The Alchemists: Cinta Abadi

Tidak Tahu Rasanya Hidup Seperti Orang Biasa



Tidak Tahu Rasanya Hidup Seperti Orang Biasa

0

Saat mereka sarapan bersama, Finland tak dapat menahan diri untuk berpikir bahwa ia sebenarnya mulai terbiasa dengan kehidupannya seperti ini, bertemu Caspar setiap hari dan berbagi hidup dengannya. Tak ada hal yang tidak menyenangkan sama sekali. Semuanya terasa ringan dan hangat, dan Finland menyukai perasaannya saat berada di dekat Caspar.

"Caspar, kau sudah hidup sangat lama kan..." cetus Finland tiba-tiba, "Seperti apa sih rasanya?"

"Uhm... biasa saja." Caspar mengangkat bahu. "Kau biasa makan nasi kan? Tidak ada yang istimewa dengan makan nasi. Sama saja denganku, aku sudah hidup seperti ini dari dulu. Mungkin akan berbeda kalau orang miskin tiba-tiba menjadi kaya, dia akan merasa ada yang istimewa terjadi dalam hidupnya. Tapi kalau aku dari dulu sudah begini, jadi aku tidak tahu rasanya hidup seperti orang biasa."

"Hm, benar juga." Finland mengangguk-angguk. Ia kemudian memutuskan mencari sudut pandang baru. "Apakah kau pernah bosan dengan kehidupanmu? Maksudku... 400 tahun itu rasanya lama sekali..."

Caspar kemudian mengerti keresahan Finland. Gadis itu ingin tahu apakah hidup sebagai orang yang "abadi" itu menyenangkan atau tidak. Ia tak dapat membayangkan hidup demikian lama, karena manusia biasa rata-rata hanya hidup hingga usia 70 atau 80 tahun.

"Aku menyukai hidupku, tidak pernah terasa membosankan." kata Caspar dengan tenang. "Aku bisa melakukan sangat banyak hal yang aku sukai. Di saat aku masih muda, aku banyak menghabiskan waktu untuk menjelajah dunia. Aku berpindah-pindah negara dan benua, bertemu banyak orang baru yang menarik, belajar bahasa-bahasa dan budaya yang asing, menikmati makanan yang berbeda dari seluruh dunia. Aku juga bisa berganti-ganti profesi sesuai dengan minatku yang berubah seiring dengan waktu. Aku pernah menjadi hakim, jendral yang berlaga di medan perang, penulis sastra, pelukis, aktor drama, dokter dan masih banyak lagi. Aku tidak harus memilih karena aku bisa memperoleh semuanya..."

Finland mengangguk lagi. Masuk akal, pikirnya.

"Tetapi... dalam hidupmu yang panjang, pasti kau bertemu sangat banyak orang, dan mereka pelan-pelan menjadi tua dan kemudian meninggal. Bagaimana perasaanmu saat mereka tiada?"

"Hmm.." Caspar mengerutkan keningnya dan mencoba memikirkan jawabannya dengan baik, agar Finland mengerti sudut pandangnya. "Kami berusaha tidak terlalu terikat dengan manusia biasa, untuk mencegah perasaan-perasaan kehilangan seperti itu. Awalnya memang berat, tetapi kemudian menjadi biasa. Keluargaku memiliki staf yang bekerja untuk kami secara turun temurun, seperti Ben dan keluarganya. Mereka membantuku mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan perusahaan. Stanis, Kakak Ben adalah kepala rumah tangga kami sekarang. Dia yang bertanggung jawab atas semua staf yang mengetahui rahasia kaum Alchemist. Jumlah mereka hanya sekitar 20 orang. Termasuk Ms. Law, Katrin dan John di Rose Mansion ini. Aku tidak lagi merasa kehilangan saat manusia di sekitarku meninggal, karena aku tahu waktu yang kami habiskan bersama sudah cukup, dan mereka menikmati hidupnya. Aku mengenal Katrin, John, dan Lilian Law dari sejak mereka masih muda, saat aku pertama kali datang ke Singapura beberapa puluh tahun yang lalu. Aku bertemu mereka setahun sekali selama sebulan dan aku tidak pernah merasakan bahwa mereka menua, hingga ketika aku bertemu denganmu dan aku ingat bahwa kau perlu tempat tinggal. Aku pertama kali bertemu Katrin waktu ia dulu seusiamu... dan sekarang ia terlihat seperti nenekmu."

"Waktu itu Ms. Law bilang nama tuannya adalah Van der Ven. Itu siapa?"

"Itu nama keluarga Stanis dan Ben. Aku kadang-kadang meminjam namanya." Caspar tersenyum jahil, "Kalau mereka bilang dari awal bahwa rumah ini punyaku, pasti kau tidak mau tinggal di sini."

"Iya sih.."

Caspar menyudahi sarapannya dan melihat jam, sudah hampir jam 8. "Kita bisa ngobrol lebih banyak tentang kehidupan orang-orang Alchemist sambil makan malam nanti. Tapi sekarang aku harus pergi mengurusi sesuatu. Kau juga harus ke kantor kan?"

Finland mengangguk. "Iya. Aku ada beberapa meeting hari ini."

Mereka lalu berangkat kerja. Seperti biasa Caspar berkeras mengantar Finland ke tempat kerja tetapi gadis itu minta diturunkan di taman satu blok dari kantornya. Sebelum Finland turun, tiba-tiba Caspar memegang tangannya dan menahan gadis itu.

"Nanti pulang kerja aku kirim Ben menjemputmu, ya?"

"Uhm, kenapa? Kita ketemu saja di rumah saat makan malam seperti biasa."

"Aku sedang ingin makan di luar," kata Caspar sambil mengangkat bahu. "Aku ingin menunjukkan kepadamu sedikit, bagaimana rasanya hidup sepertiku."

Finland mengangkat alisnya tidak mengerti, "Maksudmu apa?"

"Kau tadi bertanya bagaimana rasanya... Aku tidak pernah hidup seperti manusia biasa, maka aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepadamu." Caspar menyentuh dagu Finland dan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu, "Aku senang mendengar kau tertarik ingin mengetahui bagaimana kehidupan kami sebagai kaum abadi, tandanya kau mulai memikirkan untuk ikut aku. Aku terharu..."

Keduanya bertatapan dekat sekali.

"Aku hanya penasaran."

"Penasaran itu bagus." Caspar mencium bibir Finland sebelum gadis itu bisa menghindar. Finland tidak marah, ia hanya tersipu-sipu dan membuat Caspar semakin gemas. Ia menyentuh pipi gadis itu dengan lembut, berusaha menahan diri untuk tidak mencubit pipinya. "Aku senang sekali mendengarnya. Aku berjanji akan membuatmu bahagia."

"Aku masih berpikir. Jangan mengambil kesimpulan dulu. Ini baru beberapa hari." Finland menepuk-nepuk bahu Caspar dan pamit turun dari mobil. "Sampai jumpa nanti malam."

"Aku jemput ya. Selamat bekerja." Ia buru-buru menambahkan, "I love you."

Finland menoleh saat mendengar Caspar mengucap kalimat terakhirnya dan wajahnya memerah. Ini adalah kali keempat Caspar mengatakan cinta dan Finland masih belum menjawabnya. Gadis itu hanya membalas dengan senyum, dan kemudian melanjutkan berjalan ke kantornya di Menara Suntec.

"Kapan kau akan menjawab pernyataan cintaku, Finland..." gumam Caspar saat melihat gadis itu berjalan menjauh. Ia lalu beralih kepada sopirnya, "Ben, kita ke bandara, aku perlu bertemu Stanis."

"Baik, Tuan."

***

Saat pulang kantor Finland menemukan mobil Maybach hitam yang khas itu telah menunggu di depan gedung. Ia tak tahu bagaimana Ben bisa tiba begitu tepat saat ia keluar dari kantornya. Ia melihat sekeliling dan setelah memastikan tidak ada teman sekantornya yang melihat, Finland buru-buru masuk ke dalam mobil.

Walaupun mereka sudah tidak mengucilkannya, Finland merasa tidak nyaman kalau teman-teman kantornya melihat ia naik dan turun dari mobil semewah itu. Ia tidak ingin mereka menganggap Finland seperti gadis-gadis lain yang berhubungan dengan orang kaya karena fasilitas dan kemewahan yang mereka dapatkan. Sampai sekarang Finland tidak pernah menerima apa pun dari Caspar. Ia masih mengenakan pakaiannya yang sederhana dan satu-satunya tas mahal yang ia miliki adalah tas Prada hadiah Jean bulan lalu.

Ben membawa mobil ke tempat yang tidak dikenal Finland.

"Kita mau ke mana, Pak Ben?" tanya Finland sambil melihat keluar jendela. Ia melihat mereka ada di sekitar Orchard Road.

"Tuan menyuruh saya membawa Miss ke butik untuk memilih pakaian," jawab Ben.

"Memilih pakaian untuk apa?"

"Untuk makan malam."

"Oh.."

Ben berhenti di depan sebuah butik merek ternama dan membukakan pintu mobil untuk Finland. Gadis itu memandang pakaiannya yang sederhana dan menyadari maksud Ben. Caspar ingin membelikannya baju yang lebih bagus untuk acara makan malam mereka.

Seorang wanita jangkung dan anggun keluar dari butik dan menghampiri Finland dengan penuh rasa hormat.

"Miss Finland, kami sudah menunggu Anda. Silakan masuk."

Finland sejenak ragu-ragu untuk masuk, tetapi kemudian ponselnya berbunyi dan ia menerima SMS dari Caspar.

[Ingat, kau harus belajar menerima kebaikan orang lain dan mengucap terima kasih.]

Uhm.. baiklah, pikir Finland, menyerah. Ia harus belajar menerima pemberian Caspar yang didasari niatnya yang baik, dan mengucapkan terima kasih.

Ia masuk ke dalam butik dan melihat 10 orang staf berbaris dengan rapi menyambutnya. Tidak ada seorang pelanggan pun yang lain di situ.

"Kami menutup toko hari ini, hanya demi melayani Anda." jawab perempuan anggun yang menemui Finland, "Nama saya Lauren dan saya akan membantu Miss untuk memilih pakaian yang Miss sukai."

Finland terpana. Tadinya ia berpikir ini akan seperti momen Pretty Woman, saat karakter Julia Roberts memilih pakaian di toko, tetapi nyatanya ini jauh lebih mengagumkan dari itu. Seisi toko ditutup hanya untuk melayaninya....

Pantas saja Caspar tidak tahu rasanya hidup seperti manusia biasa. Tidak ada satu pun aspek hidupnya yang bisa disebut biasa.

"Tuan Schneider senang privasi." kata Lauren sambil tersenyum, seolah membaca pikiran Finland. "jadi kami menganggap calon istrinya juga menyukai perlakuan yang sama."

Calon istri? Kapan aku bilang mau menikah dengannya, kata Finland dalam hati. Ia kan masih berpikir.

Di butik itu ada berbagai baju yang mewah dan anggun. Staf menuangkan sampanye dan menyerahkan segelas kepada Finland sambil ia berjalan melihat barang-barang yang dipajang. Dengan tergagap ia menerima sampanye tersebut dan mengucap terima kasih.

"Tuan bilang Anda harus memilih satu gaun untuk makan malam sekarang, dan sisanya akan kami kirim ke rumah."

Finland tidak tahu harus memilih yang mana, karena semua gaun yang ada di butik itu luar biasa indah. Lauren seperti melihat kebingungannya, lalu memilihkan satu dari gantungan.

"Menurut saya, gaun mungil ini cocok sekali untuk acara makan malam. Bagaimana kalau Miss coba dulu?"

Finland mengikuti nasihat Lauren dan mencoba gaun tersebut di ruang pas. Ini adalah gaun berwarna abu-abu dengan aksen terbuka di bagian punggung, membalut tubuhnya dengan cantik sekali. Finland tak percaya pada pandangannya sendiri ketika keluar dari ruang pas dan mengamati penampilannya di depan cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya dalam balutan pakaian yang terlihat sangat mahal itu.

"Cantik sekali," puji Lauren. Finland tersenyum senang.

"Terima kasih. Gaunnya sangat indah."

Finland sangat menyukai baju barunya. Ia merasa seperti seorang putri dalam dongeng Disney dan hatinya berbunga-bunga.

Lauren memilihkan sepatu yang serasi dan setengah jam kemudian Finland sudah terlihat sangat cantik dengan penampilan barunya. Wajahnya yang hanya berbalut make up tipis terlihat anggun dan cantik alami, serasi dengan pakaiannya. Ia merasa senang sekali. Setiap perempuan pasti senang bila terlihat cantik dan Finland tidak terkecuali.

Ben memujinya juga dan Finland merasa tambah berbunga-bunga.

"Sekarang kita ke tempat makan malam. Tuan sudah menunggu," kata Ben.

"Kita makan di mana?" tanya Finland.

"Kita ke Singapore Flyer." jawab Ben.

Ia menyetir ke arah Marina dan masuk area Esplanade. Finland tahu bahwa orang-orang bisa menikmati makan malam di Singapore Flyer, sambil melihat Singapura dari atas bianglala raksasa itu, tetapi ia tidak menyangka bahwa suatu hari ia akan dapat merasakan sendiri pengalaman makan di Singapore Flyer seperti itu. Jangankan makan malam di situ, naik ke dalamnya saja ia belum pernah selama Finland tinggal di Singapura bertahun-tahun ini. Baginya membayar 30 dolar hanya untuk naik bianglala begitu terasa sangat mahal...

Caspar menyambutnya di dalam gedung. Wajah pemuda itu tampak sumringah melihatnya tiba dengan pakaian baru.

"Cantik sekali." Ia memuji, "Kau pakai karung beras saja bisa kelihatan cantik, apalagi kalau pakai baju mahal begini."

Finland tersipu-sipu, tetapi ia ingat untuk menerima kebaikan ataupun pujian dari orang lain dan mengucap terima kasih, seperti yang diajarkan Caspar.

"Terima kasih."

"You're welcome. Ayo kita naik ke atas, aku sudah lapar."

Caspar menggenggam tangan Finland dan membawanya masuk ke bianglala. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri, dan baru menyadari bahwa tidak ada orang lain di situ.

"Apakah tempat ini juga ditutup untuk umum?" tanyanya keheranan.

Caspar mengangguk. "Kau tahu aku suka privasi."

"Oh..."

Finland ingat bahwa Caspar bilang ia tidak tahu bagaimana rasanya hidup seperti orang biasa...

Tentu saja.

Orang biasa akan mengantri bersama ratusan orang lain untuk naik Singapore Flyer dan membayar 30 dolar tiket masuk.

Orang seperti Caspar akan menutup seisi venue dan menjadikan tempat ini milik pribadinya selama yang ia inginkan.

Finland hanya bisa geleng-geleng kepala.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.