The Alchemists: Cinta Abadi

Seni Bermalas-malasan



Seni Bermalas-malasan

0

Finland bangun karena matahari sudah tinggi dan ia merasakan kepalanya pusing. Ia baru ingat bahwa semalam ia dan Jean bar hopping (pindah-pindah tongkrongan dari satu bar ke bar berikutnya) dan minum koktail sangat banyak. 

Jean sangat terbiasa dengan dunia malam, tetapi Finland tidak, dan setelah bar kelima ia pun hampir jatuh tertidur hingga Jean harus menggendongnya pulang.

Ketika Finland keluar dari kamar ia melihat Jean sedang membaca majalah di sofa ruang tamu. Pemuda itu mengenakan kacamata berbingkai biru tua yang membuatnya terlihat eksotis sekali, duduk di sofa dengan sehelai majalah dan sinar matahari samar-samar meneranginya dari balik gorden vitrase.

Finland sampai terpaku dan buru-buru membidik pemandangan di depannya dengan ponsel. Jean terlihat persis seperti gambar di majalah. Manusia satu ini memang sangat indah dan membuat Finland tidak lagi keheranan mengapa ia menjadi sangat terkenal.

"Sejak kapan kau pakai kacamata?" tanya Finland sambil duduk di sebelah Jean. Ia menunjukkan foto yang barusan diambilnya. Jean mengangkat kacamatanya dan merengut.

"Foto ini tidak boleh sampai keluar ke publik," ancamnya - tapi dengan nada tidak serius. "Aku rabun dekat. Ugh... padahal aku kan belum tua."

"Jadi kau ini pakai kacamata plus? Seperti kakek-kakek saja..." kata Finland dengan nada menggoda.

"Eh, setiap orang pasti akan menua dan kemampuan matanya akan berkurang. Tahun lalu penglihatanku masih 20/20. Baru beberapa bulan lalu aku harus pakai kacamata." Jean meletakkan kacamatanya dan majalah di meja lalu beranjak ke kulkas. "Mau jus jeruk? Kau mau sarapan apa? Kita ke kafe di bawah gedung ini, yuk..."

"Aku mau jus jeruk." Finland menerima segelas jus jeruk dari Jean dan menghabiskannya sekaligus. Ia melihat jam di ponselnya, "Sudah jam 9 pagi. Aku izin sakit saja deh. Kalau mau kerja sekarang sudah terlambat."

"Anak pintar," puji Jean sambil menepuk-nepuk kepala Finland seperti kepada anak kecil. "Kau jangan terlalu serius bekerja. Ingat apa kataku?"

"Don't love work too much, because work won't love you back," jawab Finland.

Jangan terlalu mencintai pekerjaan, karena pekerjaan tidak akan mencintaimu.

"Ayo, hari ini kita bermalas-malasan saja di rumah. Ada acara Netflix yang baru yang mau kutunjukkan kepadamu. Aku kenal sutradaranya. Tapi kita sarapan dulu."

Finland mengangguk. Ia menelepon ke kantor dan minta izin tidak masuk karena sakit - ia memang merasakan sakit kepala yang cukup berat, tapi ia tak memberi tahu bahwa itu karena ia kemarin bar hopping dengan Jean.

Setelah mandi Finland mengganti gaun merahnya dengan kemeja Jean yang berukuran besar dan dipakainya seperti terusan, nyaman sekali. Mereka lalu turun ke kafe di lantai dasar gedung dan menikmati sarapan berdua.

[Selamat pagi Nyonya, apakah nanti sore kita jadi latihan menyetir?]

Finland melihat SMS masuk dari Jadeith saat ia baru menghabiskan tehnya. Oh ya, dia lupa bahwa hari ini ia sudah berjanji dengan Jadeith untuk latihan menyetir.

[Jadi, tapi jemput aku di Robertson Road, jangan di kantor. Aku masih di apartemen temanku.]

[Baik, Nyonya.]

"Nona...." gumam Finland gemas. Ia tak pernah berhasil mengoreksi Jadeith untuk memanggilnya 'Nona'.

"Siapa?" tanya Jean.

"Bukan hal penting." Finland menggelengkan kepala, "Ada orang yang terus memanggilku nyonya, padahal aku kan masih muda begini..."

Jean tertawa mendengarnya.

Mereka lalu naik kembali ke apartemen dan menyalakan Netflix. Jean memutar sebuah film horor baru dan mengatakan bahwa sutradara film tersebut adalah teman baiknya.

"Aku sebenarnya hampir tampil di film ini, lho..." kata Jean sambil tersenyum simpul, "Waktu itu mereka perlu cameo sebagai Count Dracula dari Transylvania. Sayangnya jadwalku terlalu padat, akhirnya batal."

"Ah, sayang sekali." Finland tahu Jean berbakat teater karena dari dulu Jean aktif di klub drama sekolahnya. Sebenarnya ia tidak heran kalau suatu hari nanti Jean akan beralih haluan ke dunia akting, apalagi penampilannya yang tampan dan eksotis, membuatnya menjadi dambaan banyak casting director. "Tapi aku tidak bisa membayangkanmu jadi Count Dracula yang jahat itu, Jean. Kau terlalu baik. Kau cocoknya jadi malaikat. Tokoh malaikat biasanya tampangnya agak androgyny* kan? You can pull it off really well."

"Hahaha, of course you're not biased because you're my best friend," kata Jean sambil tertawa. "Mungkin nanti kalau ada jalan ke dunia akting, aku akan coba."

"Aku akan sangat bangga, akan kubilang sama semua orang bahwa kau temanku!" kata Finland dengan semangat.

"Kita lihat saja nanti." Jean mengangguk. "Tapi nanti kalau aku sudah terkenal, kita tidak akan bisa bar hopping seperti tadi malam atau main ke Universal Studios besok. Orang terkenal tidak punya privasi."

Dalam hati Finland berharap Jean menjadi semakin terkenal dan mendapat kesempatan untuk bermain film, dan menjadi selebriti besar, karena dengan demikian walaupun nanti Finland tidak dapat bertemu lagi dengannya, ia akan tetap dapat mengetahui kabar Jean.

Mereka menonton film horor besutan Alan Parker, sutradara kenalan Jean itu, sambil makan irisan wortel dan ubi ungu serta minum infused water - camilan menonton khas Jean sejak dulu. Sebagai model ia sangat berhati-hati dengan asupan makanannya dan Finland sudah biasa menonton TV bersama Jean dengan camilannya yang unik itu.

"Kalau lagi nonton kita biasanya tidak waspada dengan makanan yang masuk ke mulut, tanpa kita sadari tahu-tahu beberapa piring camilan sudah habis begitu saja. Jadi lebih baik kita ngemil wortel dan ubi, biar sehat." Finland ingat 4 tahun lalu sewaktu pertama kali datang ke apartemen Jean dan nonton film bersamanya.

Mula-mula ia tidak suka, tetapi setelah beberapa kali, akhirnya Finland menjadi terbiasa.

"Wah... endingnya sengaja dibuat menggantung ya?" tanya Finland setelah film selesai. "Tidak ditunjukkan apakah tokoh utamanya mati atau hanya terluka."

"Iya, sengaja. Alan bilang Netflix mau mendanai sequelnya. Kalau jadi, dia minta aku tampil sebagai pemeran figuran." Jean mengangkat bahu, "Kita lihat nanti, kalau jadwalnya tidak bentrok."

"Semoga jadi," kata Finland bersemangat. "Aku ingin sekali melihatmu bermain film!"

Finland mendengar ponselnya tiba-tiba berbunyi, ia melihat panggilan masuk dari Caspar. Sekarang jam 1 siang di Singapura, berarti jam 6 pagi di Jerman.

Wah, ternyata Caspar bangun pagi sekali, pikirnya. Apalagi ini sedang musim dingin, matahari baru terbit jam 9 pagi.

"Hallo, selamat pagi, Caspar. Apa kabar?"

"Selamat siang, Finland. Aku baru bangun," jawab Caspar di ujung telepon. Suaranya masih agak mengantuk. "Aku baru dengar dari Jadeith kemarin kau tidak pulang ya?"

"Iya, aku kemarin keluar minum-minum sama Jean. Kau yang menyuruhku belajar bersenang-senang menikmati hidup dan tidak usah bekerja terlalu keras." Finland terdengar bangga atas pencapaiannya, "Hebat kan? Hari ini aku malah tidak masuk kerja dengan alasan sakit. Aku memang sakit kepala, sih, tapi aku tidak bilang kepada mereka kalau aku sakit kepala karena kebanyakan minum koktail semalam."

"Apa?" Suara Caspar tiba-tiba tidak lagi terdengar mengantuk, "Kau tidak pulang karena minum-minum dengan Jean? Kau pulang ke tempatnya dan sampai sekarang masih di sana?"

"Iya. Kenapa memangnya? Kami barusan nonton film horor. Oh my God... It feels great doing nothing!"

Lama tidak terdengar jawaban Caspar.

"Tidak apa-apa." Akhirnya terdengar jawaban Caspar diikuti tarikan napas panjang. "Memang aku yang menyuruhmu belajar bersenang-senang. Tapi sekarang aku menjadi iri kepada Jean. Aku berharap ada di sampingmu dan bersenang-senang, bukannya bekerja seperti ini."

Finland memberi tanda kepada Jean bahwa Caspar yang meneleponnya, lalu keluar ke balkon untuk mendapat privasi.

"Kau kan bos, kenapa harus bekerja? Kalau mau bukannya kau bisa pulang ke sini? Bukankah kau yang bilang Schneider Group adalah perusahaan keluarga yang bisa berjalan tanpa dirimu, dan kau bebas mau melakukan apa saja?" tanya Finland. Dalam hati ia tahu ia sedang bersikap egois menganjurkan Caspar untuk pulang cepat-cepat karena ia sendiri merindukan pemuda itu.

"Itu benar, tapi ada urusan klan yang harus kubereskan, ini bukan hanya urusan perusahaan," jawab Caspar dengan nada sedih. Ia pun terdengar tidak rela berada di Jerman yang dingin, dan ingin berada di Singapura yang hangat bersama Finland - menonton film horor sambil mengunyah wortel. "Aku minta kau selalu berhati-hati dan jangan pernah jauh dari Jadeith selama aku tidak ada."

"Baik."

"Nanti sore kalian jadi berlatih menyetir?" tanya Caspar sebelum menutup telepon.

"Iya. Ia akan membawaku ke area Bukit Batok driving center. Tapi aku akan belajar menyetir pakai mobil apa? Tidak mungkin pakai Rolls Royce yang di rumah, kan?"

"Memangnya kenapa?" tanya Caspar dengan nada heran.

Memangnya kenapa? Finland geleng-geleng kepala. Masa Caspar tidak mengerti?

"Itu kan mobil mahal. Di mana-mana orang tuh belajar menyetir dengan mobil jelek, biar kalau nabrak kita tidak terlalu rugi. Aku tidak sanggup membayar ganti rugi kalau nanti saat belajar menyetir mobilmu terkena goresan," jawab Finland dengan nada putus asa. 

Kadang-kadang ia merasa seperti bicara dengan anak kecil dan harus menerangkan hal yang sewajarnya langsung dipahami orang lain. Orang normal pasti tidak perlu diingatkan bahwa mobil Rolls Royce itu mahal sekali dan tidak mungkin dipakai untuk sekadar berlatih mengemudi.

"Ah, Finland. Itu kan cuma mobil. Tidak usah terlalu membesar-besarkan." kata Caspar kemudian.

"Tapi... itu kan... "

"Aku mau mandi dan bersiap-siap. Nanti kita ngobrol lagi. I miss you, Finland."

Caspar mengakhiri teleponnya. Finland ragu-ragu saat hendak membalas.....

"Uhmm.. I miss you too. Take care!"

Ia hampir bisa mendengar Caspar tersenyum di ujung sana. Benarkah senyuman ada bunyinya? Finland tidak tahu. Yang jelas ia seperti mendengar suara Caspar yang tersenyum simpul mendengar bahwa Finland juga merindukannya.

Karena masih jam 1 siang, dan janji latihan mengemudinya sore jam 5, Finland melanjutkan menonton satu buah film lagi bersama Jean. Kali ini mereka menonton film Fantastic Beast.

"Sekarang sudah jam 1, kita sudah bisa nonton sambil minum wine," kata Jean. "Ingat kalau bermalasan-malasan tidak usah nanggung...hahaha."

"Wah, sayangnya aku sudah tidak bisa minum, Jean. Nanti sore aku mau berlatih mengemudi dengan Jadeith," kata Finland sedih. Ia harus menolak wine mahal dari kabinet Jean, karena ia sudah berjanji pada Caspar akan belajar menyetir.

"Siapa Jadeith?" tanya Jean keheranan.

"Dia pengawal Caspar yang ditugaskan untuk mengantar jemput aku minggu ini, sekaligus mengajariku mengemudi. Nanti sore ia akan membawaku ke Bukit Batok untuk latihan. Kau mau ikut?"

Jean tertawa mendengarnya, "Sounds interesting. Nanti sore aku tidak ada kegiatan. Aku mau lihat bagaimana kau menyetir."

Jean tidak punya mobil di Singapura karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Paris, tetapi ia bisa menyetir dan ia dan Finland pernah bercita-cita suatu hari nanti keliling dunia bersama dan membuat video perjalanan. Akan menyenangkan jika Finland juga bisa mengemudi dan mereka bisa menyewa camper van untuk keliling Eropa lewat jalan darat suatu saat nanti.

Jam 4 kurang sedikit Jadeith tiba di Robertson Road menjemput Finland dan Jean. Walaupun tetap bersikap ramah, Finland bisa merasakan Jadeith agak tidak suka kepada Jean. Mungkin ia memikirkan perasaan tuannya yang sedang berada di Jerman.

"Jadeith ini cocok sekali main film action bareng Dolph Lundgren sebagai adiknya," bisik Jean di jok belakang saat mobil mulai berjalan.

"Aku pikir juga begitu..." bisik Finland balik. Mereka berdua tertawa pelan. Jadeith hanya melihat mereka dari spion dengan wajah sukar ditebak.

Finland mampir sebentar ke Rose Mansion untuk berganti pakaian dan segera melanjutkan perjalanan ke driving center.

Orang-orang di driving center tampak sangat kaget ketika melihat Jadeith keluar dan meminta Finland untuk mengambil kursi pengemudi saat ia mengajar gadis itu untuk menyetir. Jean sampai menutup mukanya karena malu melihat orang-orang menunjuk mobil Rolls Royce yang dipakai untuk berlatih mengemudi.

"Kita dilihatin banyak orang, Jadeith. Apa tidak sebaiknya pinjam mobil dari sini," bisik Finland, "Aku tidak mau merusak mobil seindah ini."

"TIdak apa-apa, Nyonya. Anda akan bisa menyetir dengan baik. Saya guru yang hebat, mobil ini tidak akan rusak," jawab Jadeith tenang. "Silakan masuk. Saya belum pernah gagal mengajar."

"Memangnya sudah berapa murid yang kau ajari menyetir?" tanya Finland galau.

"Baru satu." jawab Jadeith.

"Oh..." Finland tambah merasa tertekan.

Saat itu ponselnya berbunyi kembali. Caspar menelepon.

"Bagaimana latihan mengemudinya?"

"Kami baru mau mulai... Aku malu sekali, banyak orang yang memperhatikan. Apa kami tidak bisa pinjam mobil biasa dari driving center? Kau kan suka privasi, aku juga...." bisik Finland dengan nada putus asa.

"Baiklah." kata Caspar kemudian. Ia minta berbicara kepada Jadeith dan sebentar kemudian Jadeith menemui manajer driving center.

"Mohon maaf kepada semua tamu yang hendak menggunakan driving center hari ini, kami tutup lebih awal. Silakan ke resepsionis untuk mendapatkan refund."

Tiba-tiba terdengar pengumuman dari pengeras suara dan manajer on-duty menghampir orang-orang yang sedang berada di driving center dan meminta mereka keluar. Jean dan Finland saling pandang.

"Bukan itu maksudku...." kata Finland putus asa.

Kadang Finland merasa memang sulit bicara dengan orang yang tak mengerti rasanya hidup seperti manusia normal.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.