Devil's Fruit (21+)

Model Perusahaan



Model Perusahaan

0Fruit 432: Model Perusahaan     

Andrea masih penasaran siapa sosok asli orang yang menolong dia saat tenggelam semalam?     

Gara-gara itu, dia jadi kurang konsentrasi saat rapat marketing pagi ini di ruangan Tanaka-san.     

"Nona Andrea bisa terangkan apa kiat-kiat mensukseskan pemasaran secara gemilang dalam seminggu?" Tanaka-san sudah menatap tajam Andrea yang melamun.     

"Andrea!" bisik tertahan datang dari seberang. Handa-san.     

"Nona Andrea?" Tanaka-san masih menyebut namanya.     

Dukk!     

Andrea terperanjat, tatap ke Daichi di sampingnya seolah menanya kenapa menendang kakinya di bawah meja.     

Daichi mengarahkan telunjuk ke Tanaka-san.     

Sang Cambion pun paham. Terlebih tatapan tajam Tanaka-san padanya. Ia tergagap, berdiri. "I-iya, Tanaka-san?"     

Direktur Pemasaran itu menghela nafas, mungkin berusaha tabah atas kelakuan salah satu staff marketing terbaiknya. "Apa kiat-kiat sukses dalam memasarkan properti dalam waktu singkat?"     

Wanita muda itu mengangguk sekali. Ternyata pertanyaan semacam itu. Enaknya dia menjawab apa? 'Itu berkat senyum ajaib saya, Pak!' begitukah?     

"Err... ano..." Andrea edarkan pandangan, siapa tau tiba-tiba ada wangsit dan bisa menjawab lebih logis di depan rekan-rekan manusia biasanya. Kecuali kampret di seberang mejanya.     

Dan kampret itu berdiri pula. "Itu karena dia patuh pada bimbingan saya, Tanaka-san."     

HAH?! BITPLIS! Rasanya Andrea ingin sekali menjerit seperti itu. Memangnya Tuan Vampir sudah berapa abad bekerja bersama Andrea?     

Anehnya, tak ada yang memprotes ucapan aneh Giorge. Harusnya itu sangat tidak masuk akal! Andrea bertanya-tanya, apakah Tuan Vampir menghipnotis seluruh orang di ruangan ini?     

Selesai rapat, Andrea diminta menghadap khusus bersama Handa-san dan juga Giorge.     

"Tanaka-san, Anda serius?" tanya Andrea begitu bosnya memberitau alasan kenapa dia dipanggil ke ruangan tersebut.     

"Kau meragukan keputusanku, Nona Andrea?" Tanaka-san balik bertanya dengan tatapan tajam. Sepertinya dia lebih pantas jadi Vampir ketimbang Giorge.     

Andrea kikuk. "A-ahaha, tidak begitu maksud saya, Tanaka-san. Saya..."     

"Bersedia atau tidak? Honornya tiga kali lipat gaj-."     

"Bersedia." Andrea menyambar sebelum bos menyelesaikan ucapan.     

Keluar dari ruangan Tanaka-san, Giorge menjejeri langkah Andrea kembali ke kubikelnya.     

"Cepat sekali kau menyanggupi, Rea." Giorge terus melangkah berbarengan dengan sang Cambion. Beberapa pasang mata tampak iri pada Andrea karena tamu kantor pusat itu sudah langsung akrab dengan Andrea.     

"Bagi pejuang hidup kayak gue, duit itu sangat perlu. Asalkan kerjanya positif, why not?" papar Andrea mengenai kenapa dia menerima tawaran menjadi model yang akan memasarkan real estate perusahaan di televisi.     

Tugas yang diberikan padanya hanyalah berpenampilan menarik ketika syuting, memaparkan apa saja fasilitas dan keuntungan jika membeli properti di perusahaannya.     

"Kau akan syuting tiap minggu, Rea."     

"Ya terus?" Andrea berhenti meski belum mencapai kubikelnya. Ia tatap Giorge bagai menuntut jawaban, karena pria itu terdengar tidak menyukai keputusan Andrea menjadi model perusahaan.     

"Aku tak suka wajahmu ditonton banyak orang." Demikian alasan Giorge.     

Andrea terbahak kecil dengan wajah menyiratkan 'watdehel katamu, pret?!'. "Emangnya kenapa kalo wajah gue ini ditonton seluruh dunia?"     

"Aku tak suka membagimu dengan banyak orang." Kalimat Giorge makin 'lucu' di telinga Andrea.     

"Helouw~ gue bukan siapa-siapa elu, yah mister bule. Gue wanita bebas meski ada suami, sih." Andrea memilih menyingkir ke balkon luar ketimbang perbincangan dia dan Tuan Vampir didengar rekan yang lain, meski Andrea menggunakan bahasa Indonesia. Yah, siapa tau ada yang paham selain Tuan Vampir.     

"Rea, sampai sekarang keberadaan suamimu masih tak jelas bagiku."     

"Ya, itu bagi elu. Bagi gue jelas, kok!" Andrea sandarkan tubuh depannya pada besi penghalang.     

"Aku tak yakin dia benar-benar ada. Jangan-jangan itu hanya akal-akalan kau saja agar tak ada lelaki yang mendekati kau, Rea." Giorge turut sandarkan punggung di sebelah Andrea.     

"Terserah. Yang penting dia ada. Kalo dia tokoh imajinasi gue, lalu anak gue dari mana, dong?" Cambion itu menatap hamparan lautan gedung dan pertokoan di bawah sana. Mori Tower termasuk gedung besar dan tinggi di Roppongi.     

"Yah, bisa jadi itu benar ada pria itu, hanya dia pergi meninggalkan kalian. Ayolah, Rea. Aku butuh bukti kalau kau benar-benar bersuami."     

Andrea tatap tajam Giorge. "Gue udah pernah bilang, kan? Jangan fitnah suami gue. Dia ada. Nyata. Sedang ada di suatu tempat yang gak bisa gue jangkau. Lu percaya ato kagak, itu urusan elu." Saking kesalnya, Andrea tusuk-tusuk dada Giorge sembari dia berucap. "Dan gue gak suka panggilan Rea. Tapi gue tau lu kerad, keras kepala."     

Giorge mengangguk-angguk. "Kau benar mengenai keras kepala. Tapi ada yang salah sedikit dari awal. Bahwa aku tidak sepenuhnya bule."     

Andrea seketika menoleh. "Maksud lu?"     

"Ibuku orang Jepang. Ayahku dari Brazil." Giorge berhenti sejenak. "Aku masih punya darah Asia. Sepertimu."     

"Wow!" Andrea senyum diagonal. Terkejut juga, ternyata Tuan Vampir ini ada bau Asia. "Kirain lu bule asli, ternyata abal-abal. KW. Pfftt!" Andrea mendengus bernada mengejek.     

"Maaf, mengecewakanmu." Giorge justru tersenyum hangat.     

Andrea mendecih, namun matanya 'tersenyum'.     

-0-0-0-0-0-     

Paginya, Andrea sudah bersiap berangkat kerja.     

"Cieee~ yang sekarang jadi model. Penampilan udah mirip, tuh!" goda Shelly di meja makan usai mereka sarapan.     

Andrea terbahak ringan. "Yang penting bisa bikin dompet ama tabungan gue gendut." Ia bangun dari kursinya, mendekat ke anaknya dan mengecup puncak kepala Jovano. "Jagoan Mama jangan nakal, yah!"     

Jovano mencoba menggapai-gapai sang ibu. "Mama... Mama..."     

Shelly menurunkan tangan si kecil. "Jangan, Jo sayank. Mamamu udah cantik, jangan ditambahi hiasan tangan belepotanmu, oke?" Ia mengangkat bocah yang sudah menyelesaikan makanannya.     

"Baju gue kagak lebai, kan?" Ia bertanya ke Shelly sambil berputar.     

Gaun terusan model lilit selutut warna pink muda bermotif bunga, berujung simetris unik. Melekat ketat di tubuh sempurna sang Cambion.     

Shelly menatap sang sahabat yang memakai baju hasil berburu di butik Mal kemarin. "Baju kamu luar biasa keren, tatanan rambut kamu hebat. Nilai keseluruhan... sempurna."     

"Holoh, holoh..." Andrea terkekeh. Tadi pagi Shelly membantu berdandan. Rambut panjangnya diikal menggunakan alat milik Shelly. Wajah diberi make-up tipis natural namun justru menambah ayu paras oriental Andrea.     

Setelah yakin semua rapi, Andrea keluar dari Town House-nya setelah berpamitan pada ketiga orang di rumah tersebut.     

Sesampainya di kantor, semua mata takjub memandang penampilan baru Andrea.     

"Jadi, ternyata kau ini perempuan, Andrea-san?" seloroh Maika, salah satu rekan di Departemen Marketing.     

Andrea menusuk pinggang Maika menggunakan ujung telunjuk. "Mulutmu nakal sekali, Maimai."     

Rekannya terkekeh geli. Mereka lumayan akrab.     

Para pria sibuk menatap Andrea, bagai menemukan patung Dewi yang hilang selama ini.     

"Hei, awas mata kalian bisa lepas tanpa kalian sadar," Wanda, rekan dari Australia menimpali.     

"Selamat pagi semuanya," sapa Giorge begitu dia memasuki ruangan marketing. Staff lain segera membalas. Ada yang membungkuk hormat, ada pula yang tetap tegak membalas sapaannya.     

Beda budaya, beda balasan.     

Mata Giorge tertuju ke Andrea yang hendak pergi ke kubikelnya. "Rea?"     

Andrea terpaksa berhenti melangkah. Wajahnya menahan kesal. Terdengar bisik-bisik staff lain mendengar Giorge memberi panggilan khusus ke Andrea.     

Inilah yang tidak disukai Andrea. Menjadi bahan perbincangan. Padahal ia ingin hidup tenang di lingkungan pekerjaan.     

Cambion itu berbalik, menghadapi Giorge. "Ya, Pak?"     

"Ke ruangan saya." Pria itu meninggalkan kerumunan untuk masuk ke ruangannya sendiri. Andrea mau tak mau mengekor. Pandangan penuh selidik terarah ke dia. Risih benar.     

Begitu mereka berdua masuk, Andrea langsung saja memberondong, "Lu bisa kagak, sih, gosah panggil gue gitu di depan rekan kerja?"     

Giorge letakkan tas kerja di kursi empuknya, lantas memutar badan menghadap Andrea. "Humm? Yang mana? Rea?"     

"Iyalah, pe'ak! Very very please jangan panggil gue gitu lagi. Gue ogah jadi bahan gosip di sini."     

"Well, I'm so sorry, I can't. Aku suka panggilan itu. Sangat-sangat spesial." Kini Tuan Vampir mulai duduk di kursinya. "Rasanya akan sempurna kalau aku memiliki sekretaris. Dan itu adalah kau, Rea."     

Andrea melotot. "Ogah! Mimpi lu ketinggian!" Ia lipat gusar dua lengan di depan dada.     

Giorge mendengus geli. "Apa kau meragukan kemampuan hipnotis aku?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.