry ketika sudut matanya menangkap ekspresi ketus di wajah Ren.     

Ia tidak akan berani membantah sang pangeran dan menyetujui pendapat Fee yang mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Kalau ia mengikuti perkataan Fee, maka ia akan dianggap memperlakukan Ren seperti pembohong atau orang yang tidak kompeten. Karena itulah, ia tetap bersikeras hendak memeriksa Fee.     

"Dokter, aku perlu bicara dengan suamiku. Rasanya dokter tidak lagi dibutuhkan di sini karena aku sudah membaik. Aku tak mau membuang waktumu lebih lama lagi. Ini adalah libur malam Natal. Bukankah lebih baik dokter menghabiskannya bersama keluarga?" kata Fee kepada dokter Henry, tetapi di saat yang sama ia menujukan kata-katanya kepada Ren.     

Ren akhirnya menepuk bahu dokter Henry dan mendorongnya ke arah pintu. "Pulanglah bersama keluargamu. Aku tak mau istriku mengira aku ini tidak punya hati dan memaksamu tinggal di sini di saat malam Natal."     

"Ba.. baik, Tuan. Terima kasih," kata dokter Henry, tidak dapat menyembunyikan ekspresi leganya. "Kalau begitu aku pulang dulu. Selamat Natal, Tuan dan Nyonya."     

Ia membungkuk beberapa kali dan kemudian keluar lewat pintu. Ren melangkah maju dan menutup jarak antara dirinya dan Fee. Suara baritonnya yang khas terdengar agak serak saat ia bertanya kepada istrinya.     

"Tadi kau bilang ada yang ingin kau bicarakan denganku?"     

Fee menggigit bibirnya. Ia tahu, sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk menyelesaikan urusan antara dirinya dan Ren.     

"Sebaiknya kita duduk di sofa," kata Fe mengalihkan pembicaraan. Ia menarik tangan Ren menuju ke ruang duduk. Setibanya di sana ia mendudukkan diri di sofa dengan anggun. Ren duduk di sampingnya.     

"Aku ingin tahu apa yang ingin kau katakan," kata Ren.     

Fee menghela napas panjang dan kemudian akhirnya ia menghadap ke arah Ren. "Mengapa kau melakukan semua ini? Kau bahkan tidak mencintaiku."     

"Kita sudah membahas ini, Fee. Kau tahu aku memang tidak bisa jatuh cinta," jawab Ren. "Aku tidak mampu mencintaimu, tidak ada hubungannya dengan komitmen kita sebagai suami istri. Ketika kita menikah, kita mengucapkan janji pernikahan yang sayangnya sudah kau langgar. Aku bersedia melupakan itu dan memulai lagi dari awal."     

Fee menghela napas saat mendengar kata-kata Ren.     

"Ketika aku menerima lamaranmu, aku mengira kau ingin menikah denganku karena kau mencintaiku. Kau baru berterus terang kepadaku bahwa kau adalah seorang aromantic SETELAH kita menikah dan pulang dari berbulan madu.     

"Bukankah itu sama halnya dengan kau berbohong kepadaku agar aku mau menikah denganmu? Kau membuatku mengira bahwa cintaku kepadamu berbalas dan bahwa seorang pangeran ingin menjadikanku istrinya..." kata Fee sambil menatap Ren dengan sepasang mata dipenuhi kesedihan. "Kalau aku tahu bahwa kau tidak pernah mencintaiku dan tidak akan bisa mencintaiku... mungkin aku tidak akan mau menikah denganmu."     

Ren menatap Fee tajam. "Yang kau sebut cinta itu hanyalah perasaan superfisial. Pernikahan itu bicara tentang komitmen, bukan hanya perasaan berdebar-debar ketika melihat lelaki tampan atau wanita cantik. Aku menghargai dan menghormatimu, dan selalu berusaha membuatmu bahagia...     

"Aku menjanjikan itu saat kita menikah dan aku menepati kata-kataku. Sebelum aku melamarmu, aku juga tidak pernah mengatakan cinta. Aku tidak pernah menipumu atau dengan sengaja membuatmu mengira aku jatuh cinta kepadamu, karena aku memang tidak bisa jatuh cinta."     

Fee terdiam. Ia mengakui bahwa Ren memang sekalipun tidak pernah mengatakan cinta kepadanya. Fee-lah yang berasumsi sendiri waktu Ren melamarnya dulu bahwa Ren ingin menikahinya karena cinta.     

Seharusnya ia jangan mengambil kesimpulan sendiri.     

"Ren.. aku sangat mencintaimu, walaupun aku tahu kau tidak akan mencintaiku..." kata Fee akhirnya. Tanpa sadar air mata perlahan mengalir turun ke pipinya. "Tetapi, aku tidak bisa kembali kepadamu, kalau kau masih tidak menginginkan anak dariku. Aku menginginkan anak sekarang, bukan empat tahun lagi."     

Ren menggeleng. "Aku tidak bisa mengabulkan itu sekarang, Fee. Aku sudah memiliki banyak rencana ke depan."     

Fee menunduk dan mempermainkan jemarinya. Ia akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, kalau begitu. Aku... tidak bisa."     

Ia mendongak dan menatap wajah Ren dengan air mata berlinang. "Aku sekarang sedang mengandung. Aku berbohong kepadamu. Aku juga tidak bisa minum wine bukan karena aku tadi malam sudah terlalu banyak minum melainkan karena aku sedang hamil. Aku menghindari minuman beralkohol demi anakku."     

Hati Fee benar-benar terpukul saat melihat ekspresi shock di wajah Ren. Pria itu sama sekali tidak terlihat senang mendengar berita dari Fee bahwa ia sedang mengandung anak mereka.     

Ia memang tidak menginginkan anak ini. Mengapa aku memberitahunya? Seharusnya aku menyimpan sendiri semua ini... tangis Fee dalam hati.     

Ia merasa terpukul dan sedih, tetapi tetap berusaha menampakkan ekspresi tegar di wajahnya.     

"Kurasa berarti sekarang semuanya sudah jelas. Kita memang tidak bisa bersama lagi," kata Fee sambil bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar tidurnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.