Gencar
Gencar
=[[ Andrea POV ]]=
Oke, gue takjub liat dia dengan gampangnya bikin tu kertas kusut jadi klimis alus. Apa dia pake kekuatan Vampirnya? Itu kah ability dia? Whatever dah! Yang penting tu kertas bisa balik kayak semula, atau Pak Bos besar bisa ngamuk.
"Hah! Jadi lu bisa gituin kertas kusut?" Gue sok kalem biar dia kagak ge-er ngira gue takjub. Enak aja.
Dia malah senyum santai. "Ini spesialisasiku."
"Pfftt! Lu harusnya kerja di tempat laundry ato binatu. Mereka kan mayan bisa irit listrik untuk setrika. Pake tangan elu aja, kan praktis." Gue nyoba kasi sarkas alus.
Dia masih juga senyum kalem. "Bisa kupikirkan saranmu kalau aku sudah tidak berguna di perusahaan ini nantinya. Terima kasih."
"Sama-sama. Semoga itu cepat terjadi." Gue kedengeran cringey gak, sih? Ah, bomat! Toh dia juga bukan orang yang pantes disopanin.
"Kita pergi sekarang?" ajaknya. Eh, jadi beneran musti pergi ama dia ke klien? "Tentu saja, Nyonya. Kita harus ke klien sekarang juga sebelum jam makan siang mulai."
Kok dia bisa tau apa yang gue lagi pikirin di otak, sih?
Gue terpaksa bangun dari kursi en pungut tas serta map berisi file penting untuk klien. Kami beneran cuma berdua.
Ah, kampret! Mana Manajer gue juga ngangguk setuju dengan alasan biar gue ama si kampret bisa cepat akrab sebagai rekan kerja.
Sementara beberapa staff cewek mandang iri ke gue. Rasanya gue pengen teriak ke mereka, "Sono ambil nih bule! Ambil! Nyoh! Nyoh!" Biar kayak Bu Dandi yang ngetop di medsos. Halah!
Di mobil dia, Mercedes Benz Maybach S 560 yang harganya 6 milyar lebih, gue dilarang duduk di belakang.
Gila, cuma Manajer Senior aja tapi harga mobilnya dua kali lipat Lexus gue! Apa dia beli sendiri nih mobil? Auk ah! Ngapain gue pikirin, sih? Kurang kerjaan aja!
"Aku bukan supirmu, Nyonya." Gitu alasan dia. Terpaksa lagi gue ngelakuin apa yang gue gak mau. Pindah ke depan, duduk di sebelah dia.
Sepanjang perjalanan, kami cuma diem. Sama-sama kagak ada yang memulai omongan. Baguslah. Dikira gue demen ngobrol ama dia, pa?!
Kami sampai di tempat klien, ngebujuk klien biar mau beli beberapa rumah yang kami tawarin kemarin-kemarin.
Berkat senyum maut gue, lagi-lagi klien menyetujui pembelian beberapa cluster milik kami.
Inilah kenapa gue jadi kesayangan di divisi Marketing. Saban ada sesi ama klien, selalu aja gue yang disuruh maju biar gol.
"Setelah ini kita tinjau sebentar area yang akan dibangun. Tadi Tuan Tanaka berpesan padaku." Akhirnya si kampret ngomong juga.
"Kenapa gak staff divisi pengembangan aja sih yang ke sana?" protes gue. Iya, lah! Itu kan kerjaan Departemen Pengembangan.
"Apa salahnya membantu sedikit rekan kerja meski beda departemen, Nyonya?" Demikian alasan si kampret.
Gue cuma bisa hela nafas kasar, berusaha exhale-inhale biar kagak cepat keriput gegara emosi. Jangan ampe lah gue peot duluan sebelum Dante bebas ntar! No way!
Karena ogah tambah keki, gue pun mulai landaikan kursi gue biar gue bisa setengah rebah, lalu punggungi dia. "Bangunin gue kalo dah nyampe." Gue merem. Mayan lah kalo bisa molor walo bentar. Toh lokasi yang bakal kami tuju bisa dibilang rada jauh, nyaris luar kota, alias luar distrik—kalo bahasa di sini.
Rupanya si kampret pasrah aja ama kelakuan gue, ngebiarin gue molor beneran. Maklum, tadi subuh gue sibuk tenangin Jovano yang mendadak rewel minta gendong mulu. Jejangan anak gue tau kalo hari ini gue bakalan apes satu kantor ama kampret di sebelah gue ini.
=[[ Author POV ]]=
Giorge tidak mencegah Andrea tidur memunggunginya. Ia tetap menyetir, usai tersenyum simpul melihat kelakuan Andrea.
Baru kali ini dia bertemu perempuan yang bersikap berani padanya. Belum pernah ada satupun wanita dari dulu dia hidup bisa bersikap blak-blakan seperti Andrea.
Ia teringat bagaimana ketusnya Andrea pada para Tetua Vampir subuh itu, tak gentar secuilpun. Benar-benar perempuan pemberani.
Oleh karena itu, Giorge penasaran, ingin tau lebih banyak tentang Andrea.
Sayangnya, begitu dia kembali ke ranch milik Andrea, tempat itu sudah kosong melompong di sore harinya.
Giorge kecewa. Namun, ia tak mau patah semangat. Ia harus temukan Andrea, wanita aneh yang mengusik hatinya.
Akhirnya ia menemukan Andrea setelah bersusah payah mengikuti bau Andrea yang sudah samar di udara.
Ia menemukan Andrea di Jepang, tepatnya di Tokyo, lalu dia memutar otak bagaimana agar dia bisa masuk ke kehidupan Andrea. Ia pun mendapatkan ide setelah tau tempat kerja si Cambion.
Dengan sihir hipnotisnya, ia mudah saja masuk ke perusahaan pusat di Canada, dan membuat dirinya dipindah-tugaskan ke Jepang. Semua adalah rekayasa Giorge.
Terkadang dia bertanya-tanya apakah dia jatuh cinta pada wanita Cambion itu? Giorge belum memastikan mengenai itu. Saat ini, lebih ke rasa penasaran ingin mengenal seperti apa Andrea secara personal.
Pertemuan pertama mereka di hutan sungguh memberi kesan tersendiri pada Giorge.
Ketika mobil sudah sampai di tujuan, ia tak langsung membangunkan Andrea. Ia tersenyum mendengar suara dengkuran halus sang Cambion ketika tubuh itu sudah menghadap ke depan, bukan miring lagi. Itu Andrea sendiri yang mengubah posisinya, bukan Giorge.
Pria itu menatap Andrea sejenak, kemudian ia lepas jasnya untuk dijadikan selimut darurat bagi Andrea. Mobil masih dia hidupkan karena udara siang ini terasa gerah. AC mobil masih dinyalakan sambil jendela dibuka sedikit.
Giorge keluar dari mobil dan mengambil keputusan ke lokasi sendirian saja, tak perlu mengajak Andrea yang lelap tertidur.
Hampir satu jam Giorge meninjau lokasi, mencatat beberapa hal penting untuk diberikan ke Divisi Pengembangan nantinya. Kemudian ia kembali ke mobil. Ternyata Andea sudah terbangun, sudah duduk tegak beserta kursinya.
"Kok elu kagak bangunin gue?" Wanita itu bertanya sambil lemparkan jas Giorge ke bangku belakang.
"Terima kasih sudah taruh di sana, aku jadi tak repot," ujar Giorge sembari senyum, bersiap menyalakan mobil. "Tadi kau asik sekali tidur sampai mendengkur. Aku tak tega membangunkan."
"Hoax lu! Gue gak pernah mendengkur, keleus!"
"Mendengkur, kok."
"Kagak!"
"Ya, sudah. Lain kali aku akan rekam dengkuran merdumu itu, Nyonya." Giorge senyum geli sambil putar setir ke arah jalan raya, keluar dari lokasi.
"Bah! Awas aja kalo lo berani rekam gue tidur."
"Aku akan kau apakan kalau merekam?"
"Bakalan gue tusuk jantung lo ampe lo matek!"
Giorge mendengus geli. Ia tak menanggapi lagi keketusan Andrea, dan memilih fokus menyetir kembali ke kantor.
Diam saja dari tadi dalam perjalanan panjang, ternyata tak nyaman juga. Andrea bosan lihat keluar jendela. "Lu, beneran kerja di Canada, gak sih?"
Giorge menoleh ke Andrea. "Wah, rupanya kau penasaran padaku? Sungguh kehormatan bagiku bila dari tadi kau memikirkan aku, Nyonya."
"Cih! Najisin banget mikirin elu, kampret!"
"Kampret?" Giorge menoleh ke Andrea yang buang muka.
Andrea kembali tatap Tuan Vampir. "Iya, elu itu sama aja kayak kampret. Vampir kan identik ama kelalawar, kan? Nah kelelawar itu kampret di tempat asal gue."
Giorge terkekeh. "Oh, ternyata begitu. Baiklah, aku suka panggilan sayang darimu, Nyonya."
"Kagak panggilan sayang, tolol!" Andrea saking kesalnya sampai tak pakai adab sopan-santun. Padahal Giorge adalah atasannya.
"Hahaha. Tak masalah, kan apabila aku anggap demikian?"
"Karepmu!" teriak Andrea frustrasi. 'Nih kampret napa bisa aja sih bikin gue darah tinggi gini? Setan bener!'.
Rupanya Giorge tidak langsung arahkan mobil ke kantor, tapi justru membelok ke sebuah restoran. "Kita makan siang dulu, yah!"
"Ogah!" tegas Andrea.
"Ayolah, aku sudah sangat lapar," bujuk pria Vampir itu. Ia sudah mulai memarkirkan mobil.
"Ogah! Balik ke kantor, buruan!" ketus Andrea.
"Aku lapar, Nyonya Andrea."
"Ya terus? Lo bakalan isep darah orang-orang en gue nontonin, gitu? Ato elo malah kepingin isep darah gue?"
Giorge malah terkikik geli. "Aku masih bisa makan normal layaknya manusia, kok. Tapi kalau ditawari hisap darahmu, aku lebih memilih hisap bagian lain dirimu saja."
Andrea tegakkan tubuh. "Maksud lu?"
"Misalkan... hisap bibirmu?"