The Alchemists: Cinta Abadi

Makan Malam



Makan Malam

0

Finland sangat bahagia belakangan ini. Rasanya hidupnya mulai berjalan dengan baik. Hasil medical check up sudah keluar dan status kesehatannya baik. Ia tidak melihat Caspar saat datang ke rumah sakit lagi, tetapi ia memutuskan untuk mengirim SMS ke nomor yang diberikan pemuda itu kepadanya untuk mengucapkan terima kasih.

[Hasil pemeriksaan kesehatanku sudah keluar. Semuanya baik-baik saja. Terima kasih atas bantuanmu.]

Tidak sampai satu menit ada balasan dari Caspar.

[You're welcome. Kita harus merayakan pekerjaan barumu. Kapan kau ada waktu?]

Finland merasakan wajahnya memerah. Apakah Caspar sedang mendekatinya dan memberi tanda-tanda ingin mengenalnya lebih jauh?

[Uhm... aku belum bisa mentraktirmu sebelum dapat gaji. Mungkin bulan depan?]

[Aku yang traktir kali ini. Bulan depan boleh kau yang traktir.]

[Hmm...sabtu malam? Aku ada kerja sambilan sepanjang siang.]

[It's a deal. Jam 7 malam aku kirim supir ke Robertson Road ya.]

[OK]

Finland baru merasakan wajahnya panas. Dia baru saja mengonfirmasi janji makan malam dengan Caspar di malam minggu ini. Apakah ini berarti... kencan? Ia menggeleng-gelengkan kepala seolah tidak percaya. Ini akan menjadi kencan pertamanya... dan dengan seorang dokter bedah yang demikian tampan. Mungkin ini balasan Tuhan atas semua kemalangan yang ia alami sepanjang hidupnya sejauh ini....

Tanpa sadar ia berseru tertahan. "Aahhhhh...!!!"

Ia melihat jam dan kemudian menulis pesan Whatsapp kepada Jean.

[Jean, aku ketemu cowok, dan kami akan kencan hari Sabtu ini. Aku senang sekali!]

Lima menit kemudian datang balasan dari Jean.

[Pastikan dia bukan psikopat ya. Ingat lho.. kalau ada orang yang kelihatan terlalu sempurna, biasanya itu tidak beres.]

[Iya... orangnya normal kok. Nanti aku kabari.]

Sesaat kemudian Finland tertegun. Sebenarnya Caspar bisa dibilang too good to be true (terlalu bagus untukmenjadi kenyataan) Orangnya baik, kelihatan sangat kaya, tampan, dan bahkan dokter bedah kenamaan. Orang yang punya banyak kelebihan, biasanya kekurangannya juga banyak. Finland mulai kuatir memikirkannya.

"Ah ini cuma makan malam. Kalau ada apa-apa, aku tidak usah ketemu dia lagi," akhirnya Finland menetapkan hati.

Finland menyiapkan diri untuk mulai bekerja. Ia masih punya beberapa pakaian yang bagus tetapi ia sadar ia tak punya tas kerja yang bisa dipakai ke kantor. Hanya ada satu ransel. Ia berharap hari sabtu nanti setelah bekerja sambilan menyebarkan flyer ia bisa dapat uang cukup untuk membeli tas tangan murah dari Bugis Village.

***

Hari Sabtu tiba dan Finland dengan semangat pergi ke tempat kerja sambilannya hari ini. Walaupun sudah diterima bekerja sebagai marketing di sebuah MNC, ia bertekad tidak akan berhenti menyebar brosur karena ia senang mendapatkan uang tambahan.

Ia menyebarkan brosur di sepanjang Chinatown hari ini dari pagi sampai sore. Panas matahari yang menyengat tidak menyurutkan semangatnya. Ia memfokuskan perhatiannya pada uang yang akan ia terima untuk membeli tas kerja nanti.

"Eh, Finland!" tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya dari belakang. Finland menoleh dan seketika tubuhnya terasa kaku.

"Eh, benar, itu Finland! Ternyata pindah ke Singapura hanya untuk kerja beginian ya..."

Segerombolan gadis yang datang mendekat itu tampak tertawa-tawa menghina. Finland tidak bisa melupakan wajah-wajah itu dari masa SMA-nya di Jakarta. Mereka adalah gerombolan gadis jahat yang membully-nya selama bertahun-tahun di sekolah dulu.

"Sini brosurnya, tentang apaan sih ini?" seorang di antaranya mengambil brosur di tangan Finland dan pura-pura membaca, lalu meremasnya dan dibuang ke tempat sampah. "Sok banget ya kau waktu itu, dapat beasiswa kuliah di Singapura. Ternyata ujung-ujungnya hanya jadi tukang sebar brosur. Jangan-jangan kau kuliahnya tidak beres dan sekarang jadi pendatang ilegal di sini? Iya begitu?"

Finland menggigit bibirnya berusaha menahan amarah.

"Sini kita bantu menyebarkan brosurnya" seorang gadis lain mengambil sisa brosur dari tangan Finland lalu membuangnya ke tempat sampah. Ketiga temannya tertawa-tawa.

"Hahaha....biar tahu rasa dia, biar tidak usah sombong, baru kuliah di Singapore aja. Meilin kuliah di Amerika dan sekarang sudah lulus. Sekarang malah sudah kerja di Singapura." gadis yang berambut pendek menoleh kepada temannya yang berambut ikal panjang, "Kasihan nih, teman SMA kita luntang-lantung di Singapura, kantormu sedang mencari office girl, tidak Mei? Lumayan kan bantu bersih-bersih di kantor."

"Bah... gue yang nggak sudi kalau harus ketemu dia setiap hari," jawab Meilin ketus. Mereka semua memandang Finland dengan tampang benci lalu pergi sambil tertawa-tawa.

Finland menghapus air matanya yang menetes jatuh dan memunguti brosur yang dibuang ke tempat sampah oleh gerombolan gadis jahat tadi. Ia mencoba membersihkan sebisanya lalu kembali menyebarkan brosurnya kepada orang-orang lewat.

Ketika shiftnya berakhir Finland buru-buru menerima bayaran 50 dolarnya dan pulang ke Robertson Road. Ia menangis tersedu-sedu selama setengah jam, baru kemudian menguatkan hatinya untuk mandi dan berangkat ke Bugis Village. Ia harus mendapatkan tas tangan sebelum janji makan malam, supaya ia terlihat sedikit layak untuk datang ke restoran.

Finland menemukan sebuah tas tangan kulit imitasi berwarna hitam yang sederhana. Sepintas orang tidak akan mengira bahwa itu adalah barang murah. Setidaknya ia bisa terlihat lumayan untuk masuk ke restoran.

Jam 7 kurang sedikit, Finland sudah siap dengan dress hitam yang dipakainya untuk wawancara kerja beberapa hari lalu, sepatu peep toe biru bunga-bunga, dan tas tangan hitamnya. Saat mematut diri di kaca, ia baru sadar bahwa tepat hari Senin yang lalu saat ia bertemu Caspar di rumah sakit, penampilannya persis seperti ini.

Seketika hatinya terasa ciut. Caspar akan tahu bahwa ia tidak punya pakaian lain yang bagus. Ia berusaha membongkar kopernya dan mencari pengganti, tetapi kebanyakan pakaiannya kasual dan tidak pantas untuk makan malam formal.

[Selamat malam, Miss Finland, saya sudah di depan.]

Supir Caspar mengirim pesan bahwa ia sudah sampai. Akhirnya dengan pasrah, Finland turun dari apartemen dan naik ke mobil. Supir membawanya ke hotel Continental.

"Tuan sudah menunggu di dalam," kata supir saat membukakan pintu untuk Finland.

Ini adalah hotel bintang lima paling mewah di seluruh Singapura dan Finland belum pernah masuk ke dalamnya. Ia merasa agak kikuk dan tidak tahu harus mengarah ke mana. Ia masuk ke lobi dan memandang ke sekeliling.

[Aku sudah di lobi. Kau ada di mana?]

Ia mengirim pesan kepada Caspar.

[Aku akan kirim staf untuk menjemputmu ke lobi. Tunggu saja di situ.]

[Oh, baiklah.]

Finland berdiri kikuk menunggu di lobi. Entah kesialan apa lagi yang menimpanya kali ini, rombongan gadis jahat yang tadi sore mengganggunya ternyata menginap di hotel ini dan mereka keluar dari lift tepat saat Finland masuk ke lobi.

"Lho...ngapain orang miskin ini ke sini?" tanya Hanna keras-keras.

"Mungkin dia sedang cari "klien", you know... jadi gadis panggilan," jawab Meilin sinis. "Sebaiknya kita laporkan ke pengelola hotel biar dia tidak merusak reputasi hotel ini."

Finland pura-pura tidak mendengar omongan mereka.

"Sebagai perempuan panggilan, rupanya dia kurang laku. Lihat saja tasnya murahan begitu."

Mereka tidak henti-hentinya mengejek Finland, hingga walau bagaimanapun Finland mencoba bertahan, air matanya hampir berlinang. Untunglah staf hotel yang dikirim Caspar segera tiba.

"Miss Finland? Silakan ikut saya. Tuan sudah menunggu di restoran."

Finland mengangguk dan mengikuti staf perempuan itu ke restoran di lantai dasar. Setelah mereka masuk, pintu ditutup dan dipasang papan pengumuman.

---Restoran ditutup untuk acara pribadi---

Ketiga gadis jahat itu saling pandang. Mereka tidak percaya Finland masuk ke restoran termahal di kota itu dan kemudian restorannya ditutup untuk umum.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.