The Alchemists: Cinta Abadi

Rose Of Medion (5)



Rose Of Medion (5)

0Para anggota Pasukan Pengacau Malam merutuki Rose dalam hati karena melihat gadis itu hendak mengadukan mereka.     

Melihat ekspresi mereka, Rose tersenyum tipis. Ia mendekati Madame Ferguson dan membungkuk sedikit.     

"Maaf, Madame…" Rose memandang Madame Ferguson dengan wajah penuh penyesalan. "Tapi saya benar-benar harus ke kamar kecil. Tadi sirene berbunyi saat saya baru bangun dan tidak sempat ke toilet. Maaf, tapi saya mau permisi ke belakang…"     

Madame Ferguson tertegun sesaat. Wajahnya yang keheranan segera berubah, diisi ekspresi mendadak paham. Ia lalu mengangguk. Rose membungkuk lagi dan segera berlari pergi.     

Semua orang yang tidak mendengar pembicaraan mereka terheran-heran melihat Rose berlari keluar lapangan dan tidak kembali lagi.     

Madame Ferguson tampak agak terpukul. Ia memerintahkan para prefek berkumpul untuk menyelidiki masalah itu lalu membubarkan murid-murid.     

Ketika mereka bertemu saat sarapan, Peter dan teman-temannya segera merubung Rose dan meminta pertanggungjawabannya atas tindakannya tadi yang membuat mereka olahraga jantung.     

"Kami pikir tadi kau berkhianat," omel Harry. "Kurang ajar kau. Bagaiaman kalau aku ada penyakit jantung???"     

"Lalu apa yang kau bilang padanya agar tidak dihukum karena mengacaukan ketegangan suasana yang diciptakannya?" tanya Peter.     

Rose mengangkat bahu, "Aku bilang permisi mau ke toilet.. ha.. ha.. Tapi demi Tuhan, wajah kalian tadi sungguh menggelikan. Bagus, kan, sesekali menghadapi ketegangan?!"     

"Ketegangan kepalamu!" omel mereka semua.     

Jack mengernyitkan kening dan menatap Rose penuh selidik. "Kau tadi benar-benar bercanda… atau memang sengaja mau menyerahkan diri? Seingatku semalam kau bilang mau melakukan suatu kekacauan supaya dikeluarkan dari sekolah…"     

Peter terkejut. Ia menatap Rose dengan tajam. "Benarkah itu? Kenapa kau ingin dikeluarkan?"     

Rose seketika cemberut dan membuang muka. "Itu urusanku. Maaf, teman, tapi meja laki-laki di sana..!"     

Mereka berempat pergi dengan perasaan tidak puas. Helene yang melihat kejadian itu segera menghampiri Rose. "Hei, Rose. Kau kenal mereka? Apa yang tadi kalian bicarakan, sepertinya mereka marah…" tanyanya keheranan.     

"Yah..begitulah.." Rose segera duduk dan makan.     

Pelajaran pertama hari ini adalah Tata Krama dan mereka akan belajar berdansa. Laki-laki masih terpisah dengan perempuan. Yang mengajar kelas dansa ini adalah Madame Prune dan ia langsung memasang musik waltz yang membosankan lalu menyuruh mereka bergerak.     

Joan memakai kelas ini sebagai kesempatan untuk memamerkan bahwa ia bisa berdansa dengan baik dan Madame Prune memujinya. Rose dongkol sekali melihatnya.     

"Dasar tukang pamer..!" cetusnya.     

"Dia memang bagus.." kata Helene.     

"Kelas dansa ini menyebalkan. Kupikir kalau pergi ke sekolah asrama akan bisa menghindari pelajaran dansa di rumahku, ternyata tidak…" keluh Rose.     

"Di rumahmu ada pelajaran berdansa?"     

"Yah, Mama berkeras memanggil guru untuk kami, maksudku aku dan Leon. Di rumah, sih, lumayan. Ada partner yang asyik… Kalau di sini..?!"     

"St. John sering mengadakan pesta dansa. Di situ kau bisa berdansa dengan anak laki-laki…"     

"Aku cuma mau berdansa dengan Leon." Rose mendesah panjang.     

Wajahnya tampak tercenung menatap keluar jendela. Ia ingat betapa mamanya berkeras menghendaki ia belajar berdansa agar kelak ia dapat menjadi lady yang baik.     

Rose membenci pelajaran itu, tetapi ia selalu berpura-pura menyukainya karena Leon suka sekali berdansa. Ia benar-benar terlihat seperti bangsawan saat berdansa.     

"Apakah itu sebabnya kau membenci sekolah ini?" tanya Helene lembut. "Kau tak ingin bersekolah di sini karena harus berpisah dengan… Leon?"     

Rose tersentak. "Sudahlah, Helene… Jangan dibahas lagi. Aku sedih memikirkannya.."     

Rose bertemu Peter di pelajaran Sejarah. Ia bersikap seolah tak terjadi apa-apa dan Peter mengerti, Rose dibiarkannya tanpa pertanyaan lagi.     

"Nanti malam ada karnaval di desa…" kata Peter saat mereka keluar dari kelas. "Kami ingin pergi."     

"Bukankah murid dilarang keluar gerbang sekolah?" tanya Rose heran.     

Peter tersenyum jahil dan mengangguk.     

"Justru karena itulah…"     

Rose ikut tersenyum. Justru karena dilarang itulah... maka para pengacau malam akan pergi.     

Mereka membuat rencana untuk kabur begitu lampu kamar dimatikan, yaitu pukul 9 malam. Karnaval biasanya berlangsung sampai tengah malam, mereka bisa segera pulang dan cukup beristirahat agar tidak dicurigai keesokan harinya. Rose menjadi begitu gembira hingga Helene keheranan.     

"Ada kabar baik apa, Rose? Kelihatannya kau gembira sekali.."     

"Aku? Ah, biasa saja.." jawab Rose ringan. "Mungkin karena makan malamnya spaghetti…Aku sangat suka spaghetti…"     

Helene tidak bertanya lagi.     

***     

Tepat pukul 9 semua lampu kamar dimatikan. Rose segera bersiap-siap di kamarnya memakai pakaian ringkas hitam-hitam dan jaket sebagai alat pelarian. Beberapa saat kemudian Peter muncul di ambang jendelanya dengan pakaian serupa.     

"Hei... Tempat pertemuan secara mendadak dipindahkan karena istal tidak aman…" katanya cepat, "Ayo ikut aku..!"     

Rose segera menuruni jendela mengikuti Peter, tepat saat pintu kamarnya diketuk, dan Rose ingat ia belum menguncinya.     

"Rose... kau di mana?" Helene masuk dan menyalakan lilin karena ia tak berani menyalakan lampu. Ia segera melihat ruangan yang kosong. "Astaga. Oh, Rose.. Apakah kau kabur..?"     

Ia berlari ke jendela dan memergoki Rose yang berusaha turun dari pohon ke tanah. Peter dan Rose terpaku. Keduanya saling pandang, menggeleng lalu naik kembali.     

"Dengar, Helene… Semuanya bisa dijelaskan…" kata Rose cepat.      

"Apakah kau hendak melarikan diri? Aku menduga kau begitu gembira karena menemukan jalan untuk meninggalkan sekolah ini dan kembali pada Leon… Ternyata.."     

"Kau salah." tukas Rose. Ia tidak enak melihat Peter memandangnya dengan sinar mata kecewa. Ia tak bisa berbohong pada Peter bahwa ia memang selalu berusaha untuk kabur dari St. John. "Peter dan aku mau keluar jalan-jalan sebentar melihat pasar malam di desa. Itu saja…"     

Mata Helene tiba-tiba berbinar. "Be-benarkah ada pasar malam di sini..? Oh, ajaklah aku ikut… Aku tak pernah diijinkan pergi ke pasar malam oleh orangtuaku… Aku ingin sekali pergi ke sana…"     

Rose dan Peter saling pandang. Peter menggeleng.     

"Oh, ayolah, Peter! Kau sendiri kemarin yang bilang orang yang mengenali keberadaan kita hanya punya 2 pilihan, disingkirkan atau dijadikan anggota. Kau tentu tak tega mengganggu Helene, kan?" kata Rose setengah memaksa.     

Akhirnya Peter mengalah. "Uff.. Baiklah. Cepat ganti bajumu dan kembali ke sini.."     

"Tapi.. aku tidak punya pakaian seperti kalian.." keluh Helene.     

"Pake jeans saja, deh."     

"Aku juga tidak punya jeans…"     

Rose dan Peter saling pandang. Astaga.. Helene ini memang seorang lady sejati. Jeans saja tidak punya.     

"Peter keluar, deh… biar Helene ganti di sini pinjam pakaianku." Kata Rose akhirnya.     

Peter mengangkat bahu lalu keluar jendela dan menunggu di pohon. Beberapa saat kemudian Rose dan Helene keluar jendela juga. Walau pun sudah memakai pakaian ringkas, Helene tetap saja kesulitan mengikuti gerakan Peter dan Rose yang lincah menuruni pohon.     

Ia menjadi sangat ngeri ketika melihat betapa jauhnya tanah itu berada. Wajahnya memucat dan air mata pelan-pelan mengaliri pipinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.