Devil's Fruit (21+)

Mandi Sana!



Mandi Sana!

0Fruit 110: Mandi Sana!     

=[[ Dante POV ]]=     

"Errmmhh..." Aku menggeliat sembari rentangkan dua tanganku jauh-jauh dari tubuhku. Dan tiba-tiba saja aku membuka mata karena dari kesadaranku yang segera bangkit, aku merasakan aura tempat yang berbeda.     

Aku lekas terduduk di ranjang dan menyadari ternyata aku sudah tidak lagi di rongga pohon. Bahkan dari pandangan berkeliling yang kuedarkan di ruang ini, aku tau kalau aku sedang berada di dalam sebuah kamar dan bahkan ada di atas kasur yang layak. Apakah aku sudah kembali ke alam manusia? Benarkah?!     

Aku buru-buru meloncat turun dari ranjang untuk memastikan dugaanku. Jantungku berdebar kencang. Andai ini sungguh-sungguh kembali ke alam manusia, maka—     

Deg!     

Jantungku berdentum keras, ketika aku keluar dari kamar itu, aku hanya menemukan Andrea yang duduk santai di bangku ruang makan sedang menyesap makanannya sambil kaki ditaruh di satu paha.     

"Met pagi, Dan..." Dia menyapaku enteng dan meneruskan makannya.     

Ini—     

Hm, ternyata ini bukan dunia manusia. Ini adalah pondok Andrea. Ternyata gadis itu memindahkan aku ke dalam pondoknya. Kuduga, dia sudah menerima semua hadiah dariku dan pasti sudah menyimpan semuanya di cincin aneh dia.     

Tapi... tunggu! Aku mencium apa ini? Baunya sangat wangi dan harum. Tidak, ini bukan bau feromon Andrea yang menakutkan. Ini beda.     

"Dan, makan, yuk sini!" Dia melambaikan tangan ke arahku yang masih berdiri linglung. "Buruan gih dimakan sup spesial yang barusan aku bikin mumpung masih hangat," tambahnya sambil sodorkan mangkok lain yang sepertinya bagian untukku.     

"Hum... aku tidak bernapsu..." tolakku dengan nada datar cenderung dingin.     

Krrruukkkk....     

Perut laknat!!!     

Andai ini bukan perutku, sudah kucincang menjadi ribuan potong karena sudah mempermalukan aku.     

"Haha..." Lihat, Cambion itu langsung saja tertawa kurang ajar begitu mendengar suara perut laknatku. "Kamu emang gak bernapsu, tapi perut kamu bernapsu. Gih, dah sini!" Ia menepuk-nepuk sebuah bangku kosong di sebelahnya.     

Dengan dengusan kesal, akupun mendekat ke meja makan. Aku tak mau duduk di sebelahnya dan memilih bangku di seberang dia. Karena meja makan ini tergolong sederhana dan kecil, maka kami masih termasuk bisa saling berdekatan meski aku berusaha duduk setegak mungkin.     

Jakunku turun-naik melihat sup hangat yang disodorkan si Cambion di depan mataku. Aroma harumnya sangat menggugah selera, itu tak bisa kusangkal.     

Rupanya aku kelaparan. Mulutku berkhianat, sama seperti perutku tadi. Tak sampai setengah jam, mangkok itu kosong tanpa sisa satupun.     

Untung saja Andrea tidak terbahak kurang ajar melihat cepatnya mangkokku berubah kosong dalam waktu sekejap. Andai dia berani tertawa keras, aku pastikan aku akan melangkah keluar dari pondok walau menahan lapar!     

Tapi, kali ini Andrea hanya tersenyum simpul sambil mengambilkan semangkok sup baru lainnya yang hangat dan wangi dan menyerahkan ke arahku. "Nambah, gih! Aku aja tadi nambah, loh! Ini sup daging ular, khasiatnya banyak. Bisa bikin anget tubuh, bikin bagus sendi, lancarin sirkulasi darah, dan bikin kamu tambah ganteng."     

Aku tertegun. Kenapa dia bisa seenteng itu berkata demikian? Tidak, aku tidak memaksudkan soal uraian khasiat sup ular dari Andrea. Yang aku maksudkan adalah kalimat terakhir dia.     

Dia begitu ringan mengucapkan ganteng untukku.     

Oke, aku pasti senang-senang saja dipuji ganteng. Siapa orangnya yang tak senang dipuji demikian oleh lawan jenis.     

Tapi aku tetap berusaha mempertahankan sikapku. Dia sudah bukan Andrea yang sempat kusayangi. Dia hanya patner seperjalananku saja, tidak lebih!     

Tanpa merespon ucapannya, aku pun mulai menyantap sup itu lagi tanpa basa-basi.     

Jika sebelumnya aku selalu menolak tawaran dia setiap dia memasak sesuatu, kali ini aku menerima. Aku pikir, aku tidak ingin terlalu bersikap dingin lagi padanya. Aku lebih baik bersikap biasa saja meski harus tetap membentengi perasaanku agar tidak goyah dan menyedihkan seperti sebelumnya. Jujur saja, itu sangat memalukan dan membanting remuk harga diriku. Aku tak mau begitu lagi.     

Tanpa mengucapkan terima kasih, aku bangkit dari kursi, bersiap untuk keluar dari pondok. Lebih baik mencari udara segar di luar ketimbang satu ruangan dengan Andrea.     

"Kamu nggak kepingin mandi, Dante?" Suara lembut Andrea menyapa pendengaranku.     

Aku menoleh sedikit ke arahnya dengan raut sebiasa mungkin. "Tidak perlu."     

"Mandi, gih! Biar enggak gatal-gatal lagi kayak sebelumnya. Sekalian ganti baju. Aku punya banyak baju ganti untuk kamu." Andrea ikut bangkit dari duduknya.     

"Hm..." Kalau dipikir-pikir, aku sempat tersiksa juga sewaktu mengalami gatal-gatal.     

"Sana mandi di kamar mandi aku. Masuk aja ke kamarku. Nanti aku siapin handuk bersih dan baju ganti." Andrea berkata sambil memberesi meja makan bekas kami sarapan pagi.     

"Hm..." Setelah menggumam pendek begitu, aku melangkah ke kamar Andrea dan memasuki kamar mandi di sana. Ada sebuah bak kayu mirip dengan yang biasa digunakan orang-orang Jepang di permandian mereka.     

Aku menyalakan kran di atas bak dan aku setel ke mode hangat. Sambil menunggu bak penuh, aku mulai melucuti pakaianku. Setelah tak berapa lama, aku masuk ke dalam bak.     

=[[ Author POV ]]=     

Andrea membereskan beberapa mangkok dan gelas kotor untuk dimasukkan ke dalam mesin pencuci otomatis. Dia juga heran bagaimana bisa pondok ini memiliki beberapa peralatan canggih ala dunia modern.     

Pencipta alam ini benar-benar luar biasa, demikian batin Andrea.     

Maka, tanpa perlu susah payah mencuci piring dan semacamnya, ia pun mulai menyiapkan handuk bersih lebar berwarna putih dan baju ganti dari kulit bulu binatang yang telah dibuat Andrea sebelumnya.     

Semuanya ia bawa ke kamarnya untuk dia taruh di atas ranjang agar Dante mudah melihatnya.     

Ceklek!     

Andrea terkesiap ketika ia melihat Dante membuka pintu kamar mandi saat dia masih berada di sana. Tubuh basah Dante sangat seksi dan mengagumkan. Lelehan air melingkupi tubuh berotot Dante. Bahkan—oh tidak, Andrea tak sengaja melihat ke area selangkangan Dante.     

Ia lekas berbalik dan pergi dari kamar setelah mengucapkan, "I-itu baju gantimu!"     

Dante miringkan kepala akan sikap Andrea. "Gadis itu berlagak lugu, kah? Apa dia tidak ingat bagaimana dia menggodaku di mimpi? Cih! Iblis munafik. Berlagak malu-malu." Dante menatap ke handuk dan satu set pakaian bersih untuknya, lalu ia mulai keringkan tubuh dan memakai semua pakaian itu.     

Setelah itu, Dante keluar dari kamar Andrea dan menyaksikan Andrea sedang berlatih dengan cambuknya.     

Cambuk itu terbuat dari tulang belakang kadal besar yang Andrea kalahkan.     

Gerakan Andrea tergolong luwes ketika meliukkan cambuk di udara. Sesekali, cambuk itu diselubungi oleh cahaya merah yang pastinya itu dari kekuatan api Andrea. Entah Troxo atau Cero.     

Dante duduk santai di sebuah bangku di teras pondok sambil terus mengamati Andrea yang sedang berlatih. Dia bisa menilai bahwa ketrampilan Andrea dalam menggerakkan cambuk mulai lebih baik dari sebelumnya. Gadis itu telah bisa mengontrol cambuknya dan gerakannya makin tegas mematikan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.