Devil's Fruit (21+)

Merindukan Dua Bocah (21+)



Merindukan Dua Bocah (21+)

0Fruit 518: Merindukan Dua Bocah (21+)     

Ucapan nakal dari Andrea bagai sebuah setimulasi birahi bagi Dante. Sangat jarang sang istri bisa memburaikan kalimat sevulgar itu.      

Maka, tak perlu menunggu Andrea meminta dua kali, Dante sudah memposisikan dirinya menindih Andrea yang masih rebah di atas permukaan air kolam dan menyatukan tubuh mereka.      

"Aaanghh…"     

"Errmmghh…"     

Keduanya secara bersamaan menyuarakan hasrat mereka begitu milik mereka saling bertaut dalam-dalam. Kemudian, Dante mulai bergerak agresif menghentak-hentakkan pinggulnya sehingga penis perkasanya terus menghujam vagina Andrea tanpa ragu.      

Engah napas Andrea kian lama menjadi kian pendek ketika hentakan penis suami pertamanya makin cepat dan menggila mengaduk-aduk liang vaginanya.      

Dante tidak ingin bermain lama kali ini, maka dia tidak perlu menahan limitnya dan membebaskan begitu saja benih cairnya nan hangat memenuhi lorong rahim istrinya.      

Setelah Dante memberikan penyerahan seutuhnya ke sang istri, ganti Andrea yang menyerahkan cairannya membilas penis Dante di dalam sana.      

Mereka masih mengulangi kegiatan menyenangkan itu hingga tiga kali sebelum akhirnya Dante membopong tubuh lemas istrinya keluar dari kolam dan membawa ke kamar mandi untuk bilas.      

Apakah hanya begitu saja?      

Tidak.      

Dante kembali terangsang dan kembali menggauli Andrea ketika mereka sudah mencapai tempat tidur. Andrea tidak bisa apa-apa selain pasrah menerima segala cinta kasih Dante malam itu.      

Awalnya, Dante hanya mendambakan Andrea orgasme saja melalui stimulasi pada klitoris yang dimanja lidah Dante, dan juga kocokan jari Dante pada liang vagina sang Cambion.      

Namun, usai Andrea menyerah pada orgasme berikutnya, Dante tak bisa membohongi dirinya bahwa dia menginginkan penyatuan sebenarnya sekali lagi.      

Maka, hanya dengan posisi menindih biasa, Dante memompakan penisnya kuat-kuat ke lubang sempit Andrea dengan sang Cambion diam pasrah tanpa tenaga lagi dan hanya mampu mengerang serta mendesahkan rasa nikmat tiada tara yang dia terima dari sang suami pertama.      

Setelah itu, Andrea bisa bernapas lega karena Dante memperbolehkan dia untuk pejamkan mata dan tergeletak tidur dalam pelukan posesif sang suami hingga menjelang siang.      

Ketika bangun, Andrea merasakan badannya serasa remuk. Sudah sejak kapan dia benar-benar menggila dalam bercinta begini? Terakhir kali bercinta dengan Giorge tidak seberingas ini dari siang hingga dini hari.      

Terlebih lagi Ivy sering meminta tidur bersama sang ayah dan terbangun di tengah malam jika mendapati ayahnya tidak berada di sebelahnya. Putri bungsunya itu benar-benar memiliki ketergantungan mendalam pada Tuan Vampir.      

Mengingat itu, Andrea mulai rindu pada anak-anaknya di Jepang. Tapi, dia tak mungkin minta pulang saat ini. Seminggu pun belum berlalu! Maka, menahan rasa rindunya pada kedua anaknya, ia hanya bisa melakukan video call dengan mereka.      

"Mommy, apakah kau sudah mandi? Pasti kau baru bangun. Ini sudah jam berapa di sana?" tanya Jovano begitu Andrea berhasil menghubungi sang putra sulung.     

"Di sini… jam sebelas siang. Di sana jam berapa?" tanya Andrea sambil melirik ke jam dinding di dekatnya.      

"Jepang jam tiga sore, Mom. Sepertinya waktu Jepang lebih cepat empat jam ketimbang di sana," ungkap Jovano. "Oh, untung saja ini weekend, Mom, jadi kau bisa bertemu denganku, tapi sebentar lagi aku akan pergi."      

"Ke mana, Jo? Jangan kelayapan sembarangan! Minta antar Poppa atau Om Ken." Andrea mulai was-was. Bagaimanapun, anaknya masih berumur sepuluh tahun meski cara bicaranya sudah macam orang tua. Terlebih lagi, Jovano sudah pernah menjadi target para tetua Antediluvian untuk dimusnahkan.      

Andrea masih merasa sedikit takut akan hal itu meski sudah diyakinkan banyak kerabatnya bahwa tak akan ada bahaya lagi bagi Jovano.      

"Mom, please… jangan mengekang aku seperti aku ini bocah kecil."     

"Tapi elu kan emang masih bocah kecil, astaga Jo!" jerit Andrea mulai kesal. Kenapa sih saban bicara dengan putra sulungnya selalu saja dia dibuat sebal dan susah menahan emosi?     

"Halo, jagoan Daddy…" Tiba-tiba saja, Dante sudah berada di belakang Andrea dan melambai pada Jovano di layar laptop milik Andrea.      

"Hai, Dad," balas Jovano. "Dad, tolong beri edukasi pada Mommy agar dia tidak selalu mengekang aku jika aku ingin berkegiatan positif."      

Dante terkekeh melihat istrinya yang mulai kesal pada sang anak sulung. "Memangnya kali ini kau akan berkegiatan positif apa, Nak?" tanya sang ayah.      

"Aku hanya ingin pergi berlatih Kenjutsu di Dojo milik temanku, Dad." Jovano menyahut enteng.      

"Kenjutsu? Apa itu, Jo?" Dante bertanya santai.      

"Itu hanya salah satu olahraga pedang tradisional lainnya yang berasal dari Jepang. Kenjutsu atau kenshi itu gerakan yang menggunakan teknik pedang sebenarnya untuk pertempuran, Dad, dan tidak seperti Kendo yang sebagai disiplin meditasi atau jalan pedang," papar Jovano.      

"Jadi… itu tentang cara menggunakan pedang, begitu Jo?" tanya sang ayah lagi.      

Jovano mengangguk di layar. "Aku ingin jadi petarung pedang hebat seperti Daddy."      

Seketika hati Dante merasa hangat mendengar ucapan sang putra. Ia tersenyum haru menatap wajah anaknya di layar laptop. Kemudian mengangguk-angguk. "Daddy tentu saja merestui kegiatan kamu yang begitu, sayank. Teruskan. Nanti Daddy akan edukasi Mommy kamu, ha ha ha."      

Andrea yang duduk di sebelah Dante menampakkan ekspresi cemberut dan mencubit lengan suaminya. Dante menjerit kecil dan mengecup pipi sang istri sebagai balasan.      

"Euuww… kalian… get a room!" seru Jovano mengomentari kelakuan dua orang tuanya. "Ehh, itu Ivy!" Jovano berseru seraya menoleh ke samping. Kemudian dia bangkit dari kursinya dan tak lama kemudian menggiring sang adik untuk duduk bersamanya di depan laptop.      

"Ivy! Boneka kesayangan Mommy!" seru Andrea penuh rindu. Meski ia merasa Ivy lebih dekat dengan Giorge, namun tetap saja dia menyayangi sang putri. Bagaimana pun juga, dia sudah membawa Ivy di perutnya selama hampir dua tahun lamanya, maka perasaan seorang ibu tidak luntur darinya.      

"Momma…" Ivy tersenyum kecil sembari melambai kaku ke ibunya.      

"Apakah Ivy baik-baik aja di sana, sayank?" tanya Andrea sambil senyum penuh rindu. Setidaknya, Ivy tidak semenyebalkan seperti Jovano.      

Ivy mengangguk kecil dan wajahnya masih saja sedatar biasanya. Walaupun respon sang putri datar, tetap saja Andrea gemas melihat wajah boneka Ivy.      

"Halo Ivy sayank…" sapa Dante ke Ivy. "Ivy sudah makan?" Meskipun Ivy bukan anak dari benihnya, Dante ingin belajar menyayangi Ivy seperti putri kandungnya sendiri.      

Ivy mengangguk pelan tanpa berkata apapun.      

"Ehh, ada Rea!" Tiba-tiba muncul wajah Tuan Vampir di layar laptop milik Jovano, lalu duduk sambil memeluk sang putri. Jovano beringsut menjauh dengan alasan akan menyiapkan pakaian untuk latihan Kenjutsu nanti.     

"Hai, Gio." Andrea canggung membalas sapaan Giorge.      

"Halo, Dante." Giorge tersenyum ke Dante yang memeluk Andrea.      

"Halo juga, Gio." Dante membalas senyum Giorge. "Tolong jaga Jovano di sana, yah Gio."      

Giorge melebarkan senyumannya. "Ohh, kau tak perlu khawatir, Dante. Dari dulu aku selalu menjaga Jo. Kami sudah seperti best friend."      

"Baiklah, terima kasih." Dante lega.      

Suasana mendadak canggung.      

"A-aahh, aku akan mengantar Jo sebentar lagi." Giorge memberikan alasan.      

"Oke, jaga diri kalian di sana."     

"Kalian juga, yah!"      

Video call melalui Skype pun disudahi.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.