Devil's Fruit (21+)

Masih Teringat



Masih Teringat

0Fruit 426: Masih Teringat     

"Mesum!" Andrea segera turun dari mobil begitu saja meninggalkan Giorge, Untunglah mobil sudah berhenti di parkiran.     

Jika mengetuk kepala seseorang menggunakan kunci kemudi itu bukan hal kriminal, tentu Andrea sudah bersedia melakukannya pada Tuan Vampir.     

Giorge senyum senang. Ia lekas menyusul Andrea setelah kunci mobil. "Kupikir kau tak mau makan siang denganku." Ia menjejeri Andrea.     

Andrea menoleh sengit. "Emang kagak!"     

"Tapi kau begitu semangat keluar dari mobil."     

Andrea berhenti melangkah, lalu balik badan siap tinggalkan tempat tersebut.     

Tepp!     

Giorge sudah menangkap pinggang Andrea dan himpitkan tubuh keduanya. "Jangan pergi," ucapnya setengah berbisik. "Temani aku, please." Ia memakai nada serius. Matanya lekat pandangi si Cambion.     

Andrea diam membalas tatapan Tuan Vampir. Pandangan mereka bertemu. Baru kali ini Andrea tau warna mata pria yang sedang menggamit pinggangnya. Amethys gelap. Warna iris itu keunguan gelap yang indah. Namun dia lekas gelengkan kepala. "Gak mau."     

"Kumohon..." Giorge terheran juga karena ternyata hipnotisnya tidak mempan pada Andrea. Sejenak tadi dia mengira Andrea mampu dia pengaruhi, namun ternyata tidak. Andrea hanya terkagum pada warna iris mata Giorge saja.     

"Iya, iya, pret! Gue temeni, tapi lu kagak boleh mesum sedikitpun! Ngerti?!" Andrea ketuskan wajah dan suara.     

"Deal!" Giorge senyum senang Andrea menyetujuinya.     

Cambion itu pun jauhkan tubuh Giorge darinya. "Gak boleh pegang-pegang!"     

"Oke, baiklah." Giorge angkat dua tangan seraya tetap senyum.     

Mereka makan di restoran steak.     

Andrea tatap Giorge yang memesan steak rare. "Dih, jijikin banget pesen yang masih mentah gitu. Ia bergidik menatap daging yang disantap Giorge masih berwarna merah segar di bagian dalamnya, dan bahkan masih ada sedikit darah.     

"It's so juicy. Ini kesukaanku. Lumayan untuk menekan nafsu alamiahku. Apalagi jika makan dengan wanita yang menarik sepertimu." Giorge tersenyum simpatik.     

Andrea justru teringat akan tragedi di Cordova. Ingat bagaimana hewan itu terburai organ dalamnya, serta dagingnya tercabik-cabik tak beraturan. "Huekk!" Ia mendadak ingin muntah.     

Giorge segera hentikan makannya. "Andrea, kau baik-baik saja?"     

Wanita itu menutupi mulutnya menggunakan satu tangan, kibas-kibas jari enggan menoleh ke Giorge. "Tentu aja kagak, begok! Huekk! Gue bisa muntah beneran ini!"     

Giorge segera membaca pikiran Andrea. Ia pun lekas memanggil pelayan untuk membawa pergi steak-nya meski belum habis.     

"Maaf, Andrea. Maafkan aku. Aku tidak tau kalau kau masih—"     

"Diem." Andrea angkat telapak tangan ke depan dengan maksud agar Giorge tidak melanjutkan ucapannya. Ia mendadak merasakan matanya memanas. "Gue udah ga selera lagi." Ia bangkit dari kursinya dan meninggalkan Giorge yang sibuk memanggil pelayan untuk membayar semua makanan yang belum selesai mereka santap.     

"Andrea, tunggu." Giorge mengejar wanita Cambion yang sudah nyaris mencapai parkiran.     

Tepp!     

Tangan Giorge meraih pergelangan tangan Andrea, namun Nyonya Cambion menepis keras.     

"Gue udah bilang jangan sentuh gue!"     

"Iya, iya, maaf, aku lupa. Andrea, jangan marah. Kumohon."     

Andrea tak menyahut. Ia berjalan ke arah pelataran depan, berusaha mendapatkan taksi. Namun, sialannya, tak juga ada taksi kosong yang berhenti untuknya. Apakah harus memakai bis untuk mencapai kantor?     

Giorge sudah berhenti di dekat Andrea berdiri dengan mobilnya. "Andrea, naiklah!" teriaknya.     

Andrea tak menggubris, tetap berusaha mencegat taksi.     

Pria Vampir itu mengalah, dan turun dari mobil. "Andrea, kumohon ayo naik mobilku."     

"Ogah!"     

"Andrea, kumohon. Aku janji takkan lagi membuatmu kesal atau apapun yang tak kau suka."     

Wanita itu menutup mata sembari hela nafas. Kesialan apalagi ini? Ingin memulai hidup baru tapi justru bertemu penyebab dia trauma. Setidaknya mengingatkan dia akan kejadian itu.     

"Andrea?"     

"Oke! Gue kasi kesempatan ke elu sekali ini aja, kalo lu rese lagi, gue beneran bakalan cuekin elu sampai gue matek!" Tanpa menunggu sahutan Giorge, ia pun masuk ke mobil sang pria.     

Tuan Vampir menghela nafas lega. Ia jadi tau Andrea masih trauma akan kejadian di perbukitan Cordova. Ia akan mengingat-ingat takkan makan steak rare di hadapan Andrea.     

"Maafkan aku, Andrea." Giorge menoleh ke Andrea di sisinya.     

"Udah, diem. Gue lagi gak mood ngomong." Andrea landaikan kursinya dan pejamkan mata. Dadanya terasa sesak mengingat penduduk yang ia kenal satu persatu mati menjadi Vampir, lalu harus dibunuh. Ia menangis dalam diam.     

Giorge tau. Ia pun mulai jalankan mobil. Ketika sampai di depan minimarket, ia minta ijin turun sebentar. Andrea tak ambil pusing. Ia tetap pejamkan mata, sibuk dengan pikirannya.     

Begitu pria itu kembali ke mobil, ia menyodorkan bungkusan ke Andrea.     

"Apaan, nih?" Andrea terpaksa buka mata, tatap bungkusan di depannya.     

"Burger ayam krispi dan roti melon."     

"Ogah."     

"Andrea, kau tadi belum sempat makan."     

"Gue kagak laper."     

Kriuukk~     

'Perut setan!' umpat batin Andrea ketika perutnya sungguh kurang ajar mementahkan ucapannya tadi.     

Giorge tidak tertawa geli, hanya senyum sambil terus sodorkan bungkusan berbau enak itu ke Andrea.     

"Tsk!" Andrea akhirnya merenggut bungkusan itu, memakan malu-malu. "Ini cuma biar gue gak sakit maag!" elaknya.     

"Iya, kesehatan memang harus dijaga baik-baik, bukan?" Giorge kembali jalankan mobil. Kali ini benar-benar menuju kantor mereka di Mori Tower.     

Pluk!     

Andrea lempar bungkusan bekas burger dan roti tadi ke tong sampah sebelum mereka masuk ke lift.     

Hanya hening selama lift merangkak naik ke lantai 37. Giorge tak berani mengusik Andrea, membiarkan hening menguasai.     

Pun ketika sampai di kantor, ia membiarkan Andrea berjalan lebih dulu meninggalkannya menuju ke kubikelnya.     

Giorge melangkah ke bagian lain untuk melaporkan ini dan itu pada Direktur serta ke bagian pengembangan.     

Sore jam bubar kantor, Andrea melenggang gontai ke arah parkiran tanpa berniat menoleh sedikitpun ketika melewati Giorge. Ia ingin secepatnya sampai di rumah.     

Ia memacu mobilnya menuju ke Town House-nya. Giorge hanya menatap kepergian Andrea.     

"Tadaima!" seru Andrea mengucapkan salam khas orang Jepang jika pulang begitu dia sudah masuk rumah. Ia lempar kunci ke keranjang kecil di ruang tamu. Memang di sanalah 'para kunci' berkumpul.     

"Okaeri, Ndre!" sahut Shelly dari dalam. Itu adalah jawaban atas salam dari Andrea tadi.     

"Mana jagoan gue?" Andrea lemparkan tas ke sofa.     

"Dia lagi mandi sama Ken—"     

Belum selesai Shelly berucap, tiba-tiba dari arah kamar mandi tamu sudah keluar Jovano, telanjang, masih basah akan busa sabun, tertawa-tawa dikejar Kenzo yang panik. "Jo, jangan lari! Awas, nanti terpeleset!" teriak Kenzo kuatir.     

Bocah itu malah makin lari ke arah Andrea. Namun, belum sampai ke ibunya, ia benar-benar terpeleset. Kenzo sudah menjerit panik.     

Dalam suasana darurat itu, Andrea gerakkan tangannya dan secepat kilat anaknya tertarik ke arahnya dan berhasil masuk ke pelukan Andrea sebelum Jovano menghantam lantai.     

"Aduduh~ anak Mama kok nakal, sih? Ini pasti niruin Papanya." Andrea peluk gemas anak yang terkekeh riang. "Nah, nah, baju keren Mama jadi basah, nih!"     

"Mama~ Mama~ mandi~"     

"Iya, iya, tau. Mama akan mandi setelah jagoan Mama ini kelar pake baju, oke?!"     

Jovano mengangguk, lalu patuh melanjutkan mandinya dengan Kenzo. Tentu saja Tuan Panglima tidak telanjang. Dia hanya memandikan saja.     

Andrea masuk ke kamarnya di lantai atas, rebahkan tubuh lelahnya, malas-malasan lepas sepatu high-heels yang menyiksa dia seharian. Dulu bila dia mengeluh soal sepatu tinggi itu ke Myren, kakaknya hanya mencibir, "Kalau kau ke Underworld takkan perlu pakai sepatu jelek begitu."     

Cambion itu pun terkekeh mengingat ledekan kakaknya. Ini memang sudah pilihannya. Dan semoga tepat, tidak seperti sebelumnya.     

Ia sungguh ingin menjalani hidup ala manusia biasa saja. Berada di antara banyak Iblis hanya akan membuat frustrasi karena ia pasti akan menginginkan kekuatannya kembali.     

Oh, sudahlah! Jangan disesali!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.