Devil's Fruit (21+)

Dia Lagi



Dia Lagi

Fruit 424: Dia Lagi     

"HAH?!" Andrea refleks berdiri. Semua memandanginya, heran. Wanita itu pun tersenyum canggung.     

"Andrea, ada apa?" tanya Direktur Pemasaran.     

Cambion itu melirik ke Vampir yang juga sedang menatapnya. "A-anu, Sir, cuma... cuma kaget karena mereka tinggi-tinggi, hehe..." Hanya itu yang bisa ia sampaikan sebagai jawaban. Tak mungkin Andrea bilang bahwa salah satu bule dari Canada itu adalah Vampir. Siapa yang akan percaya? Ia pun kembali duduk dengan sikap canggung.     

'Anjreett! Ngapain tuh Vampir ke sini?!' batin Andrea keras-keras.     

Beberapa orang terkekeh geli. Dianggapnya Andrea baru kali ini bertemu bule tinggi besar. Andrea jadi terlihat norak di mata mereka.     

"Mereka ini," Direktur Utama berucap dalam awal rapat. "akan bekerja di sini bersama kita, karena Jepang dianggap memiliki prospek yang bagus dalam dunia properti."     

Semua manggut-manggut setuju. Hanya Andrea yang terus menunduk, sibuk dengan pikirannya. Sedangkan Tuan Vampir terus memandang dia dengan tatapan tajam.     

'Apa tuh Vampir kancut bakalan bikin huru-hara di sini kayak temen brengsek dia? Njriitt! Gawat lah kalo seisi gedung ini dia bantai! Gue bisa kehilangan kerjaan! Anak gue makan apa ntar?!' Batin Andrea malah sibuk sendiri, tak menyadari namanya dipanggil beberapa kali.     

"Miss Andrea. Miss Andrea?"     

Ia terkaget, dan meloncat bangkit dari duduknya. "Ya, Pak Direktur Utama?"     

"Ehem! Apakah kau sudah siap presentasi? Kalau pikiranmu tidak di sini, kau boleh tinggalkan ruangan ini." Gawat, Direktur sepertinya kesal karena Andrea melamun.     

Buru-buru Andrea berikan senyum mautnya pada Direktur Utama yang duduk di ujung depan. "Saya siap presentasi, Pak. Maaf kalau baru saja saya melamun."     

Direktur Utama pun tersihir dan mengangguk maklum. "Silahkan."     

Andrea maju ke podium dan dengan cekatan serta taktis mempresentasikan ide divisinya. Selesai presentasi, ia turun dari podium dengan gaya penuh percaya diri. Semua Direksi mengangguk-angguk. 'Semoga aja mereka demen presentasi gue,' batinnya.     

Ternyata memang disetujui dan Direktur Utama mengumumkan bahwa akan ada penambahan posisi.     

"Tuan Davis akan masuk ke Departemen Keuangan. Tuan Hank akan masuk ke Departemen Operasional. Nona Logan akan ke Departemen Pengembangan. Dan Tuan Giorge akan ke Departemen Pemasaran. Mereka semua akan jadi Manajer Senior."     

Pengumuman dari Direktur Utama bagai gelegar petir di kuping Andrea. 'Watde—' batin Andrea. 'Vampir kampret itu bakalan jadi atasan gue?!'     

Langkah Andrea terasa lunglai keluar dari ruang rapat untuk kembali ke lantai 37.     

"Miss Andrea," panggil Direktur Marketing. Andrea menoleh, urung masuk lift. "Mulai sekarang, kau bisa melapor ke Tuan Giorge terlebih dahulu sebelum ke aku. Bekerja-samalah dengan Beliau karena kau andalan Departemen kita."     

Andrea melongo. Itu artinya dia akan sering bertemu Tuan Vampir. Tapi ia lekas tersenyum diplomatis. 'Kalo gue andalan Departemen elu, napa gue kagak lu angkat jadi Manajer, pe'ak!' batinnya.     

Giorge tiba-tiba tertawa singkat. Andrea kaget. 'Kok dia ketawa? Apa kampret tu bisa tau pikiran gue?' Ia mendelik ke Giorge. Sedangkan Tuan Vampir pura-pura menatap inosen ke Andrea.     

'Ah, gue bisa gila kalo kelamaan ngurusin tuh kampret.' Andrea mendengus, masuk ke lift. Di luar dugaan, Tuan Vampir ikut masuk ke lift. Kini mereka berdua saja di dalam lift.     

Masih ada beberapa menit menuju ke lantai 37. Andrea mengulum gelisah bibirnya. Ini benar-benar di luar dugaannya, bertemu Vampir yang telah membuat dia trauma pada beberapa hal. Tapi dia tak tahan jika hanya diam saja.     

Andrea menghadap ke Giorge. Ia menatap tajam Vampir itu tanpa takut jika nanti bisa saja ia digigit. "Elu! Lu ngapain datang ke kantor gue?"     

Giorge menatap santai. "Karena aku bekerja di kantor pusat dan diharuskan atasanku untuk pindah kerja di Jepang?"     

Cambion itu memutar matanya. "Bitplis, gue gak percaya. Gue tau kalo bangsa elu itu terkenal licik penuh intrik. Lu sengaja ikuti gue?"     

"Apakah ini bentuk rasa percaya dirimu yang tinggi menjulang, Nyonya?" Rupanya Giorge masih ingat akan status Andrea.     

Ibu muda itu mendengus. "Apa motif elu ke sini? Mo bantai semua orang di kantor?"     

"Kenapa buruk sekali pikiranmu?"     

"Karena temen elu yang bajingan yang udah kotori otak gue tentang kalian."     

"Dia adalah dia. Aku adalah aku."     

"Jadi elu beda dari dia?"     

"Ya, tentu saja beda."     

"Lu lebih kejem ketimbang dia, gitu maksud lu?"     

Giorge terkekeh. "Kita lihat saja nanti mengenai asumsimu itu, Nyonya."     

Andrea gusar. Ia ingin berucap lagi, namun denting lift menginterupsi. Ia lekas tinggalkan Giorge menuju ke ruangannya, sebuah kubikel, lalu hempaskan pantat pada kursi putar kecilnya.     

Memijit keningnya, tak menyangka harus bertemu sosok yang sudah menorehkan ingatan tragis, meski itu ulah temannya, namun bagi Andrea sama saja.     

Melihat Giorge sama saja mengingatkan dia akan kejadian mengerikan di daerah Cordova, salah satu pegunungan di Amerika Utara.     

Karena tak tau harus bagaimana, Andrea pun memencet nomor di ponselnya. Menunggu sebentar sampai diangkat, lalu bicara, "Beb, masih di luar? Oh, udah nyampe rumah. Tumben cepet, hehe. Iya, nih lagi waktu luang abis rapat. Umm, iya, hu-um. Jovano mana?"     

Tiba-tiba di tepi mejanya sudah bersandar pria yang ia ingin jauhi. Andrea sampai jadi susah konsentrasi pada teleponnya. Sedangkan Giorge terlihat santai, melipat dua tangan di depan dada dengan pantat bersandar di tepi meja kubikel Andrea.     

"Halo, Jovano sayank anak Mama... lagi apa? Pasti abis seneng-seneng belanja ama Tante Shelly, yah? Aiihh~ lucunya manggil Mama, ahaha~ Mama sayank Jovano. Sun sayank untuk jagoan Mama." Meski diperhatikan Giorge, Andrea tak perduli, tetap berbincang dengan anaknya meski Jovano hanya menyahut dengan bahasa antah-berantah khas anak kecil.     

Usai menyudahi teleponnya, ia pun menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. Tatap tajam Giorge, "Mo apa ke sini?" Andrea tak sungkan-sungkan menggunakan bahasa gaul negaranya. Toh, Giorge paham. Mungkin benar rumor tentang Vampir adalah makhluk cerdas.     

"Menunggu Nyonya Cambion berbicara dengan anaknya, lalu sesudah itu mengajak Nyonya Cambion pergi ke salah satu klien," ucap Giorge masih di posisinya seperti tadi.     

"Kok gue?" erang Andrea.     

"Karena aku Bosmu," jawab Giorge santai.     

Andrea rasanya ingin meremukkan sesuatu. Baiklah, kertas sudah cukup sebagai pelampiasan diremas-remas lalu buang ke tempat sampah terdekat.     

"Semoga itu tadi bukan kertas untuk klien," celetuk Giorge.     

Andrea terkesiap. Ia melirik ke mejanya. Lalu panik. Lekas saja ia pungut lagi kertas tadi dan berusaha luruskan. Duh! Kenapa dia jadi ceroboh begitu? Kertas untuk diberikan ke klien, malah kumal akibat emosi.     

"Gara-gara elu!"     

"Aku?" Giorge angkat alisnya, berlagak tak berdosa. Ia ulurkan tangan kanan ke meja Andrea, tak sengaja menyentuh tangan Cambion yang sedang sibuk melurukan kertas kusutnya.     

Andrea lekas tarik tangannya. Ia tak bisa berkutik karena tubuh besar Giorge mengurungnya. Pria itu usapkan telapak tangannya ke kertas kusut tadi. Seketika kertas itu menjadi lurus kembali. Nyonya Cambion terpana sekejap, tak mau berlama-lama melongo.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.