The Alchemists: Cinta Abadi

Keributan Di Kota Tua (1)



Keributan Di Kota Tua (1)

2"Mengapa kau menatapku begitu? Apa ada sesuatu di wajahku?" Rose bertanya kepada pria itu yang masih memandangnya dengan serius.     

Rune hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.     

"Tidak ada? Jadi, kenapa kau menatapku terus? Apa kau tidak tahu kalau menatap seseorang seperti itu tidak sopan?" Rose memukul dada Rune dengan pelan. "Sebaiknya kita lanjutkan agenda kita hari ini. Aku ingin menunjukkan Kota Tua yang indah. Tempat ini adalah bagian favoritku di ibukota."     

"Oke," jawab Rune dengan ceria. Ia menggandeng tangan Rose dan bersama-sama mereka keluar dari restoran. Pelayan yang berdiri di pintu masuk menundukkan kepalanya dengan pelan ketika Rose lewat.     

Rose hanya membalas dengan tersenyum manis kepada pelayan itu. "Terima kasih untuk hari ini. Makanannya enak dan kami menghabiskan waktu yang menyenangkan."     

"Merupakan kehormatan bagi kami bisa melayani Yang Mulia dan para tamu," pelayan itu menjawab dengan senyum lebar.     

Pasangan palsu itu berjalan bergandengan tangan di sepanjang jalan berbatu di Kota Tua dan mengagumi semua bangunan bersejarah yang indah di sekitar mereka. Rose melanjutkan penjelasannya tentang sejarah setiap bangunan. Ia sepertinya tahu segalanya seolah ia sudah bertahun-tahun tinggal di sana.     

"Aku ahli sejarah," ucap Rose akhirnya. "Aku suka mendengarkan cerita-cerita yang terjadi di masa lalu dan yang tersisa sekarang membawa begitu banyak pelajaran tentang kemanusiaan. Sejarah adalah hal yang sangat menarik bagiku."     

Rune tersenyum kepada dirinya sendiri ketika ia mendengar kata-katanya. Ahh... Rose pasti akan sangat senang jika bisa mengobrol dengan ayahnya karena Caspar memiliki begitu banyak pengetahuan tentang dunia sejak berabad-abad yang lalu. Pria itu menyimpan begitu banyak fakta sejarah selama hampir 5 abad hidupnya di bumi. Ia selalu punya cerita menarik untuk diceritakan.     

Caspar telah bertemu orang-orang penting di dunia sejak abad ke-16 dan menyaksikan begitu banyak peristiwa penting sepanjang hidupnya.     

Ah, Rune tidak sabar untuk mempertemukan Rose dengan Caspar Schneider dan membuatnya terkesan dengan jejak keluarganya dalam sejarah.     

Saat mereka sedang mengagumi bangunan kecil dari abad ke-17 yang diubah menjadi toko barang antik, tiba-tiba terdengar keributan dari belakang mereka.     

Rune dan Rose dengan cepat berbalik dan melihat kerumunan yang sedang mengelilingi beberapa orang dan ada beberapa pria berbaju serba hitam sedang mencoba membubarkan kerumunan.     

"Apa yang terjadi di sana?" Rose bertanya kepada Rune. Pria itu lebih tinggi darinya, jadi ia pikir Rune pasti bisa melihat dengan lebih jelas tentang apa yang sedang terjadi.     

Rune menggelengkan kepalanya. "Aku tidak yakin. Ada tiga gadis dan beberapa pria berbaju hitam yang melindungi mereka... dan sebuah kerumunan besar."     

"Tiga gadis?" Rose menggelengkan kepalanya. "Mungkin beberapa wanita bangsawan yang datang berkunjung?"     

"Tunggu... salah satu dari mereka menatap ke arah ini," Rune mengerutkan alisnya. "Ia melambai kepada kita."     

Rose yang melihat ke toko antik dengan acuh tak acuh, sekarang memusatkan perhatiannya kembali ke kerumunan itu dan memeriksa apa yang sedang terjadi. Ia terpaku di tempatnya ketika kerumunan perlahan terbuka dan ketiga gadis di tengah bisa terlihat dengan jelas.     

Rune terkejut saat merasakan Rose mencengkram lengannya begitu kuat. Ia menoleh ke arah gadis itu untuk melihat apa yang terjadi dengannya. Rune kaget saat melihat wajah Rose menjadi pucat.     

Rune kemudian memandang ke arah gadis-gadis itu, ia mengira kedatangan mereka lah yang menjadi alasan perubahan ekspresi Rose. Tiba-tiba, ia merasa wajah dari salah satu gadis itu tidak asing baginya.     

Ia pasti pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana? Rune berusaha mengingat-ingat kembali.     

Ketiga gadis itu sekarang berjalan menuju Rose, diikuti oleh kerumunan dan pasukan yang terus melindungi mereka. Sekarang, terlihat jelas bahwa setengah dari kerumunan itu sebenarnya adalah reporter karena beberapa dari mereka membawa kamera dan perekam, dan setengahnya lagi adalah orang-orang biasa.     

"Lady Fournier, kau sudah kembali," kata salah satu gadis berwajah polos dan berambut pirang bob pendek. Ia mengenakan pakaian mewah dan berpenampilan seperti gadis kaya, jadi Rune segera berasumsi bahwa ia pasti dari kalangan kelas atas di Medion.     

"Sarah," jawab Rose dingin. "Ya, benar. Aku sudah kembali."     

Rose lalu menoleh ke arah gadis di sebelah Sarah. Gadis yang dianggap Rune tampak familiar dan ia yakin pernah bertemu dengannya di suatu tempat. Gadis itu terlihat cukup cantik dan baik hati. Wajahnya tirus dan ia terlihat sangat muda.     

Rambut hitamnya diikat dengan kuncir kuda, penampilannya terlihat segar dan kasual, tapi ia tetap mengenakan pakaian gaun pendek yang elegan dan sepatu tenis untuk melengkapi penampilannya. Mata bulatnya yang seperti kelinci betina berwarna hijau dan ia memiliki bibir kecil berwarna merah merona.     

"Apakah kau... Lady Rose Fournier?" tanyanya kepada Rose dengan senyum tulus. Rose mencengkeram lengan Rune lebih keras saat ia mendengar gadis itu berbicara.     

Tiba-tiba Rune teringat di mana ia melihat gadis berambut hitam itu.     

Ia melihat fotonya di banyak berita internet bulan lalu ketika pertunangannya dengan Pangeran Leon diumumkan secara resmi oleh kedua keluarga kerajaan.     

Ia adalah Putri Anne dari Moravia.     

Ia tampak lebih muda daripada di foto, pikir Rune. Anne sendiri memang baru berusia 20 tahun. Gadis itu dua tahun lebih muda dari Rose, tapi ia tampak seperti gadis yang lembut. Karena itu, jika keduanya disandingkan, sudah jelas Rose akan terlihat lebih dewasa.     

Sekarang, Rune mengerti mengapa Rose merasa kesal saat ketiga gadis itu mendatangi mereka.     

Dari ekspresi dinginnya terhadap gadis yang ia panggil Sarah, Rune tahu bahwa Rose tidak memiliki hubungan yang baik dengan gadis itu.     

Dan, Anne...     

Ya, ia adalah gadis yang akan segera menikah dengan cinta pertama Rose, satu-satunya pria yang pernah ia cintai dalam hidupnya.     

Pasti sulit bagi Rose ketika ia tiba-tiba bertemu dengan Anne. Apalagi saat dirinya masih belum siap.     

"Yang Mulia," Rose memaksakan senyum dan menganggukkan kepalanya sedikit.     

"Oh... Aku sangat senang akhirnya bisa bertemu denganmu!" Anne melangkah mendekati Rose dan tiba-tiba memeluknya. Rune bisa merasakan tubuh Rose menegang dan ia berubah menjadi patung ketika Anne menyentuhnya.     

Oh, Rose yang malang, pikir Rune. Situasinya tampak canggung selama beberapa detik, tetapi Rose dengan cepat mengendalikan emosinya dan mengangkat tangannya untuk memeluk Anne kembali.     

"Senang bertemu denganmu juga, Yang Mulia," kata Rose dengan suara rendah.     

Anne melepaskan pelukannya dan menatap Rose dengan senyum lebar. "Tidak, tidak... jangan panggil aku seperti itu. Aku lebih muda darimu dan aku akan segera menjadi adikmu. Panggil saja aku Anne."     

Rose menelan ludahnya dan terus memaksakan diri tetap tersenyum di depan Putri Anne. "Tidak, aku tidak bisa melakukan itu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.