Devil's Fruit (21+)

Ivy



Ivy

0Fruit 506: Ivy     

Andrea mendelik kesal. Entah bagian yang mana dia merasa kesal. Dia kalah cantik dengan ibunya kah? Atau yang mana? "Gombal."     

King Zardakh tak mempedulikan sungutan kesal anaknya dan mengambil sang bayi untuk dia gendong. "Rasa memiliki cucu itu memang luar biasa. Ayo, buatkan aku cucu yang banyak!" Ia menatap ke Andrea dan Myren.     

Kedua wanita itu memutar bola mata secara kompak.     

"Sono hamil aja sendiri!" ketus Andrea.     

"Dikira kami ini hewan ternak yang bebas kau suruh beranak terus-menerus, hah?" Yang ini ketusan dari Myren.     

"Emangnya kita kayak ente, Beh! Tukang bikin anak melulu! Dih!" Andrea masih belum puas.     

"Dikira melahirkan itu tidak sakit? Dikira hamil itu tidak melelahkan?" Myren masih menambahkan.     

"Ayayaaa..." King Zardakh mengeluh. "Aku diserang anak-anakku! Coba lihat ini, Djanh! Revka! Giorge! Mereka berdua sungguh kejam padaku!" Wajah King Zardakh dibuat seolah-olah dia sungguh menderita karena menerima bully dri kedua putrinya.      

Yang diseru hanya terkikik geli. Memang sudah nasib King Zardakh untuk selalu ditindas kedua putrinya ini. King Zardakh ini seakan-akan menjelma menjadi masokis jika sudah di hadapan duo putri yang ini.      

Padahal dia sangat ditakuti keluarga besar dan para rakyatnya.      

"Giorge, Menantuku... Kau harus bantu agar keinginan aku tercapai, oke?" King Zardakh mengedipkan satu mata ke menantunya.     

Andrea melotot ke sang suami yang terbahak.      

-0-0-0-0-0-     

Kebahagiaan terasa memenuhi kehidupan Andrea. Dengan kehadiran bayi cantik Andrea, suasana rumah makin semarak.     

Sehari setelah keluar dari rumah sakit, Andrea dan semuanya pulang kembali ke Roppongi.     

Giorge berkali-kali melirik penuh cinta ke Andrea yang asik mendekap bayinya di jok depan sambil Andrea terus mengajak bicara sang bayi.     

Jovano sesekali akan maju ke depan untuk mengelus adiknya. "She's so pretty!" Jovano berkata jujur. "Dan juga sangat imut! Aku menyukainya." Senyum kecilnya menyertai ketika dia memandangi adiknya penuh sayang.     

"Tentu aja kamu musti suka adek kamu, Jo! Ntar kamu juga musti jagain adekmu, yah! Kamu harus sayang dia juga." Andrea menasehati anak sulung dia. Nyonya Cambion hanya tak mau putra sulungnya memandang adiknya secara asing hanya karena berasal dari ayah yang berbeda.      

"I know it, Mom. I know. Mommy tak perlu mengingatkan hal begitu padaku, gosh!" Jovano putar matanya. Padahal dia dan ibunya bisa saling terhubung melalui pikiran, tapi Andrea masih sempat-sempatnya memberikan nasehat demikian.      

Andrea mencubit gemas pipi sang anak sulung. "Sok tau."     

"Aku kan sudah besar! Aku ini pria dewasa, Mom!" kilah Jovano sambil mengusap jengkel pipinya yang kena cubit.     

Giorge terkekeh menyaksikan polah tingkah keduanya.     

Perjalanan ke mansion pun lancar meski harus lebih lama dari semestinya. Itu karena musim salju dan Giorge juga membawa mobil dalam kecepatan rendah. Toh mereka tidak sedang terburu-buru. Tuan vampir ingin keluarga kecilnya yang berharga ini tidak kenapa-kenapa selama perjalanan.      

"Gio, lu udah kasi tau Mami dan Papi?" Andrea menyebutkan kedua orang tua Giorge. Sebenarnya dia sudah dari kemarin ingin bertanya ini dan baru sekarang mengingatnya.      

"Sudah. Dan mereka minta maaf karena tak bisa datang. Tapi mereka titip salam cium untuk anak kita." Giorge menjawab. Ada nada kecewa di sana secara samar.     

Giorge kemarin sudah menghubungi orang tua dia melalui telepon selulernya. Namun jawaban sang ayah agak mengecewakan. Tuan Olivo mengatakan dia tak bisa datang mengunjungi cucu mereka karena tekanan dari para Tetua vampir.     

Semua Tetua akan menjadikan Olivo pengkhianat jika Olivo dan Karin, istrinya, berani menjenguk sang cucu.     

Para Tetua vampir sudah mengetahui tentang kekuatan menakutkan milik Jovano, makanya mereka terpaksa tidak melakukan pergerakan apapun.     

Namun, salah satu Tetua membujuk Olivo ataupun Karin untuk bertandang ke Andrea untuk membunuh bayinya. Mereka memperbolehkan kedua orang tua Giorge mengunjungi Andrea asalkan untuk membunuh sang bayi.     

Sudah pasti Olivo dan Karin menolaknya. Mana mungkin mereka mau menerima misi segila itu?! Akhirnya, keduanya memutuskan untuk tidak mengunjungi cucunya.     

Semua itu dilema bagi mereka. Karena jika mereka setuju datang ke Andrea, mereka takkan diberi kesempatan untuk membangkang. Mereka pasti akan diberikan ramuan khusus agar mereka mematuhi perintah para Tetua tanpa bisa melawan.     

Oleh karena itu, mereka lebih memilih menahan diri dan tidak mendatangi cucu mereka.     

Giorge yang mendengar itu hanya bisa menggeram marah. Sebuah dendam terbentuk untuk para Tetua vampir. Sungguh keterlaluan hingga tak mau melepaskan bayi mungil tak berdosa itu.     

Dalam hati Giorge ia berikrar, jika kekuatan dia bisa lebih besar dari saat ini, ia akan mengobrak-abrik para Tetua vampir dan melenyapkan mereka semua dari muka dunia.     

"Ngelamun apa, Gio?" Andrea menyadarkan suaminya yang tampak termangu tanpa suara sejak tadi.     

"Oh, eh, tidak melamun apa-apa, Rea. Hanya..." Giorge tak mungkin tega memberitahukan alasan sesungguhnya kenapa kedua orang tuanya tak bisa datang.     

"Hanya apa?" Andrea masih menatap sayang ke bayinya yang sedang menggenggam erat kelingking sang ibu.     

"Hanya bertanya-tanya soal nama anak kita. Apa kamu sudah punya pilihan, Rea?" Giorge cepat mengalihkan pembicaraan.     

"Ivy. Entah kenapa, gue kepingin namanya Ivy. Gimana menurut elu, Gio?" Andrea menoleh ke suaminya.     

"Ivy..." ulang Giorge. "Bagus. Nama yang cantik, seperti anak kita. Baiklah, namanya Ivy. Lengkapnya?"     

"Gue serahin aja soal nama lengkap dia ke elu, yak! Pokoknya panggilannya Ivy." Andrea kembali menatap anaknya dan mencoba berkomunikasi dengan sang anak yang balas menatap dia. "Princess Ivy... Aiihh~ keren bener namanya, ya kan? Kamu setuju, kan Jo?"     

"Ivy? Yeah." Jovano mengangguk setuju. "But Princess Ivy? No." Nada Jovano terdengar tegas.     

"Kenapa?" Andrea protes. Anak sulungnya ini kadang berbicara diluar kewajaran pikiran manusia pada umumnya.     

"Yah karena ini kan bukan dunia kingdom. Kita bukan anggota kerajaan, kan?" sindir Jovano.     

Andrea terdiam. Ia teringat bagaimana dia dulu benci dipanggil Princess oleh Kenzo ketika pertama kali dia mengetahui jati dirinya.     

"Oke, oke. No princess. Fine?" Andrea mengalah. Dia benar-benar kalah jika berdebat dengan sulungnya.     

"Good." Jovano pun kembali menekuni layar ponselnya. Padahal Jovano membaca pikiran Andrea. Ia tau betapa Andrea benci dipanggil Princess dulunya. Itulah kenapa dia seakan mengingatkan Andrea secara tidak langsung dan menyadarkan ibunya.     

Terkadang, orang tua harus diingatkan oleh anaknya sendiri. Hanya yang bijak yang mau memahami.     

Orang tua bukan yang maha benar. Mereka masih seorang manusia, bukan pencipta alam semesta yang maha benar, maka... Tak bijak jika menganggap dirinya pasti benar di hadapan anak.     

Jikalau memang salah, maka akui kesalahan. Jika keliru, akui. Meski anak sendiri yang menunjukkannya.     

Hanya yang bijaksana yang mampu mengakui kesalahannya sendiri.     

Menyalahkan orang lain itu sangat mudah, semudah menatap telapak tangan. Namun, mengakui kesalahan diri sendiri itu sesulit naik ke Surga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.