Devil's Fruit (21+)

Nu Life (Again)



Nu Life (Again)

0Fruit 423: Nu Life (Again)     

"Ndre, mau ikut belanja?" Shelly sudah bersiap pergi ke supermarket.     

"Gak, beb. Hari ini ada presentasi." Andrea mengemasi map kerjanya dan menyiapkan tas. Tidak lupa dia mengecek ulang barang bawaannya. Tas biasa dan sebuah tas file forlder.     

"Oh, ya udah, met sukses presentasinya, Ndre. Aku pergi ama Kenzodan Jovano, yah!" Shelly memeluk sahabatnya, dibalas penuh sayang oleh Andrea.     

"Iya, beb. Ati-ati di sana." Andrea lepaskan pelukan. Shelly tersenyum. Namun, itu justru menambah sesak dada Andrea. "Beb..."     

"Humm?" Shelly menyahut.     

"Maaf, yah..." lirih Andrea penuh dengan raut penyesalan.     

"Tsk, Ndre... udah berapa kali aku bilang, itu bukan salah kamu." Gadis manis itu menyentuh ringan lengan sang sahabat.     

"Tapi gue—"     

"Ssshh... aku nggak mau bahas itu terus, ah! Udah berlalu juga, kan. Toh, sejak itu Kenzo jadi makin sayang ama aku, hehe..."     

Andrea mencubit kecil pinggang Shelly hingga sahabatnya berjengit geli. "Iya, iyaa deh, yang lagi disayang-sayang, ampe saban malem kedengeran mulu," godanya dengan mata nakal.     

Shelly langsung memerah malu. "Ke-kedengeran? Beneran?" Mata si manis membola dengan pipi merona.     

"Ya, iyalah! Hahah! Tapi gakpapa, gue hepi kalo kamu hepi, beb." Andrea menepuk lembut lengan Shelly.     

Mereka pun berpelukan.     

"Oke, gue berangkat duluan deh, yah! Udah jam segini. Bisa diomel Bos ntar!" Andrea lepaskan pelukan sembari menoleh ke pergelangan tangan kiri, dimana ada jam Nebula emas murni berhias batuan rubi melingkar di sana.     

Sebenarnya Andrea risih pakai barang mahal dan mencolok seperti itu, namun itu hadiah dari Myren atas diterimanya Andrea di sebuah kantor properti.     

Langkah kakinya dipercepat ke garasi untuk mengeluarkan mobil Lexus LX 570 warna sonic titanium pemberian sang ayah atas keputusan pindah ke kota sesuai keinginan King Zardakh.     

Meski Tuan Raja ingin yang lebih mahal dan berkelas sebagai hadiah, tapi anaknya berkeras memilih yang jenis SUV. Andrea suka desain depannya yang seperti gagah perkasa.     

Lexus sudah meluncur keluar dari garasi Town House elit dua lantai yang juga pemberian King Zardakh.     

Walau Baginda Raja inginnya sang anak tinggal di kondominium, sayangnya Andrea menolak. Ia ingin jenis rumah tapak saja, dan perdebatan diakhri dengan pemilihan Town House.     

Jovano sudah dalam gendongan Shelly, siap ke supermarket bersama Kenzo memakai mobil mereka sendiri hasil dari tabungan dia selama ini, Nissan Terra warna brilliant silver.     

Andrea lebih suka Jovano ikut dengan Shelly dan Kenzo. Dia tak suka anaknya ditaruh di tempat penitipan anak bersama orang asing. Terlalu riskan, pikirnya. Ia masih khawatir jika anaknya menjadi target seperti sebelumnya.     

Pagi di jalanan Roppongi sama saja seperti kota metropolis lainnya. Padat. Namun Andrea sudah terbiasa.     

Tiga bulan ini dia sudah memulai hidup baru di negara Jepang. Dia memilih Roppongi sebagai tempat tinggal ketika ayahnya memilihkan Jepang sebagai destinasi.     

Setidaknya itu lebih baik daripada harus di salah satu kota metropolis di Amerika.     

Andrea masih trauma dengan Amerika.     

Dan kejadian tragis di pegunungan Amerika Utara itu tidak pernah diceritakan pada Dante. Andrea tak mau memberi beban pikiran pada suaminya. Pasti Dante akan kalut, cemas dan sengsara jika tau. Dipenjara saja sudah membuat seseorang frustrasi, apalagi jika ditambah harus mencemaskan keadaan orang tersayang.     

Gedung raksasa nan gagah Roppongi Hills Mori Tower yang berdiri arogan di tengah kota sudah terlihat setelah dia berkendara nyaris 30 menit. Setelah memarkirkan mobil di basement, ia segera masuk ke lift, memencet lantai 37, tempat kantornya berada.     

Di dalam lift, karena ia sendirian, ia pun memeriksa penampilannya. Pakaian kerja hadiah dari Myren membuat Andrea tampak berkelas.     

Sebulan lalu Myren memaksanya berbelanja di butik ternama di Shinjuku. Setelan blazer dan celana panjang serba hitam dengan pinggiran putih di kelepak jasnya dan berhias rantai emas untuk menautkan kedua sisi blazer. Dalamannya cukup sebuah kamisol tebal putih berleher V. Sepatu Prada pilihan Shelly menambah wibawa Andrea.     

Andrea masih saja memakai setelan celana untuk bekerja meski atasannya sudah berkali-kali meminta agar dia memakai setelan rok.     

Nyonya Cambion itu masih bandel, karena menurutnya lebih nyaman memakai celana panjang. Memangnya kenapa harus memakai rok? Agar semua orang bisa memandangi paha mulusnya?     

Ia sudah 2 bulan bekerja di kantor properti milik perusahaan Canada. Sebulan ini, Andrea sudah berhasil menjadi staff di bawah Manajer Pemasaran. Semua bisa dikatakan berkat senyum maut Andrea yang bisa 'menghipnotis' seseorang.     

"Oke, ayo kerja, kerja, kerja!" Andrea menepuk pipinya pelan setelah lift berdenting di angka 37. Begitu terbuka, ia terburu menuju ke ruangannya di divisi marketing.     

"Andrea-san, kau sudah bawa file yang kemarin aku berikan?" tanya Manajernya.     

"Sudah, Pak!" jawab Andrea mantap.     

"Bagus. Nanti kau ikut aku ke rapat bersama Pak Direktur. Kita presentasikan di sana," imbuh sang Manajer yang diiyakan Andrea.     

Satu jam kemudian, rapat dimulai di lantai 50, yang biasa digunakan untuk rapat bagi perusahaan yang berada di Mori Tower. Tempatnya luas.     

"Kita menunggu beberapa orang dari kantor pusat," ujar Direktur Utama.     

Semua saling berpandangan di kursi masing-masing. Ternyata mereka akan kedatangan tamu dari kantor pusat Canada. Ini agak jarang terjadi. Apalagi jika disebutkan 'beberapa orang'. Biasanya kantor pusat di Canada sana hanya perlu mengirimkan satu orang saja jika ingin mengadakan inspeksi atau hal penting lainnya.     

Ini sungguh di luar kebiasaan perusahaan itu. Ada apakah gerangan? Semua pegawai saling berbisik penasaran. Masing-masing memiliki pemikiran dan opini sendiri-sendiri.     

Andrea menggumam. "Wah, kedatangan orang-orang kantor pusat. Bule, nih! Mirip Dante, gak yak?" Dia malah melamunkan hal yang sangat berbeda dari rekan-rekan kerja di dekatnya. Untung saja dia menggumam menggunakan Bahasa Indonesia atau orang-orang di situ akan mengernyitkan kening akan ucapan Andrea.     

"Bicara apa, Andrea?" tanya Manajer Pemasaran yang ada di sebelahnya. Beliau orang asli Jepang, tentu saja tidak paham apa yang digumamkan Andrea.     

Di kantor itu lebih didominasi oleh pegawai Jepang asli. Hanya segelintir orang asing seperti Andrea yang diterima di sana. Standar mereka terlalu tinggi dalam menerima pekerja. Untung saja Andrea memakai cara 'halus' agar bisa diterima. Sedikit licik tapi toh akhirnya Andrea bisa membawa banyak keuntungan bagi kantornya, jadi... impas.     

"Oh, tidak, Pak. Hanya bertanya apa anak saya sudah minum jus pagi ini." Andrea asal jawab menggunakan bahasa Jepang. Untung saja tadi dia bergumam memakai bahasa ibu.     

Sepuluh menit kemudian, masuklah beberapa orang yang tinggi besar, khas bule. Dari kantor pusat.     

Andrea mengamati satu persatu orang dari kantor pusat. Ada yang berambut pirang, ada yang beambut merah, brewokan, ada yang—hei! Itu Vampir yang dulu!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.