The Alchemists: Cinta Abadi

Tanpa Nama Belakang



Tanpa Nama Belakang

0

Pemuda itu sadar Finland memperhatikannya dari sebelah, ia tiba-tiba menoleh dan hampir mengagetkan gadis itu.

"Ada apa?" tanyanya heran.

"Eh.. tidak apa-apa.." Finland buru-buru mengalihkan pandangan. Duh.. Hampir ketahuan.

Saat pemuda itu menoleh dan menatapnya dari jarak sedemikian dekat, Finland langsung merasakan jantungnya berdebar kencang. Wajah pemuda itu tampan sekali dengan sepasang mata biru cemerlang dan garis-garis simetri yang sempurna. Finland belum pernah melihat manusia seindah ini.

"Maaf, tadi aku ceroboh dan membahayakan orang, sampai tanganmu terluka begini..." kata Finland kemudian. Bagaimana pun dia memang bersalah. Hanya karena ingin menghemat uang ia jadi membahayakan orang lain. Dan benar, seandainya tadi yang ditabraknya adalah orang tua renta yang lemah... mungkin Finland sekarang sudah menjadi pembunuh.

Pemikiran-pemikiran itu membuatnya semakin tertekan dan dengan resah ia meremas-remas jarinya.

"Aku senang kau menyadari kesalahanmu. Tolong jangan pernah diulangi lagi," kata pemuda itu kemudian. Ia menoleh ke arah Finland dan mengembangkan senyum untuk pertama kalinya.

Oh... sungguh tidak adil! Makhluk sempurna ini bahkan punya lesung pipi di kedua pipinya saat ia tersenyum.

Sesaat Finland terpesona dan tak bisa berkata apa-apa.

"Kita sudah sampai, Tuan," kata supir saat mobil sudah berhenti di depan gedung condominium mewah di Robertson Road No. 1

Tak terasa mereka pun tiba di gedung apartemen Jean. Supir membantu mengeluarkan kedua koper Finland dari bagasi. Pemuda itu juga keluar dari mobil saat Finland siap beranjak masuk ke dalam gerbang.

"Aku minta secangkir teh ya," kata pemuda itu tiba-tiba. Finland yang baru membuka gerbang dan hampir masuk dengan koper-kopernya sesaat terkejut. Ia baru akan mengucap terima kasih karena telah diantar pulang, tapi ternyata pemuda itu ingin ikut masuk ke apartemennya.

"Er... tapi... bukankah kau sedang menuju ke suatu tempat? Atau kau tidak percaya bahwa aku memang tinggal di sini?"

"Aku selalu minum secangkir teh setiap habis mendarat di Singapura. Seharusnya aku minum teh di sana sekarang, tapi malah mengantarmu pulang ke sini. Jadi sudah sepantasnya kalau kau menawariku teh, karena kau telah membuat  tanganku terluka."

Akhirnya Finland mengalah. Bagaimanapun kesalahan memang ada di pihaknya. Semoga saja bila ia memperlakukan pemuda itu dengan baik, dia tidak akan menuntut ganti rugi besar atas kejadian ini. Pemuda itu menawarkan membawa satu koper Finland saat mereka naik ke lantai 17.

"Tolong jangan lihat kodenya," kata Finland saat bersiap membuka kombinasi kunci pintu depan. Pemuda itu mengangguk lalu membalikkan badan. Bagaimanapun ini adalah rumah Jean, Finland tidak ingin ada orang asing yang mengetahui passkey-nya.

Mereka masuk ke dalam apartemen 1 kamar tidur yang cantik itu. Walaupun jarang tinggal di apartemennya ini, Jean tetap menatanya dengan selera yang tinggi. Desainnya bersih dan hangat dengan sentuhan warna-warna gelap dan kaku khas laki-laki. Pemuda itu melihat sekeliling dan mengagumi satu lukisan di dinding utama, gambar seorang penari balet. Satu-satunya benda yang terlihat feminin di apartemen maskulin ini.

"Seleramu unik juga, apartemen ini kelihatan maskulin sekali." kata pemuda itu setelah melihat-lihat dengan puas. Finland baru selesai memasukkan kedua kopernya ke dalam kamar dan menghampiri tamu tidak diundangnya di ruang tamu.

"Ini bukan apartemenku. Sahabatku yang menyuruhku tinggal di sini selama dia pergi keluar negeri. Aku sebenarnya tidak punya tempat tinggal. Kau  mau teh apa? Di sini ada teh rasa buah, teh hitam, dan chamomile..."

"Tolong teh chamomile saja... Aku mesti menenangkan jantungku yang berdebar-debar kencang sekali...." jawab pemuda itu sambil dengan cueknya duduk di sofa. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi lalu memejamkan mata, dengan tangan memegang dada kirinya. "Hmmm..."

Finland bertanya-tanya dalam hati, apakah ia harus menanyakan nama pemuda itu atau tidak. Rasanya tidak sopan kalau tidak tahu namanya. Tapi...ia juga tidak ingin terkesan bermanis-manis supaya tidak diminta ganti rugi.

"Ini tehnya." Ia membawa secangkir teh camomile dan meletakkannya di meja dekat pemuda itu. Pemuda itu mengangguk dan mengangkat cangkirnya untuk minum.

"Tadi kau sempat membuatku bingung. Kok bisa-bisanya kau  ini tidak punya uang untuk naik taksi, tetapi tinggal di apartemen mewah seperti ini. Sekarang aku mengerti. Kau punya sahabat yang sangat baik, mengizinkanmu tinggal di tempatnya. Kapan dia pulang dari luar negeri?"

"Aku kurang tahu pasti. Dia sekarang sedang tur ke beberapa negara, dan kemungkinan akan pulang bulan depan."

"Oh, begitu." Pemuda itu tampak memikirkan sesuatu. Ia lalu menatap Finland baik-baik, sebelum mengucapkan sesuatu yang mengejutkan.

"Aku percaya kepadamu. Menurutku, kau itu gadis baik, yang kebetulan nasibnya buruk. Sahabatmu begitu percaya kepadamu dengan rumahnya ini dan aku lihat kau sangat bertanggung jawab merawat tempat ini, jadi menurutku kau itu bisa dipercaya dan orangnya tabah. KALAU nanti sahabatmu pulang ke Singapura dan kau tidak punya tempat tinggal, kau diterima kok tinggal di rumahku. Aku juga sering bepergian, sering sekali, dan rumahku juga sering kosong berdebu karena jarang ditinggali. Akan menyenangkan kalau rumahku dirawat oleh orang telaten sepertimu saat aku tidak di rumah. Aku akan melupakan insiden yang terjadi malam ini, kuharap kau juga melupakannya."

Finland tampak terkejut. Ia tidak mengira sama sekali. Laki-laki ini tidak bercanda kan? Masa di rumahnya tidak ada pelayan yang jaga rumah?

"Lho.. bukankah kau memiliki staf atau supir, tukang kebun atau apa gitu?"

"Ada. Tetapi tawaranku tetap berlaku kok. Telepon aku kalau kau membutuhkan tempat tinggal." Pemuda itu mengeluarkan kartu namanya dan menaruhnya ke tangan Finland. Kartu hitam dengan desain elegan berisi satu nomor telepon dan alamat email. Di bagian paling atas hanya ada satu nama: Caspar.

"Caspar?" tanya Finland keheranan. Orang ini juga hanya punya satu nama?

"Finland, terima kasih untuk tehnya. Aku harus pergi. Semoga berhasil dengan semuanya."

Dengan begitu Caspar pun pergi, hanya meninggalkan kartu namanya. Finland tiba-tiba merasa keberuntungannya tidak terlalu buruk hari ini. Memang ia menubruk pemuda dari keluarga kaya, tetapi orangnya ternyata baik dan bahkan bersedia menampung Finland jika suatu saat nanti ia tidak punya tempat tinggal.

Pelan-pelan hati Finland yang berat terasa mulai ringan.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.