Devil's Fruit (21+)

Kau Bukan Siapa-Siapaku



Kau Bukan Siapa-Siapaku

0Fruit 104: Kau Bukan Siapa-Siapaku     

=[[ Author POV ]]=     

Dengan terbukanya Ikat Pinggang Dunia, Andrea tentu merasakan suka cita. Dia tak perlu lagi menanam harta karun tiap pagi, dan bahkan dia berteriak girang ketika menemukan bak mandi di dalam kamar pondok meski itu dari kayu dan sangat ramah lingkungan, tak mengapa.     

"Yang penting aku bisa mandi puaassss!" seru Andrea penuh kebahagiaan.     

Langsung saja dia menutup pintu pondok dan bergegas mengisi bak dengan air, lalu melompat ke bak sehingga bunyi 'gejebyuurr' segera muncul sampai keluar pondok.     

Dante yang terkejut, bergegas bangkit, mengira Andrea menemui bencana di dalam pondok. Dia segera terbang ke asal suara tadi, ingin secepatnya menolong Andrea.     

Namun, begitu sampai di depan sebuah jendela, dia hanya bisa melongo, karena menyaksikan tubuh telanjang Andrea sedang berendam di sebuah bak kayu yang lumayan besar.     

"Aaarghh! Cabul!!!!" teriak Andrea begitu dia menemukan bahwa ada Dante di depan jendela sedang terpana menatapnya berendam. "Dasar-piipp! Gak tau-piiipp! Kamu memang-piipp dan piiipp! Biar ntar aku-piippp pantat kamu yang-piippp!"     

Begitu banyak makian tentunya dari mulut Andrea yang tidak bisa mengalun bebas seperti biasanya. Terima kasih pada Djanh yang telah menyensornya.     

Sreett!     

Andrea gerakkan tangannya dan tirai jendela kamar mandi pun segera tertutup. Rupanya dia keasyikan mengumpat sampai terlupa bahwa ada tirai di sudut jendela.     

Bunyi banyak piipp masih terdengar dari kamar mandi. Dante mendesah galau. Lagi-lagi dia mengucapkan "andai" dengan lirih sambil berjalan lunglai ke sebuah bukit kecil dan duduk memandangi hamparan hijau di segala arah.     

Andrea sudah selesai mandi dan dia sudah berganti baju dengan kulit bulu biru es Raja Serigala kesukaannya. Rambutnya baru saja dicuci dan sudah dikeringkan. Bahkan dia menata rambut itu dengan gaya manis—dua sisi kanan dan kiri rambut di area dekat telinga dikepang tidak terlalu besar, lalu keduanya disatukan di tengah kepala dan ditali dengan pita berwarna biru muda. Sangat serasi dengan bajunya.     

Rupanya pondok itu menyediakan beberapa perlengkapan kebutuhan sehari-hari seperti di dunia manusia. Ini benar-benar menguntungkan Andrea.     

Ia juga sudah membungkus kakinya dengan sebuah sepatu boot sebetis berwarna coklat dari bahan suede. Ia nanti mungkin akan memodifikasi sepatu itu agar bisa ditempeli dengan sisa kulit bulu biru es Raja Serigala agar semakin serasi dari atas sampai bawah dengan baju yang dia kenakan.     

Meski begitu, dia tidak memulaskan make-up apapun. Hanya bedak tipis dan pelembab bibir. Itu saja. Dia tidak terbiasa berdandan sejak dulu.     

Andrea bertemu Dante yang sedang duduk penuh aura nelangsa di sebuah gundukan bukit kecil. Dante terlihat terkejut dan hatinya melonjak. Ia tidak bisa tidak memuji penampilan Andrea yang memukau meski tampak sederhana.     

"Kau... Kau bahkan berdandan manis begitu... Untukku?" Dante tak bisa menahan membuncahnya hati dia dan tanpa ragu menanyakannya karena dia yakin Andrea sudah tidak marah lagi padanya.     

Apalagi senyum manis gadis itu sudah muncul setelah keluar dari pondok.     

Andrea menatap Dante seakan heran dan kemudian suguhkan senyum manis lagi. "Oh, aku sengaja berdandan begini... yah siapa tau nanti bertemu lelaki tampan, atau mungkin tiba-tiba Kenzo datang menyelamatkan aku. Tentunya aku tak mau tampil berantakan... dan bau sepertimu, kan?"     

Dante menelan ludah, jakunnya naik-turun dengan hatinya membara seketika mendengar ucapan Andrea. Lagi-lagi nama pria lain disebut di depan hidungnya. Terlebih, itu Kenzo! Musuhnya dari awal!     

Pria Nephilim malang itu bertanya-tanya, apakah Andrea sengaja agar dia kesal? Apakah ini salah satu bentuk hukuman dari Andrea? Memikirkan itu, Dante ingin mengesampingkan rasa cemburunya yang menggelora untuk mengganti dengan pengharapan bahwa Andrea pastinya masih memiliki perasaan spesial untuk dirinya.     

Masih ada harapan!     

Dante bangun dari duduknya, menghampiri Andrea, hendak memeluk gadis itu. Namun dengan tegas Andrea mundur dan menajamkan tatapannya.     

"Mau apa?!" Suara Andrea terdengar sengit dan penuh waspada menatap Dante.     

"Aku... Aku hanya ingin mendekapmu, Andrea." Harga dirinya sudah ditebas dan dipangkas habis demi mendapatkan hati Andrea kembali seutuhnya seperti sebelumnya.     

Andrea malah menutup hidungnya menggunakan satu tangan dan memandang jijik ke Dante. "Pede banget kamu ingin mendekap aku? Memangnya kamu siapa aku? Lagian, badan kamu baunya... ampun, deh!" Dia kibas-kibaskan tangan seolah sangat terganggu dengan bau tak sedap.     

Dante otomatis mengangkat lengannya, ingin mengkonfirmasi bau tubuhnya sendiri menggunakan hidung dia. Setelah menghidu beberapa kali, wajahnya terlihat heran. "Tidak begitu bau, kok!"     

"Nggak peduli! Pokoknya hidungku yang tajam ini bilang kamu bau busuk! Nggak tau, deh, yang bau busuk badan kamu atau kelakuan kamu." Lalu Andrea melenggang menjauh dari Dante yang terpaku di tempat.     

Sebuah hela napas kembali keluar dari mulut Dante. Rupanya Andrea masih sengit padanya meski wajahnya tidak segalak sebelumnya. Tapi... mulut tajam gadis itu masih saja ada.     

"Andrea!" Dante pun berjalan membuntuti Andrea.     

"Apa, sih? Kenapa ngikuti aku?" Andrea menoleh sedikit ke belakang sambil terus berjalan.     

"Kamu sudah tidak marah lagi padaku, ya kan?"     

Andrea pun berhenti dan balikkan badan ke arah Dante, melipat dua tangan di depan dada sehingga dada menjulangnya makin terlihat provokatif. "Marah? Marah untuk hal apa, yah?"     

Dante ikut berhenti dan bingung dengan jawaban Andrea. Apakah itu berarti Andrea benar-benar sudah melupakan insiden yang kemarin? "Tentang aku... mmh... Aku dan... Revka?"     

Gadis Cambion memiringkan kepalanya seolah tak mengerti kalimat Dante. Wajahnya menampakkan keheranan. "Kau dan Revka? Oh! Yang kemarin itu, yah! Haha, aduh Dante... kenapa aku harus marah soal gituan? Itu kan hak kamu mo ngapain aja ama Revka, ya kan? Mo nungging bareng, mo anuan sampai sehari semalam, itu kan hak kamu. Memangnya... siapa aku? Siapa kamu? Kamu bukan siapa-siapaku!"     

Ada sebuah palu imajiner yang memukul hancur hati Dante. Tapi dia masih berusaha denial pada apa yang dia dengar. "Tidak. Tidak mungkin kau tidak menganggapku lebih dari bukan siapa-siapa." Ia menggeleng dengan tatapan mata syok.     

Andrea malah naikkan alis sambil tersenyum. "Kenapa nggak mungkin? Di dunia ini apa sih yang nggak mungkin? Semua itu mungkin! Hahah!"     

Lalu gadis itu pun berbalik dan melanjutkan langkahnya lagi. Dante tak puas, ia mengejar Andrea, meraih tangan sang Cambion agar Andrea berhenti dan memperhatikannya.     

"Andrea, sebentar—"     

"Hei! Lepas!" Andrea kibaskan tangan yang diraih Dante.     

"Tidak mau!" Dante bersikukuh dan menarik tubuh Andrea dalam pelukannya.     

Gadis itu meronta dan sekuat tenaga mendorong dada Dante. Andaikan dia tega, dia bisa gunakan tenaga Mossa dia untuk menerbangkan Dante. Namun, dia kuatir petir hukuman juga bisa memasuki dunia ini jika dia menyerang Dante. "Jangan ngawur, deh! Kendalikan dirimu, napa?!"     

Dante tak berani gegabah lagi seperti memaksakan memeluk Andrea. Ia jadi takut bila Andrea akan semakin membencinya nanti. "Andrea, aku minta maaf atas apapun perbuatanku sebelum kita datang ke alam ini. Aku... hgh, Andrea... aku sayang kamu! Aku ingin memiliki kamu! Hanya untukku sendiri!"     

Mulut Andrea terbuka dan bergerak-gerak hendak bicara tapi bingung kalimat apa yang pantas dikeluarkan. Akhirnya dia malah berkacak pinggang sambil satu tangan memijit dahinya seolah dia sudah lelah akan Dante.     

"Andrea, tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan—"     

"Stop!" Tangan yang tadi digunakan untuk memijit dahi, kini maju ke depan dengan gestur menghentikan. "Dante, stop! Nggak perlu diteruskan. Biar aku tegaskan... Aku... tidak punya perasaan yang sama ama kamu. Paham, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.