Devil's Fruit (21+)

Kau Ini Bebal Atau Bodoh, sih?



Kau Ini Bebal Atau Bodoh, sih?

0Fruit 272: Kau Ini Bebal Atau Bodoh, sih?     

Di pondok, di dalam kamar yang biasa ditempati Kyuna, dia dan Rogard sudah ada di sana.     

Karena kekuatannya habis terkuras dan terluka cukup parah, Kyuna tidak bisa kembali ke wujud humanoid-nya. Ia meringkuk tak berdaya di atas ranjang, sementara Rogard sedang menyiapkan air hangat yang ia tampung di baskom kecil dan lap handuk kecil pula.     

Setelah itu, Rogard membawa itu semua ke kamar Kyuna dan menaruh baskom di atas meja nakas di sebelah tempat tidur.     

"Hungghh~" Kyuna mendengking lirih dan tertatih bergerak ke pangkuan Rogard ketika lelaki ungu itu duduk di tepi tempat tidur.     

"Tsk! Kau ini..." Rogard mulai mencelupkan handuk kecil ke air hangat suam kuku, lalu mulai mengusap lembut luka-luka Kyuna. "Kenapa kau ini ceroboh sekali? Kenapa bertindak ngawur?" Ia menegur Kyuna yang masih diam tertunduk dalam pangkuannya.     

"Huuunggh~" Itu jawaban Kyuna. Jika tidak ada bercak darah dan luka sayat, tentu saja dia akan tampil menggemaskan. Tubuh sebesar kucing remaja, namun lebih menyerupai bola bulu yang halus dan lembut, dengan warna putih berkilau dan sembilan ekor kecil-kecil dan gemuk di bagian belakang.     

Siapapun akan mengakui bahwa wujud rubah Kyuna itu sangat menggemaskan. Namun, wujud itu kini dipenuhi luka sayat, bahkan sampai ke beberapa ekornya.     

Rogard perlahan-lahan membersihkan bulu-bulu putih cemerlang Kyuna dari bercak darah, lalu dia mulai mengoleskan pasta obat ke luka tersebut.     

"Aungghh!" Kyuna mendengking kesakitan setelah pasta obat menyentuh lukanya. Mata besarnya yang berwarna emas tua menatap tak berdaya, memohon ke Rogard. Mata itu sungguh memelas. Seakan dia berharap Rogard bisa lebih lembut lagi.     

Rogard membalas tatapan mengiba Kyuna dan mendengus pelan. "Kalau kau sudah paham itu menyakitkan, kenapa masih saja bertingkah dan seenaknya menyerang orang yang nyata-nyata lebih kuat darimu?"     

Mata Kyuna basah, seolah siap untuk memburaikan air mata kapan saja. Ia masih menatap memohon pada Rogard. "Karena... aku tak mau kau disentuh dia..." suara lirih Kyuna menyerupai suara bocah perempuan. Sangat menggemaskan.     

Rasanya Rogard ingin mencubit pipi penuh bulu Kyuna saking gemasnya, namun dia urung. Sekarang bukan waktunya untuk berbuat demikian. Kyuna sedang terluka, dia harus merawatnya secara profesional karena Andrea telah memasrahkan rubah cantik ini pada perawatannya.     

"Hghh..." desah Rogard sambil kembali fokus mengobati luka Kyuna. "Kau ini kenapa? Memangnya kenapa kalau dia menyentuhku?"     

"Tidak mau! Tidak suka!" Kyuna berseru dengan suara anak perempuan kecil, lalu dia menggeram rendah sebelum akhirnya kembali tertunduk lesu, pasrah ketika lukanya dioles lagi dengan pasta. Bahkan dia sudah tidak memedulikan rasa menyengat dari pasta.     

"Tsk! Kau ini sungguh aneh." Rogard berlagak abai. Tangan dia terus menerus memilah bulu tebal Kyuna untuk menemukan lokasi tepat dari sayatan yang diberikan Ra sebelumnya.     

"Tidak aneh! Aku tidak aneh!" sangkal Kyuna.     

Rogard berhenti. Lalu dia menatap Kyuna yang memberikan tatapan keras kepala padanya.     

"Tentu saja aneh. Nona menyentuhku, Tuan juga menyentuhku, bahkan Kuro, Shiro dan yang lainnya juga menyentuhku... terkadang. Apa bedanya dengan Ra menyentuhku?"     

"Karena dia menyentuh kamu dengan maksud lain!"     

"Maksud lain? Maksud apa itu?"     

Kyuna menyeringai kesal membiarkan taring-taring kecil mungil dia terlihat. "Rrrghh! Kau ini bebal atau bodoh, sih?"     

Rogard tersenyum samar, kemudian mengelus bulu di kepala Kyuna. "Jangan lagi berbuat sesuatu yang membuat aku khawatir, oke? Mau berjanji?"     

Kyuna menatap bingung ke Rogard. "Apa maksud ucapanmu?" Hatinya berdebar kencang, tapi dia tidak ingin lekas berharap jauh. Ia tidak mau dihempas kenyataan pahit.     

Rogard menghela napas sebentar lalu menyahut, "Hmhh... Nona Andrea dan Tuan Dante kerap terluka, dan itu sangat membuat aku khawatir. Maka dari itu, aku tidak ingin lagi menambah kecemasan aku jika kalian juga terluka. Kau paham?"     

Kyuna memutar bola mata kuning emas tua-nya, ingin menggerutu dan memaki Rogard. Yang benar saja pria ini!     

Malam itu, Kyuna bersikeras Rogard tidur bersama dia di kamar itu. Karena gadis rubah itu belum sanggup kembali ke wujud humanoid-nya, maka Rogard tidak keberatan. Itu juga anjuran dari Andrea agar Rogard mengawasi Kyuna selama dua puluh empat jam, berjaga-jaga seandainya nanti Kyuna mengalami demam.     

Kuro dan Shiro yang biasanya tidur dengan Kyuna, sudah diberikan kamar lain sendiri-sendiri, karena pondok bisa membesar dengan sendirinya seiring bertambahnya kekuatan Andrea. Maka, wujud pondok yang tadinya kecil dan sederhana, kini sudah hampir menyerupai rumah besar dengan kamar sepuluh.     

Malam itu, Andrea berbincang santai di ruang makan. Kyuna dan Rogard tidak hadir. Ra tampak gelisah namun diam saja.     

Setelah selesai makan malam bersama, Ra mendatangi Andrea yang sedang mencuci piring-piring kotor. "Kenapa kau begini?"     

Andrea menoleh ke Ra sambil tangannya masih menggosokkan busa sabun ke satu piring. "Begini gimana? Lah aku kan emang begini selalu. Apanya yang salah?"     

Ra mendecak tak sabar. "Kenapa kau tidak memarahi aku atau menegurku?!" Ia sandarkan pinggang belakangnya di meja dapur di sebelah Andrea. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Pandangannya gusar. Kaki ramping dan kuat dia bergerak-gerak tak tenang.     

Andrea membilas piring yang telah dia sabuni sambil menjawab Ra. Ia paham arah bicara Ra. "Memangnya kalo aku marahi kamu, kamu bakalan berenti ribut ma Kyuna? Kalo aku tegur keras kamu, kamu bakalan gak kelahi lagi?" Lalu dia menatap Ra.     

Ra terlihat bingung dengan jawaban Andrea. Harusnya yang pada keadaan normal orang-orang lainnya, akan memarahi biang keributan segera setelah terjadi keributan. Tapi kenapa Andrea tidak melakukan hal itu? Apakah Kyuna tidak penting di mata Andrea? Apakah Andrea lebih menghargai Ra yang jauh lebih kuat?     

Andrea meletakkan piring-piring yang telah dia bilas ke rak khusus. "Ra, memarahi seseorang yang berbuat keributan itu tidak akan berdampak banyak pada ujungnya. Nah, daripada kamu protes karena kagak aku marahi, mendingan kamu ngomong aja deh, apa yang kamu rasain setelah kejadian itu?"     

Sang jiwa pedang api terdiam sekian waktu. Antara bimbang dan agak tidak ingin membahasnya. Tapi, jika ini tidak dia ungkapkan, rasanya seperti gatal yang butuh digaruk secepatnya. "Aku... tadinya aku puas setelah mengalahkan dia, itu... itu seperti aku menghukum dia."     

"Menghukum?" tanya Andrea. "Atau mungkin... menegaskan dominasi kamu ke dia?" Andrea memandang penuh selidik dengan senyum nakal di wajahnya.     

"Tsk!" Ra mendecak lumayan kesal karena ia tertohok tepat sesuai dengan tebakan Andrea. Ia pun tanpa sadar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku... anggap saja aku beri dia pelajaran, oke?!"     

"Oke." Andrea mengangguk, namun dia belum selesai sepenuhnya. "Kalo kamu udah kasi dia pelajaran, udah kasi dominasi kamu ke dia, lalu bakalan gimana nantinya? Maksudku... kalo kalian ketemu lagi?"     

Perempuan pedang berkulit warna tembaga murni itu terdiam lagi, berpikir akan pertanyaan Andrea. Yah, dia memang tak tau apa yang musti dia lakukan setelah kejadian ini. Jika mereka masih saja memasang sikap bermusuhan, bukankah itu jadi aneh karena mereka ini kini merupakan satu tim. Lalu, jika mengabaikan seolah tidak terjadi apa-apa, nyatanya dia sudah melukai Kyuna cukup berat.     

Lantas... dia harus bagaimana?!     

Ra mendongak memandang Andrea setelah sesaat merenung. "Aku... aku sendiri tak tau aku harus bagaimana." Wajahnya terlihat bingung tak berdaya. "Aku... ini rasanya jadi aneh kalau begini saja. Rrrkkhh! Aku bingung!"     

"Hmmm..." Andrea menggumam sebentar sebelum mulai berbicara. "Kyuna adalah siluman yang aku sayangi, yang sudah kuanggap bagai saudara sendiri. Sedangkan kamu, kamu adalah pedang baru aku, pendamping aku nantinya ketika aku dalam mara bahaya. Menurutmu, kalau kalian berkelahi sengit, mana yang harus aku bela?"     

Ra menatap kelu Andrea. Benaknya ingin berkata banyak hal, tapi lidahnya kaku. Usai beberapa menit tanpa ada yang bicara, Ra pun mendesah. Ia tertunduk. Andrea seolah menohok dia tepat di kesadaran alam pikirnya. Posisi Andrea jadi sulit, dilematis, tidak tau harus memihak yang mana. Ra bisa memahi dilema Andrea jika memang dihadapkan pada persoalan demikian.     

"Aku tau..." Ra mendongak lagi untuk mempertemukan tatapannya dengan Andrea. "Aku memang salah sudah terlalu berlebihan memukul Kyuna."     

Andrea tersenyum. Lega juga ternyata Ra bisa lekas memahami apa maksud ucapan-ucapan dia tadi. "Ayo, aku antar ke kamarnya Kyuna, sekalian jenguk dia. Gak usah bawa bunga ato coklat. Udah gak jaman."     

"Hah?" Ra malah bingung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.