Devil's Fruit (21+)

Tenggelam



Tenggelam

0Fruit 431: Tenggelam     

Giorge memegang kedua bahu Tuan Chu. "Tatap mata saya, Tuan. Tatap baik-baik. Tuan sudah menyukai cluster yang kami tawarkan. Dan Tuan akan menandatangani perjanjian jual belinya sekarang juga."     

"Hah? Eh, iya. Baiklah."     

Bagai kerbau dicocok hidung, Tuan Chu menerima bolpen yang diulurkan padanya, dan bersedia membubuhkan tanda tangan dia ke beberapa kertas yang disodorkan Giorge. Tanpa dibaca.     

"Terima kasih, Tuan. Kita akan bertemu lagi lusa. Tapi mungkin Manajer kami yang lain yang akan menemui Tuan. Selamat sore, Tuan." Giorge tersenyum singkat ke Bos Lianshe Group.     

"Eh, ya, selamat sore. Terima kasih." Tuan Chu malahan turut mengucapkan terima kasih.     

Giorge kembali ke mobil bersama Andrea.     

"Ngaku aja, deh, elu emang ngehipnotis Tuan Chu, ya kan? Plis ngaku lah!" Andrea tak tahan, penasaran. Jelas-jelas ia tadi melihat betapa patuhnya Tuan Chu pada apa yang dikatakan Giorge.     

Giorge terbahak. "Anggap saja demikian."     

"Ngapain, sih lu main rahasia-rahasiaan segala dari gue? Gue ini dah biasa liat en tau segala hal-hal aneh di dunia. Jadi gosah sosoan sembunyiin apapun keanehan elu dari gue."     

"Ah ya, benar. Kau kan bukan manusia murni. Apa sebutanmu? Aku lupa." Giorge tampak sedang berpikir seraya terus menyetir pulang ke Roppongi.     

"Cambion."     

"Ah, benar. Cambion." Tuan Vampir mengangguk sekali. "Aku hanya ingat kau keturunan Iblis."     

Andrea tersenyum kecut. "Yeah, keturunan Iblis yang sudah kehilangan darah Iblisnya."     

Giorge menoleh ke wanita di sampingnya. "Kenapa bisa begitu?"     

"No komen." Andrea bergerak memunggungi Giorge setelah landaikan kursi. "Mo tidur. Jangan ganggu."     

Giorge tak membalas ucapan sang Cambion. Hanya tersenyum lembut menatap Andrea meski wanita itu takkan tau.     

Mobil dilajukan senyaman mungkin untuk Andrea. Begitu sampai di Roppongi, sudah petang. Andrea juga nampak lelah, tidurnya pulas. Tuan Vampir tak tega bangunkan dan membayangkan Andrea lemas menyetir pulang, dia tambah tak tega.     

Akhirnya, mobil itu balik arah ke rumah Andrea. Setelah sampai di depan rumah si Cambion, Giorge mengambil jas yang tadi dia selimutkan ke paha Andrea.     

Ia menyentuh lembut pundak Andrea. "Rea, Rea bangun. Sudah sampai."     

"Ermgh~"     

"Bangun, honey. Atau mau aku bopong masuk rumah?" bisik Giorge di dekat telinga Andrea.     

Mau tak mau Andrea membuka mata. "Rumah?" Suaranya serak khas bangun tidur. Mata masih terlihat memerah. "Kok... rumah gue?"     

"Udah malam. Aku tak tega kalau kau menyetir pulang dalam keadaan lelah begini." Giorge memundurkan tubuh agar Andrea bisa tegakkan badan.     

"Mau kupapah masuk ke rumah?" tawar Giorge.     

Andrea goyangkan tangan tanda tidak. "Gak usah, gak usah! Gue bisa turun sendiri."     

Wanita muda itu terhuyung sedikit turun dari mobil Manajer Seniornya, lalu tanpa menoleh ke belakang, ia berjalan ke rumahnya.     

Giorge tidak marah. Ia justru senyum lega. Mobil pun dilajukan begitu Andrea positif masuk rumah.     

"Ndre?" sapa Shelly. "Kok nyampe malem gini? Tumben." Ia baru saja membuat makan malam.     

Andrea menguap lebar. "Huaahemm~ iya. Tadi siang   nemui klien. Pulangnya langsung ke sini."     

"Siapa yang nganter?" Shelly masih menanya.     

"Atasan gue."     

Shelly bergegas ke teras, berharap orang yang dimaksud Andrea masih ada di tepi jalan, ternyata sudah menghilang. Ia kembali masuk. "Gih makan malam. Atau mo mandi dulu?"     

"Kayaknya gue mandi dulu aja, deh. Lengket semua nih rasanya. Titip Jo bentar, yah!" Andrea menepuk ringan lengan sahabatnya.     

Shelly mengangguk. "Hu'um. Buruan mandi lalu turun, makan."     

"Wokei." Andrea naik pelan-pelan,  tidak tergesa. Masuk ke kamar dan menuju kamar mandi. Lempar semua pakaian yang ia kenakan ke keranjang laundry. Lalu masuk ke bathtub sambil air dinyalakan. Ia ingin berendam sebentar melepas penat.     

Minyak esensial sudah diteteskan ke air. Kini tinggal menunggu air hangat mencapai dada.     

Sambil menunggu air, ia termenung. Satu tangan menopang kepala. Mengingat tentang kejadian hari ini.     

'Ternyata si kampret bisa hipnotis.' Ia menggumam dalam hati. "Apa gue pernah dihipnotis dia?" tanyanya pada diri sendiri. Lalu menggeleng. "Kayaknya kagak."     

Posisi tangan berganti menjadi diluruskan sepanjang tepi bathtub, sedangkan dagu diletakkan di atas lengan atas.     

"Kok dia tau rumah gue?" tanyanya heran. "Besok musti gue tanya! Hoaaheemm! Anjreett, masih aja ngantuk. Padahal udah molor di mobil dia."     

Posisi berganti lagi. Senderkan punggung, santai ke ujung bathtub sambil dua tangan di tepi bathtub. Mata dipejamkan. Harapannya, memejam sebentar sambil menunggu air penuh sedada.     

Tanpa Andrea ketahui, lagi-lagi ada makhluk misterius seperti bayangan hitam di luar jendela kamar mandi yang berbentuk kisi-kisi dari kayu. Makhluk itu lekat memandangi Andrea.     

Terlalu lelah, dan juga angin dingin yang semilir masuk melalui kisi jendela, mengakibatkan Andrea makin nyaman. Dan ia tak menyadari makin larut dalam kantuk sehingga saat kakinya terpeleset di dalam bathtub dan membuat tubuhnya merosot perlahan, ia tak sadar.     

Kepalanya sudah tenggelam.     

Namun, sekian detik berikutnya, ia terbangun karena rasa sesak dan menyengat di hidung. Ia tenggelam.     

Panik, ia menggapai sekenanya. Sayangnya, ia terlalu bingung hingga seolah semua terasa susah. Bunyi kecipak air akibat Andrea meronta dalam air terdengar. Hanya, itu terlalu pelan bagi orang yang ada di lantai bawah.     

"Halpph! Brrlph!"     

Andrea berjuang menggapai tepian bathtub, ketika ia merasa tubuhnya diangkat seseorang. Ia jelas merasakan itu. Tetapi, saat ia berusaha melihat dengan cermat siapa gerangan, terasa samar. Bagai bayangan hitam tak jelas.     

Bahkan ia tau dirinya dibopong hingga ke kasur, diletakkan hati-hati, diselimuti mantel mandi, dan kemudian sosok misterius itu berubah jadi asap dan hilang.     

Apakah mata Andrea bermasalah?     

"Ndrea, kok lam-" Shelly masuk ke kamar sahabatnya, namun kaget begitu melihat Andrea seperti orang linglung, basah kuyup dan tampak syok. "Ndre! Kenapa?!" Shelly menerjang maju, berlutut di hadapan Andrea.     

Yang ditanya masih bengong. Nafasnya sesak dengan hidung masih terasa pedih akibat kemasukan air.     

"Ndre?" Shelly menyentuh tangan Andrea yang dingin.     

"Hah?" Andrea akhirnya menoleh juga ke Shelly. "Gue~ gue barusan tenggelam."     

"Apa?!" Shelly kaget, lalu memeluk sang sahabat sambil terisak. "Ndre, ya ampun. Maaf, maaf aku tak tau, hiks! Kupikir kau masih asik berendam makanya lama, ternyata... hiks!"     

Andrea tepuk ringan punggung Shelly. "Gue~ gue gakpapa."     

Shelly longgarkan pelukan, tatap sang Cambion, seakan memeriksa keadaannya. "Kamu beneran gakpapa?" Sahabatnya mengangguk. "Syukurlah kamu bisa selamatin diri."     

"Tapi, beb..."     

"Ya?"     

"Gue~ bukan gue yang selametin diri gue."     

"Heh?!" Shelly membolakan matanya.     

"Iya, bukan gue. Ada orang lain di kamar mandi. Tapi..."     

"Tapi?" Shelly tak sabar menunggu kelanjutannya.     

"Tapi dia gak jelas. Hitam kayak bayangan gitu. Tapi gue yakin dia nyata, bukan halusinasi gue."     

Shelly membekap mulutnya sendiri. Tampak syok.     

"Beb, bukan Kenzo, kan?" Andrea memastikan.     

Shelly menggeleng. "Kenzo ada di bawah nemeni Jo daritadi. Aku liat sendiri, kok!"     

Andrea tertegun. Lalu siapa yang menyelamatkan dia?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.