Devil's Fruit (21+)

Kisah Tentang Nivria (1)



Kisah Tentang Nivria (1)

0Fruit 407: Kisah Tentang Nivria (1)     

Jika kau mengharap cahaya, meski hanya seberkas kecil, maka gapailah dan temukan meski nafasmu membusuk di antara harumnya fana.     

.*.*.*.*.*..*.*.*.*.*..*.*.*.*.*..*.*.*.*.*.     

"Hah! Hah! Hah!" Nafas sengal dari gadis yang berlarian tampak nyata membentuk uap udara dikarenakan dinginnya udara desa di kaki gunung ini.     

Gadis itu tak perdulikan rambut panjangnya kusut, pun ketika lengan dan kakinya tercakar duri ketika melewati apapun. Ia hanya ingin berlari saja mencapai tempat teraman. Rumah.     

Begitu tiba di rumah yang ia dambakan, ia lekas tutup pintu dan naik ke lantai atas, ke kamarnya.     

Sang ibu terpana menyaksikan anak gadisnya lari memburu kamar bagaikan kilat. Beliau menyusul ke atas. Mengetuk pintu itu perlahan, berharap tidak dikunci.     

Ternyata tidak.     

"Nak, ada apa? Kenapa lari seperti tadi?" tanya Ibu keheranan.     

Sedangkan putrinya masih mengatur nafas di sudut ranjang sembari memeluk lutut. Wajahnya terlihat pucat bagai melihat hantu. Tapi, benarkah bertemu hantu bisa mengakibatkan pucat?     

Gadis itu menggeleng, memaksakan seulas senyum agar sang Ibu berhenti mengkuatirkan dirinya. Namun, sepertinya upaya dia gagal, karena Ibu justru mendekat di tepi ranjang, menjangkau dia, mengelus rambut kusut itu.     

"Siapa yang mengejarmu?" tanya Ibu lembut. Beliau tak mau menakuti anaknya dengan memberikan pertanyaan memojokkan dengan nada terlalu kuatir.     

"Aku..." Gadis itu urung melanjutkan kalimatnya. Ia membiarkan tergantung begitu saja. "Aku hanya ingin cepat sampai rumah, Bu."     

"Nivria, kau yakin?" Ibu kembali bertanya. Masih dengan suara lembutnya.     

Sekali lagi gadis bernama Nivria tersenyum disertai mengangguk.     

"Baiklah." Ibu menyerah. Terkadang anaknya memang tertutup. Namun, Ibu percaya sang Putri tetaplah anak berperilaku baik. Beliau kini bangkit dari duduknya. "Jangan lupa makan malam, yah! Ibu masak rebung saus tauco kesukaanmu."     

Nivria kembali berikan anggukan. Jangan lupakan senyuman manis dia agar Ibu tidak lagi kuatir.     

Setelah Ibu keluar dari kamarnya, Nivria segera menatap ke luar jendela kamarnya, berharap apa yang tadi dia lihat tidak nampak lagi.     

=[[ Nivria POV ]]=     

Namaku Nivria. Anak seorang kepala desa di sebuah dusun di pegunungan. Kehidupan kami bisa terbilang sederhana karena orang tuaku memang tidak suka bermewah-mewah berlebihan. Bagi kami, cukup bisa makan tiga kali tiap hari dan tidur di tempat layak, itu sudah cukup.     

Rumah kami di dekat hutan jati. Aku sangat suka hutan itu. Tempat itu seperti pelarianku dari kesepian dan ketidakmampuanku bersosialisasi. Kuakui, aku memang kurang pandai bergaul. Temanku amat sedikit, dan sepertinya tak ada yang bisa kusebut sahabat.     

Aku terlalu pemalu dan tertutup. Karena aku merasa... aku berbeda dari orang lain. Aku tak percaya diri. Itu karena beda tersebut.     

Kau ingin tau apa yang membuatku beda?     

Indigo.     

Aku mampu melihat makhluk yang orang lain tak bisa melihatnya. Aku sudah banyak bertemu makhluk berwujud aneh tak lazim selama hidupku. Kadang mereka kuanggap biasa, kadang membuatku gentar dan merinding.     

Namun, di antara semua yang aneh dan menjijikkan, makhluk satu itu yang paling membuatku gentar hingga aku lari kesetanan.     

Iblis.     

Aku yakin aku memang melihat Iblis. Dia tidak menampakkan tanduknya, tapi dari bau busuk luar biasa dan aura gelap pekat yang menyelimuti tubuh besarnya, aku yakin itu Iblis.     

Jujur saja aku baru ini bertemu secara langsung dengan Iblis. Meski pernah bertemu vampir, manusia siluman, ataupun peri, mereka tidak semenakutkan yang tadi kutemui.     

Sosok itu mengenakan jubah menjuntai hingga mata kaki berwarna hitam, meski kulitnya sepucat kertas ujian. Rambutnya tergerai panjang sepunggung tanpa terkesan banci. Justru aura maskulin menguar hebat darinya.     

Ya, dia Iblis berjenis kelamin pria. Eh, memangnya Iblis ada gendernya? Entah. Aku tak begitu paham.     

"Nivria..."     

Aku terkejut hingga terkesiap. Namun, akhirnya aku tenang karena tau itu suara siapa.     

Suara Minky, seorang peri hutan manis yang selama tujuh tahun ini bersamaku. Yah, di antara minimnya jumlah teman yang kupunya, dia adalah salah satunya.     

Minky bertemu saat aku asik duduk di tepi danau di hutan ketika aku masih awal memakai seragam putih-biru.     

Dia bersosok gadis mungil sebesar telapak tanganku, dengan sayap indah seperti capung, namun sayap Minky lebih lebar.     

"Minky..."     

Ia mendekat dan masuk ke dalam kamarku setelah aku membuka sedikit jendelaku.     

"Nivria, kenapa tadi kau tiba-tiba lari? Apakah..." Ia terbang di dekatku.     

"Ya, kau pasti juga melihatnya, kan?" Aku mendadak antusias. Kutatap lekat tubuh mungil Minky.     

Ia mengangguk lemah. "Dia pernah datang ke hutan beberapa kali, tapi baru kali ini dia menampakkan wujudnya."     

"Oh ya? Apakah dia benar-benar..." Aku sampai tak sanggup melengkapi kalimatku.     

"Ya, dia memang Iblis dari Underworld." Kini Minky sudah duduk di tepian jendela berbahan kayu.     

"Underworld? Apakah itu neraka?" tanyaku mulai penasaran. Masih banyak misteri alam di dunia ini yang belum semuanya terkuak di hadapanku.     

Minky menggeleng. "Itu bukan di neraka. Underworld adalah dunia khusus di bawah sana, tempat spesial bagi Iblis jenis apapun berkumpul. Bahkan mereka memiliki kerajaan masing-masing."     

Tak tau kenapa, aku makin terpikat pada cerita Minky.     

Akhirnya dari peri itu, aku jadi tau ada sebuah dunia lain di bawah bumi. Dunia para makhluk kegelapan. Makhluk paling mengerikan melebihi apapun yang pernah kulihat.     

Kenapa Iblis itu datang ke desa ini? Ah, rasanya aku tak ingin tau, dan tak ingin lebih banyak berurusan dengan jenis itu. Hidupku sudah cukup rumit dengan buku-buku kuliah. Lebih baik aku fokus saja pada studiku ketimbang memikirkan makhluk antah-berantah.     

Aku masih mahasiswi tahun pertama. Ini adalah liburku. Aku lebih senang gunakan waktu libur di desa kelahiranku. Aku menyukai suasana tenang dan tenggelam dalam kubangan buku ketimbang datang ke Klub atau Mal.     

Itu bukan duniaku.     

Teman sebayaku sudah menyerah mencoba menyeretku keluar dari 'cangkang' yang kubangun. Usaha mereka sia-sia saja saban mengajakku keluar dari kamar, entah itu kamar kos ataupun kamar rumah.     

Yah, mungkin ini salahku sendiri aku mengisolasi diriku dari hiruk-pikuk kehidupan normal. Lantas, apakah dengan begini aku jadi abnormal?     

Keesokan paginya, aku berjalan ke sungai kecil dekat rumah. Rasanya damai mendengar gemericik air di sana. Apa aku abnormal?      

Aku sudah membawa bukuku. Kali ini aku enggan ke hutan seperti biasa. Cukup di tepi sungai saja. Toh di sana ada banyak ibu-ibu mencuci pakaian. Setidaknya aku tidak sendirian.     

Membaca buku roman adalah kesukaanku. Benar-benar bagai pelarian atas hidupku yang terasing hasil ciptaanku sendiri. Buku bagaikan jendela luas, membuatku bagai bisa menjelajah manapun tanpa aku perlu bersusah-susah beranjak dari duduk.     

Saking asiknya dengan bukuku, aku tak sadar tiada lagi suara riuh ibu-ibu tadi. Aku tak menyadari kepergian mereka satu-persatu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.