The Alchemists: Cinta Abadi

Kesedihan Rose



Kesedihan Rose

0Rune mengamati wajah Rose yang tampak kemerahan. Gadis itu menggumamkan sesuatu lalu menyusupkan kepalanya ke dada Rune. Tindakan yang dilakukan gadis itu dengan tanpa sadar membuat dada Rune berdebar-debar semakin kencang.     

Ia harus membuang muka, agar tidak tergoda oleh wajah cantik Rose yang tampak begitu memikat. Ya Tuhan.. mengapa aku diberi godaan seperti ini? pikir Rune sambil menelan ludah.     

Ia mengangguk kepada petugas lift yang membukakan pintu untuknya dan memencet tombol lift ke lantai dasar.     

"Apakah saya perlu memanggilkan mobil untuk Tuan?" tanya petugas lift yang tidak mengetahui siapa Rune. Pria itu menggeleng.      

"Tidak usah. Mobil kami menunggu di depan lobi," jawabnya.     

"Eh?" Sang petugas tertegun mendengarnya. Tidak boleh ada mobil yang parkir di depan lobi karena akan mengganggu arus lalu lintas kendaraan yang keluar masuk.     

Paling lama mereka hanya boleh berhenti di sana selama lima menit untuk menurunkan penumpang atau menjemput tamu yang akan meninggalkan hotel. Sang petugas berkali-kali mengerling ke arah mereka dan berusaha memperhatikan keduanya.      

Ia hendak menanyakan kepada petugas hotel yang lain, siapa gerangan tamu terhormat yang mobilnya boleh diparkir di depan lobi ini. Ia benar-benar penasaran.     

"Silakan masuk, Tuan," kata supir yang segera membukakan pintu mobil untuk Rune.     

Ekspresinya sama sekali tidak berubah saat melihat Rune datang dengan menggendong gadis teman kencannya. Walaupun sang supir tidak pernah melihat Rune seperti itu, ia sudah terbiasa untuk tidak ikut campur urusan majikannya.     

Dengan hati-hati Rune meletakkan tubuh Rose di bangku belakang. Ia masuk dan duduk, lalu meletakkan kepala gadis itu di pangkuannya.     

"Kita pulang ke East Village, Pak," kata Rune kepada supirnya.     

"Baik, Tuan."     

Mobil itu segera melaju keluar dari halaman hotel St. Laurent dan bergerak menuju ke gedung apartemen Rose di East Village. Di sepanjang perjalanan, Rune mengusap-usap rambut Rose yang terasa begitu lembut di tangannya.     

Hmm.. apa gerangan yang membuat Rose sangat bersedih hari ini?     

***     

DING     

Pintu lift terbuka dan Rune berjalan tegap dengan Rose dalam gendongannya. Ia berhenti di depan pintu dan dengan susah payah berusaha membuka pintu dengan satu tangannya, sambil menggendong gadis itu.     

"Kita di mana?" Rose membuka sebelah matanya saat mereka tiba di lantai tempat unit Rose berada.     

"Sssh.. kita sudah pulang di rumah," kata Rune. Ia sungguh tergoda hendak mencium Rose. Rambut gadis itu terasa wangi sekali di hidungnya saat posisi mereka demikian dekat.     

"Hmm..." Rose mengangguk dan kembali memejamkan matanya.     

Rune menghela napas panjang. Setelah ia menutup pintu kembali, laki-laki itu berjalan menaiki tangga menuju ke loteng tempat kamar Rose berada. Setiap langkahnya menuju ke kamar itu, dadanya berdebar semakin keras.     

Ia belum pernah naik ke kamar ini setelah waktu itu diajak Rose berkeliling apartemennya dan gadis itu menunjukkan isinya. Ahh.. kenapa ia merasa deg-degan begini, ya?     

Setelah ia tiba di atas, Rune segera membaringkan Rose di tempat tidurnya. Begitu tubuhnya menyentuh ranjang, sepasang mata indah Rose terbuka lagi, kali ini ia menatap tepat ke arah Rune.     

Deg     

Deg     

Duh, jangan menatapku seperti ini, Rose, pikir Rune dengan dada yang mengembang seolah diisi udara panas hingga penuh.      

Tangan kanan Rose menyentuh pipi Rune dan mengusapnya dengan lembut. Tanpa sadar pria itu memejamkan matanya, menikmati sentuhan tangan Rose pada wajahnya. Ahh.. tangan gadis itu halus sekali.     

Ketika Rune sedang memejamkan mata itulah, Rose yang sedang mabuk dan tidak dapat menguasai dirinya, menarik wajah Rune mendekat, dan tiba-tiba saja bibir mereka telah bertemu.     

Rune seketika membuka matanya, seperti seekor rusa yang terkena sorotan lampu di tengah jalan saat tengah malam.     

Ciuman dari Rose terasa begitu lembut dan manis di bibirnya. Ohh... Rune tak pernah merasakan debaran sekencang ini pada dadanya. Secara spontan ia memeluk Rose dan membalas ciumannya. Mereka saling melumat bibir dan membelit lidah.     

Rasanya sangat menyenangkan. Perlahan-lahan napas keduanya memburu. Rasanya Rune ingin sekali membuka pakaian Rose dan menidurinya, tetapi pikiran jernih masih menguasai kepalanya. Ia tahu bahwa jika ia mengikuti nafsunya, ia akan menyesali perbuatannya ini keesokan paginya.     

Ia tak ingin Rose marah kepadanya dan menganggap ia sengaja mengambil kesempatan di saat gadis itu sedang tidak sadar sepenuhnya karena pengaruh alkohol.     

Karena itu, walaupun dengan sangat susah payah, Rune akhirnya melepaskan diri dari Rose.      

"Kau sedang tidak sadar, Rose..." bisik Rune. Ia mencium bibir Rose dengan singkat sekali lagi sebelum menjauhkan tubuhnya dari gadis itu dengan enggan. "Nanti, kalau kau ingin melakukannya saat kau sudah sadar sepenuhnya, aku akan dengan senang hati melayanimu.. Aku akan membuatmu puas dan bahagia..."     

Rose tampak tidak mengerti apa yang diucapkan Rune. Gadis itu cemberut dan memukul bahu Rune. "Kau tidak mau menciumku?"     

Suaranya serak dan terdengar sedih sekali.     

"Kau sedang tidak sadar," bisik Rune. Ia mengusap rambut Rose dan mendorong lembut bahunya agar gadis itu berbaring di tempat tidur. "Sebaiknya kau tidur. Besok aku akan membuatkan sup hangover untukmu. Sekarang kau istirahat, ya..."     

Ketika Rune hendak beranjak dan mengambil selimut untuk menutupi tubuh Rose, tiba-tiba tangannya dipegang dengan kuat oleh gadis itu.     

"Leon..." Sepasang mata Rose kembali berkaca-kaca. "Aku tak tahu bagaimana aku akan dapat terus berpura-pura."     

Rune tertegun mendengar kata-kata Rose barusan. Ia seolah disambar petir di tengah hari. Siapakah Leon yang dimaksud Rose ini?     

Apakah Rose mencintainya?     

Kerongkongan pria itu seketika terasa kering, bahkan ia mengalami kesulitan untuk menelan ludah. Ia ingat bahwa dulu Rose mengatakan hendak menjadikan Rune kekasih pura-puranya demi melindungi seseorang.     

Apakah orang yang ingin ia lindungi itu adalah Leon ini?     

Apa yang terjadi sebenarnya? Apa hubungan antara Rose dan Leon?     

Akhirnya Rune memutuskan untuk mencari tahu dari Rose, sementara gadis itu sedang mabuk dan akan berkata jujur.     

"Rose Sayang, kenapa kau merasa harus terus berpura-pura?" tanya Rune sambil duduk di pinggir tempat tidur. "Bukankah berpura-pura itu melelahkan?"     

Rose mengerucutkan bibirnya dan mengangguk sedih. Air mata pelan-pelan membasahi matanya.     

"Memang melelahkan... dan aku sudah tidak tahan lagi," bisik Rose dengan sangat sedih. "Aku ingin berhenti mencintaimu. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya darimu dan tidak pernah bertemu kau lagi..."     

Ia lalu membenamkan wajahnya di kedua tangannya. Gadis itu kemudian menangis terisak-isak.     

Rune tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia kini menjadi yakin bahwa Rose memang memiliki suatu hubungan dengan lelaki yang bernama Leon itu. Mungkin cinta mereka kandas dan kini Rose harus pergi menjauh? Atau mungkin Rose yang cintanya bertepuk sebelah tangan?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.