Devil's Fruit (21+)

Keadaan Vila Keyaki



Keadaan Vila Keyaki

0Fruit 498: Keadaan Vila Keyaki     

Dari dalam Vila, keluar dua orang pelayan berseragam khusus, menyambut kedatangan Andrea. Cambion itu bertanya-tanya, apakah pelayan di sini Iblis seperti di Beach House sebelumnya?     

"Selamat datang, Nyonya Andrea, Tuan Giorge, Tuan Muda Jovano." Mereka menyapa penuh hormat pada Andrea dan keluarganya dan tak ketinggalan pula sikap Ojigi, yaitu membungkukkan badan hingga nyaris 90 derajat sebagai tanda penghormatan pada tamu atau seseorang yang lebih tinggi statusnya.     

Andrea menjawab singkat dengan anggukan kepala. Sementara pelayan lain keluar untuk membawakan koper-koper dari bagasi mobil Giorge untuk dimasukkan ke dalam Vila.     

Dua pelayan itu tetap berdiri tegak dan kemudian memalingkan wajah ke arah Kenzo dan Shelly yang baru saja menghampiri. "Selamat datang, Tuan Kenzo, Nyonya Shelly, dan Tuan Muda Gavin." Kembali mereka melakukan sikap Ojigi  sebagai bentuk penghormatan khas ala Jepang.     

Shelly membalas dengan ber-Ojigi pula meski tidak sampai 90 derajat.     

Gavin dan Jovano sudah lari masuk ke dalam Vila dan meluncur mencari kamar mereka. Kedua bocah itu sepertinya sangat bersemangat untuk menentukan terlebih dahulu mana kamar yang mereka inginkan.      

"Ini kamar untuk Tuan Muda sekalian." Pelayan membukakan pintu sebuah kamar yang memiliki 2 ranjang cukup besar.      

"Woaahh! Ini kamar untuk kami?" Mata besar Jovano menatap takjub situasi kamarnya bersama Gavin. Sebuah kamar yang cukup luas dan terlihat sangat nyaman untuk anak kecil.     

"Benar, Tuan Muda. Silahkan." Pelayan pun membungkukkan badan membiarkan Jovano dan Gavin melewati dia untuk memasuki kamar tersebut. Tak lama terdengar jeritan khas anak-anak yang riang berceloteh di kamar.     

Sementara Andrea menautkan tangan di lengan kekar Giorge, memasuki Vila.     

Vila ini benar-benar 'menipu'. Bagian luar tampak biasa saja, tapi begitu masuk, aroma Eropa kelas tinggi langsung terasa. Apalagi hamparan karpet-karpet dari kulit beruang salju menambah cantik kekontrasan dengan lantai kayu bermutu dari Vila tersebut.     

Tak heran jika dibandrol dengan harga yang luar biasa. Tempat ini sungguh menyenangkan mata dan nyaman ditempati. King Zardakh rupanya pandai memilih hunian untuk berlibur, di manapun.      

"Mari saya antar Tuan dan Nyonya ke kamar kalian di lantai atas." Pelayan itu melangkah hormat ke depan Andrea dan membimbing mereka ke lantai dua.     

Sepertinya lantai atas memang dikhususkan untuk ruang tidur dan kegiatan khusus lainnya. Dan ruang bawah atau lantai utama hanya berisi ruangan-ruangan umum seperti ruang tamu, ruang keluarga, ruang bersantai, ruang makan, dapur, dan juga taman.     

Di bagian belakang, terdapat onsen outdoor bersama yang bisa digunakan beramai-ramai, meski di masing-masing kamar pun ada onsen indoor beserta Jacuzzi di kamar mandi ruang tidur utama.       

Andrea asik memandangi sekeliling. Benar-benar pantas dengan harganya. Tempat ini juga katanya ada ruang untuk mengadakan pesta kecil. Wah.      

Tak heran King Zardakh antusias membeli Vila ini begitu selesai dibangun oleh pihak Pavillion sebagai pengembangnya.     

Dengan sekeliling hampir semuanya kaca, sungguh memanjakan mata bisa leluasa memandangi panorama luar yang serba putih saat ini. Sangat eksotis.     

"Silahkan..." Pelayan membukakan pintu sebuah kamar besar. Tempat luas pun segera terpampang dengan lantai kayu berhias karpet bulu beruang salju, dengan sebuah ranjang berukuran besar yang terlihat sangat nyaman.      

Ada perapian batu bara di dekat tempat tidur, sedangkan ranjang besar itu menghadap ke bidang putih hamparan salju dengan Gunung Yotei di kejauhan. Sangat indah menyegarkan pandangan.     

Andrea takjub meski tetap menjaga sikap setenang mungkin. Dia yang dulunya semenjak kecil hidup susah, kini bisa merasakan namanya kenikmatan hidup di puncak kejayaan.     

Andai Opa dan Oma ada di sini... Andrea berbisik dalam hati. Matanya memanas, namun ia berusaha menahan agar tak ada lelehan jatuh ke pipi.     

Ia belum melupakan tragedi kematian Opa dan Oma yang terlalu kejam. Kepala mereka dipenggal sesudah disiksa terlebih dahulu oleh Ruenn. Membayangkan penderitaan Opa dan Oma menjelang kematiannya, akhirnya Andrea tak kuasa menahan air mata.     

Ia berjalan ke arah kamar mandi di sana dan menguncinya dengan alasan ingin buang air.      

Di depan cermin, ia tumpahkan tangisan lirih. Tangannya meremas erat hingga kukunya menghujam telapaknya.     

"Oma... Opa... Ndrea gak guna banget gak bisa selamatkan kalian, hiks! Kalian udah berjuang untuk Andrea dari kecil. Rela hidup susah demi Ndrea... tapi ketika Ndrea udah idup seneng, kalian udah gak ada... Hiks!"     

Andrea menunduk masih mengepalkan tangannya kuat-kuat. Hatinya bagai tersayat. Terbayang Oma yang lembut, selalu berusaha menyenangkan Andrea dengan memasak makanan yang Andrea suka. Bahkan wajah lelah Oma saat mengerjakan pesanan jahitan demi menghidupi cucunya pun masih lekat di memori Andrea.     

Oma yang tak pernah memarahi Andrea, selalu memaklumi sikap unik cucunya, bahkan saat mengetahui Andrea hamil pun, Oma masih tegar menerima dan bahkan menguatkan Andrea agar tidak menggugurkan kandungannya.     

Begitu pula Opa. Meski kadang Opa terlihat keras dan senang berdebat dengan Andrea, ia tau persis bahwa Opa tak pernah lupa menyayangi Andrea dengan cara Beliau sendiri. Opa rela bekerja menjadi buruh kasar di manapun demi bisa membesarkan Andrea, demi Andrea bisa sekolah.     

"Ruenn... Sampai kapanpun kagak akan pernah ilang sakit ini dari hati gue. Andai gue bisa bangkitkan elu, gue bakalan bunuh elu berkali-kali, terus-menerus! Bakal gue balas perlakuan keji elu ke Oma ama Opa!" geram Andrea sambil tatap tajam bayangannya sendiri di cermin besar di depannya.     

Tok! Tok!     

"Rea?" Terdengar suara Giorge dari luar. Andrea lekas usap air mata yang deras berlelehan di pipi menggunakan tisu di dekat dia.     

"Ya, bentar." Andrea meraih tombol di dekat toilet alias jamban modern. Bunyi air flush langsung terdengar seakan Andrea baru saja buang air, padahal tidak.     

Setelah memastikan matanya kering tanpa air mata, ia pun membuka pintu kamar mandi. Senyum ia paksakan muncul di wajah.     

Namun, ternyata suaminya curiga. "Kamu habis menangis?"     

"Eh? Enggak, kok," elak Andrea.     

Giorge segera meraih wajah istrinya, menangkup menggunakan kedua telapak tangan besarnya. "Kamu nggak bisa bohong, Rea. Ada jejak air mata. Juga... Mata kamu memerah begitu."     

"Susah disembunyiin, yah? Hehe..." Andrea berlagak meringis santai.     

"Kenapa? Ada apa? Mau cerita?" Giorge menatap lembut mata istrinya.     

"Gue cuma... Cuma... Inget... Oma ama Opa..." Andrea palingkan pandangan ke lantai kayu, seolah lantai itu lebih menarik dari apapun.     

Giorge pernah mendengar tentang Oma dan Opa Andrea. Ia rengkuh lembut tubuh istrinya ke dalam pelukan hangat. "It's okay. It's okay. Mereka pasti tersenyum dari Surga. Mereka sudah bahagia di sana melihat kamu di sini."     

Andrea kembali tumpahkan tangisnya tanpa bisa ditahan lagi di pelukan Giorge. Ia remas kemeja Giorge sambil memeluk pria besar tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.