The Alchemists: Cinta Abadi

Rose Of Medion (2)



Rose Of Medion (2)

1Sementara Rose sedang bingung memikirkan bagaimana ia bisa mencari alasan untuk dikeluarkan dari sekolah, tiba-tiba terdengar teriakan keras sekali dari belakang Rose diikuti oleh suara batuk.     

"Heyyy!!"     

Rose menoleh dan mendapati pemuda yang terburu-buru mengejarnya dengan seekor kuda.. Rambutnya coklat tebal dengan potongan tak rapih, mengenakan kemeja satin putih yang berkibaran tertiup angin.     

Laki-laki kembali berteriak kepada Rose, "Woy..! Kau mencuri kudaku..!"     

Rose melirik kuda bagus yang ia tunggangi lalu berdiam diri menunggu kedatangan pengejarnya. Setelah sampai di dekat Rose, pemuda itu segera melompat turun.     

"Hei…itu kudaku..! Kau harus permisi kepadaku kalau mau menungganginya…" tukasnya dengan nada suara sebal.      

Rose mengangkat wajahnya dengan sikap acuh. "Kupikir kuda-kuda ini milik sekolah. Bagaimana kau bisa mengaku-ngaku memilikinya?"     

"Memang punya sekolah tapi hanya aku yang berhasil menjinakkannya. Zii dulu hampir dibunuh karena sangat liar… Sejak itu sekolah memberikannya kepadaku.."     

"Kalau dulu aku sudah bersekolah di sini, tentu akulah yang akan menjinakkannya, aku pun ahli menjinakkan kuda-kuda liar… Aku memiliki banyak sekali kuda…" balas Rose tak mau kalah. Ia puas melihat wajah pemuda itu memerah karena marah. "Begini saja… Ayo kita tentukan siapa yang berhak atas kuda ini dengan mengadu kemampuan, yang terbaik dialah yang berhak mendapat hak atas siapa namanya.. ya.. Zii.."     

"Baik..!" sahut pemuda itu. "Peter Wellington tak pernah kalah dari siapa pun.."     

"Demikian juga Fornier! Kita berlomba naik turun bukit di sana itu. Yang pertama kembali ke sini dan mengambil selendang ini dari pohon, dia yang menang!"      

"Baik. Aku tidak takut. Ayo kita mulai sekarang."     

Rose mengikatkan syalnya di dahan pohon. Peter mengangguk tidak sabar.      

Keduanya segera bersiap-siap di punggung kuda masing-masing lalu pada hitungan ke-tiga secepatnya mereka memacu kudanya.     

"Heaa..!! Hyaah..!"     

Seperti dua bayangan coklat dan hitam, kedua kuda itu memacu larinya menaiki bukit.     

Rose benar-benar senang. Dalam pikirannya ia sedang memacu Julian dan Leon mengiringinya. Dengan konsentrasi penuh ia terus memacu Zii…     

Ia sangat senang berkuda bersama Leon. Biasaya mereka akan pergi berkuda ke hutan setiap akhir pekan saat mereka tidak perlu belajar bersama Pak Dewey.     

Rose memacu Zii sekencang-kencangnya. Mereka melaju dengan sangat cepat.     

Aha… Peter tertinggal sedikit darinya.     

Puncak bukit sudah dicapai dan kini mereka berlomba untuk turun. Kecepatannya semakin lama semakin meningkat.     

Untuk sesaat rasanya tak akan ada yang kalah, namun tepat di saat terakhir Rose maju dan melesat jauh di depan Peter. Begitu tiba di pohon yang mereka tentukan. Ia segera menghentikan Zii dan melompat turun, serta melepaskan syal dari dahan pohon.     

Rose berhasil memenangkan balapan ini.     

Ia segera nengangkat tangannya tinggi-tinggi, mengibarkan syal di tangan kanannya. Wajahnya tersenyum penuh kemenangan.     

"Kau.. hosh.. hosh… boleh memiliki Zii.." kata Peter terengah-engah saat turun dari kuda. "Kau memang hebat."     

Rose turun juga. Ia menepuk-nepuk Zii dengan kagum. Saat melihat Peter yang terengah-engah, ia menjadi tidak enak.     

Ahh.. kalau memang pemuda ini yang menjinakkan Zii sehingga kuda cantik ini tidak jadi dibunuh.. maka Zii memang berutang budi kepada Peter.     

"Zii memang luar biasa, tapi aku tak bisa menerimanya… Bagaimana pun yang menjinakkannya adalah kau.."     

Peter tercengang melihat perubahan sikap Rose. Tadi pemuda itu bersikap sombong sekali, tapi sekarang ternyata ia bisa bersikap baik juga.     

"Tidak… bukankah kita sudah membuat perjanjian?" Peter tersenyum. "Wellington tak pernah ingkar janji."     

"Demikian juga Fornier. Aku tak akan menarik kata-kataku barusan," balas Rose tak mau kalah.     

Untuk sesaat keduanya tegang karena bertemu orang yang sama keras kepalanya. Kalau sama-sama tidak mengalah tentu mereka akan berkelahi.      

Peter menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu tersenyum hangat. Ia mengambil inisiatif untuk mengalah.     

"Aku tak mau berkelahi denganmu karena akibatnya pasti buruk sekali. Bagaimana kalau kuda itu kita bagi saja? Zii menjadi milik kita berdua…."     

Rose berpikir sebentar lalu mengangguk. Peter mengulurkan tangannya dan mereka pun bersalaman.     

"Peter Wellington.."     

"Aku tahu. Namaku Rose Fornier.."     

Peter melengak kaget. Ia berusaha menahan tawanya tetapi tak urung keluar juga. "Hihi…namamu seperti perempuan, ya.. Kalau kau menyamar jadi perempuan pasti akan cantik.."     

Rose tertegun. Ia hampir lupa kalau penampilannya sekarang memang seperti laki-laki. Ia ingin berterus terang kepada Peter dan mengatakan bahwa sebenarnya ia memang perempuan.     

Tapi… ah, tidak usahlah…     

Biasanya laki-laki akan segan berteman dengan perempuan. Kalau sekarang Peter demikian ramah kepadanya. Mungkin nanti tidak akan bersikap sebaik ini kalau tahu dirinya adalah seorang perempuan.     

"Jadi namaku jelek, ya?" Rose mencibir. "Memangnya kaupikir nama Peter itu bagus?!"     

Peter seketika merasa bersalah.     

"Ah… Maafkan aku tidak sopan… Sejujurnya namamu bagus sekai, tapi kurasa lebih cocok kalau dipakai perempuan. Walaupun begitu kupikir setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya…"     

"Tentu saja. "     

Peter melirik jam tangannya. "Sudah terlambat… Sekolah akan segera dimulai dan aku belum mandi.."     

"Aku juga.."     

Mereka cepat-cepat berlari ke asrama masing-masing.     

Rose mandi secepatnya dan bertukar pakaian dengan seragam St. John yang berwarna biru, lalu berlari menuju gedung sekolah.     

Di jalan ia berpapasan dengan seorang gadis cantik berambut hitam panjang yang juga menuju gedung sekolah.     

"Maaf, kelas enam di mana ruangannya?" tanyanya ramah. "Eh, aku murid baru di sini, jadi belum tahu apa-apa… Namaku Rose Fornier."     

"Oh, aku Helene Winter.." Mereka berjabat tangan dengan hangat. Helene menunjuk gedung di sebelah kiri meereka. "Di situ letaknya. Kebetulan kita sekelas. Kau ikut saja denganku.."     

 Mereka berjalan bersama melewati lorong-lorong panjang dan masuk ke sebuah kelas besar yang berisi 25 remaja laki-laki dan perempuan yang memakai seragam dan jas biru yang sama, dengan lambang St. John di dada kirinya.     

Yang perempuan memakai rok kotak-kotak biru di bawah lutut, sedangkan murid yang laki-laki memakai celana panjang.     

Baru saja Rose dan Helene tiba, seorang guru telah masuk ke dalam kelas dan mulai mengabsen. Rose yang duduk di sebelah Hellen terpaksa melapor ke depan ketika namanya tak disebut dalam daftar.      

"Selamat pagi, Pak.. Saya murid baru…" katanya saat tiba di depan. "Bapak harus memasukkan nama saya dalam daftar absen…"     

"Baiklah.." Guru itu mengangguk dan membuka kembali daftar absennya. "Namamu adalah…?"     

"Fornier. Rose Fornier.."     

"....!!!"     

Sesaat Rose merasa mendengar suara orang mendesah kaget. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Peter Wellington duduk di barisan tengah sedang melotot, melihat kepadanya dengan wajah tak percaya.     

Tentu saja, Peter tidak mengenali Rose tadi karena gadis itu berubah sama sekali, dari pemuda asing berbaju ringkas menjadi seorang putri yang luar biasa cantik. Rose selalu terlihat sangat cantik bila menggerai rambutnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.