The Alchemists: Cinta Abadi

Minum Teh Bersama Duchess Fournier



Minum Teh Bersama Duchess Fournier

0Rune ikut tertawa mendengar penjelasan Rose. Ah... benar juga.     

Ia tidak berpikir ke arah sana. Ia hanya senang bisa mengenakan pakaian yang mirip dengan Rose agar mereka terlihat seperti pasangan.     

"Aku tidak keberatan," kata pemuda itu dengan ringan.     

Rose mengangguk.  "Baiklah. Kalau kau tidak malu, aku juga tidak akan malu."     

Ia lalu menarik tangan Rune agar berjalan mengikutinya turun dari lantai dua. Pemuda itu tentu saja sangat gembira.     

Sungguh sangat menyenangkan berada di negerinya Rose. Karena statusnya di sini adalah sebagai kekasih gadis itu, tentu saja Rose akan selalu bersikap mesra kepadanya.     

Mereka lalu berjalan bergandengan tangan menyusuri  koridor di lantai dua dan turun ke ruang tamu.     

Rose mengajak Rune menuju ke bagian samping rumah dan menemukan ibunya sedang menunggu mereka di teras cantik yang dihiasi banyak tanaman hijau dalam pot, menghadap ke kebun besar dengan lapangan rumput luas.     

Di teras itu ada sebuah meja kayu cantik dengan beberapa sofa dari rotan yang memiliki bantal empuk berwarna biru yang tampak sangat nyaman.     

Di atas meja ada sebuah poci teh dan tiga buah cangkir, serta beberapa piring berisi kue-kue yang ditata dengan cantik. Wajah Duchesss Fournier tampak berseri-seri ketika ia melihat kedatangan mereka.     

"Selamat datang. Silakan duduk," katanya dengan suara manis. "Kalian sudah beristirahat?"     

Ia mempersilakan keduanya duduk di kiri dan kanannya. Rune dan Rose saling pandang lalu tersenyum dan duduk.     

Rune mengangguk. "Aku sudah beristirahat, Yang Mulia. Terima kasih sudah menyediakan kamar yang sangat nyaman."     

"Ahh.. jangan panggil aku yang mulia. Panggil aku Ibu saja," kata Duchess Fournier dengan ramah.     

Rune merasa senang karena sikap ibu Rose sangat ramah kepadanya. Ia merasa ini adalah awal yang sangat baik.     

Tadinya ia mengira sebagai wanita dari kalangan atas, Duchess Fournier akan bersikap kaku atau setidaknya terlihat mementingkan kelas.     

Ia mendengar dari Rose betapa ibunya sedari mula melarang Rose untuk jatuh cinta kepada Leon karena menganggap pria itu tidak setara dengan Rose yang merupakan seorang gadis bangsawan.     

Hal ini membuat Rune berekspektasi negatif terhadap Duchess Fournier. Ia sudah siap untuk diabaikan, atau dijudesi oleh wanita itu.     

Namun ternyata, sedari awal mereka bertemu, wanita itu bersikap hangat dan ramah kepadanya. Duchess Fournier benar-benar mirip seperti anak perempuannya.     

"Uhm... baiklah, Ibu," kata pria itu sambil tersenyum malu-malu. Duchess Fournier akan menjadi ibu mertua yang sangat menyenangkan.     

Ia kini berharap jika nanti ia membawa Rose untuk bertemu ibunya, gadis itu akan mendapatkan kesan yang sama baiknya dari Finland Schneider.     

Duchess Fournier menatap keduanya bergantian dan kemudian menawarkan minuman. "Kau mau teh atau kopi? Memang tadi aku mengatakan bahwa ini acara minum teh, tapi sebenarnya kami juga menyediakan kopi kalau kau mau."     

Rune menggeleng dan tertawa kecil. "Aku menyukai teh, Ibu. Terima kasih. Biar aku yang menuangkan."     

Ia menawarkan diri untuk menuangkan teh untuk mereka. Duchess Fournier mengangguk dan mempersilakan Rune untuk menuangkan teh.     

Pemuda itu melakukannya dengan tata krama yang tanpa cela. Ia menuangkan teh untuk mereka bertiga, lalu menyerahkan cangkir kepada Duchess Fournier dan Rose dengan penuh hormat.     

Ia lalu mengambil cangkirnya sendiri dan duduk manis untuk menikmati tehnya.     

"Terima kasih sudah menuangkannya," kata Duchess Fournier dengan ramah. "Silakan diminum."     

"Teh ini enak sekali," komentar Rune setelah ia menyesap tehnya.     

"Ah.. teh ini memang spesial," kata Duchess Fournier. "Kami memesannya langsung dari Bhutan."     

"Ah, benarkah?" Rune tahu bahwa di Bhutan ada perusahaan produsen teh yang sangat eksklusif. Teh yang ditanam di pegunungan dari Bhutan ini memiliki cita rasa yang sangat istimewa dan harganya sangat mahal.     

Orang biasa sering kali menyamakan teh mahal ini seperti emas. Rasanya memang seperti berlebihan, tetapi memang hampir seperti itu adanya. Sangat sedikit orang yang mampu membeli teh istimewa ini.     

Ibunya juga biasa meminum teh ini sehingga Rune tahu pasti teh apa yang dimaksud Duchess Fournier. Namun pemuda itu pura-pura tidak mengerti dan hanya mengangguk-angguk saja.      

Duhh.. ternyata tidak mudah menjadi orang miskin, pikir Rune kemudian. Selama ini ia tidak terlalu mengalami kesulitan berpura-pura miskin di depan Rose karena gadis itu menjalani gaya hidup yang termasuk sederhana di kota New York.     

Tetapi situasi menjadi lebih sulit saat Rune mengikutinya ke Medion karena ternyata ia harus berhadapan dengan kehidupan orang-orang kalangan atas yang serba mewah.     

Ia menjadi terjebak di tengah-tengah antara bersikap norak sebagai orang miskin yang tidak terbiasa dengan gaya hidup mewah, atau bersikap wajar dan menampilkan diri dengan baik di antara orang-orang kaya yang ada di sekeliling Rose.     

Satu yang pasti, Rune tidak ingin membuat Rose malu. Karenanya ia selalu berusaha menjaga sikap di depan orang lain, terutama keluarga Rose yang pasti akan memiliki nilai paling tinggi dalam menerima Rune masuk ke dalam keluarga mereka.     

"Benar, teh ini sangat istimewa," kat Duchess Fournier sambil mengangkat gelasnya ke depan bibirnya dan memejamkan mata menghirup wangi teh tersebut.     

Melihat Duchess Fournier menikmati tehnya dengan cara seperti itu, Rune menjadi teringat kepada ibunya.     

Ah, ia merasa seandainya Finland Schneider dan Duchess Fournier bertemu, mereka pasti akan dapat bergaul dengan akrab karena memiliki begitu banyak kesamaan.     

Ia lalu ikut mengangkat cangkirnya dan menikmati teh enak tersebut. Setelah basa-basi di awal, akhirnya tibalah pada momen penting yang menjadi tujuan utama mereka minum teh bersama.     

Acara perkenalan.     

"Apakah ini pertama kalinya kau berkunjung ke Medion?" tanya Duchess Fournier kepada Rune dengan penuh perhatian.     

Rune mengangguk. "Benar, Bu."     

"Kau berasal dari Amerika?" tanya Duchess Fournier lagi. Ia merujuk pada bahasa Inggris Rune yang beraksen Amerika. Wanita itu sendiri terdengar memiliki aksen Prancis saat bicara dengan Rune menggunakan bahasa Inggris.     

Hal ini karena Bahasa Prancis adalah salah satu bahasa utama yang dipakai oleh penduduk di Kerajaan Medion. Di negeri ini ada dua bahasa nasional yang dipakai oleh penduduknya yaitu Inggris, dan Prancis.     

Inggris dipilih karena Medion ingin menjadi negara internasional yang menjadi tujuan pariwisata  dan bisnis dunia.     

Sementara bahasa Prancis menjadi dua bahasa utama karena letak kerajaan ini yang memang berbatasan dengan Prancis sehingga banyak penduduknya yang merupakan keturunan Prancis dan menggunakan bahasa itu.     

Pemuda itu menggeleng. "Aku berasal dari Jerman. Kebetulan saja aku banyak menghabiskan waktu di Amerika, sehingga aksenku mengikuti aksen mereka."     

"Ahh.. berasal dari Jerman ya?" Duchess Fournier menatap Rune dengan penuh minat. Ia lalu mengajak pemuda itu berbicara dalam bahasa Jerman yang fasih. "Kau berasal dari Jerman sebelah mana?"     

Rune menjadi terkesan karena Duchess Fournier bisa berbicara bahasanya dengan fasih. Ia tidak mengetahui fakta bahwa di Medion banyak penduduknya yang bisa berbicara dalam bahasa Jerman dengan baik.     

"Ayah dan ibuku sekarang tinggal di Berlin," kata Rune. "Tapi kami berasal dari Stuttgart."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.