Devil's Fruit (21+)

Pergi Bersama Angin



Pergi Bersama Angin

0Fruit 696: Pergi Bersama Angin     

Semua orang di kamar itu berteriak hampir bersamaan usai Ivy melakukan sesuatu yang sangat tidak terduga oleh mereka semua. Bocah itu serta merta mencabut benda yang belum boleh dicabut.     

Giorge juga sempat menampilkan wajah terkejutnya, namun dia akhirnya tersenyum pada sang putri sambil berbisik, "Thank you… hime…"     

Andrea sudah maju untuk berusaha menyumpalkan lagi tangan bercakar tadi agar menghentikan kerusakan pada jantung Giorge, namun Ivy malah menampiknya keras-keras.     

"Apa yang kau lakukan pada Papa?! Kenapa kau menyakitinya?!" jerit Ivy sambil berderai air mata.      

Seketika, Andrea linglung diteriaki putrinya dengan kalimat demikian. Ia beralih menatap suami keduanya dan Giorge hanya tersenyum dan menggeleng, menyiratkan agar Andrea tidak memarahi Ivy.      

Kemudian, perlahan, tubuh Giorge terkikis menjadi butiran debu warna merah kehitaman, sedikit demi sedikit.     

"Papa! No! Papa! Jangan pergi! Jangan pergi!" Ivy menjerit-jerit ketika menyadari perubahan fisik ayahnya menjadi butiran debu dimulai dari bagian kaki.      

"Gio! Gio kumohon bertahan!" Andrea juga ikut menjerit histeris seperti putrinya.      

Jovano lekas maju setelah Shelly mundur untuk mengambil adiknya. Menurutnya, sangat tidak baik jika sang adik melihat sendiri kematian ayahnya.      

Namun, Ivy memberontak dan menolak melepaskan lengan ayahnya. Ia memukul dan mendorong Jovano sambil menjerit-jerit histeris.      

Meski mendapat perlawanan sengit dari Ivy, Jovano tidak menyerah dan terus berusaha melepaskan cengkeraman tangan Ivy pada lengan ayah tiri dia dibantu Dante dan Andrea.      

Ivy terus memberontak ketika diangkat Jovano. "Papa! Papa! Papa tidak boleh pergi! Papa! Ivy ingin Papa!" jeritnya kuat-kuat, melengking tinggi.     

Sayangnya, Ivy menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri ketika ayahnya berubah menjadi butiran debu merah kehitaman. Tubuh Giorge terkikis dan menghilang.     

"Gio! Gio, tolong jangan gini, Gio!!!" Andrea meraung sambil mengambil tubuh Giorge untuk dia peluk. "Gio, jangan bercanda! Gak lucu! Gak lucu!!! Uhuhuhuuu…"      

"Rea… aku… cinta kamu… selamanya…" Dan setelah Giorge mengucapkan itu, kepalanya mulai terkikis dan butiran itu melayang menghilang ke udara. "Hiduplah… dengan baik…" Itulah kalimat terakhir dari Giorge sambil tersenyum ke Andrea.     

Andrea yang tadinya memeluk sebuah tubuh, kini tidak ada apa-apa lagi di tubuh itu. Ia meraung dengan wajah penuh air mata yang tidak bisa berhenti.      

Semua yang di kamar hanya bisa menutupi mata mereka karena ikut menangis meski tidak sekeras Andrea.      

Dante lekas menarik istrinya dan memeluk sang Cambion yang sedang terguncang, membenamkan wajah Andrea ke dadanya.     

"Gio! Giooooo!!! Uhuhuhuuu… gak boleh! Gio gak boleh mati!!! Uhuhuuu…" raung Andrea sambil memeluk erat Dante.      

Ivy yang berada di gendongan Jovano, menyaksikan detik-detik terakhir ayahnya menghilang menjadi debu merah yang kemudian butiran itu membumbung naik ke udara dan akhirnya benar-benar tidak ada lagi sisa residunya satupun.      

"Papa?" Ivy menatap tempat tidur yang tadi ada Giorge di atasnya. "Papa?" Suaranya bergetar sambil tatapannya kosong. "Mana Papa? Mana Papa?" Akhirnya, dia menoleh ke kakaknya. "Kak Jo, mana Papa? Mana Papa aku?! MANA PAPA AKU?!" jeritnya histeris.      

Andrea rasanya ingin memarahi putrinya, tapi ia sadar bahwa Ivy tidak bersalah karena dia tidak tau menahu mengenai kenapa tangan bercakar itu berada di jantung suami keduanya.      

Sekali lagi, Ivy yang tadinya sudah mulai tenang, kini memberontak di gendongan Jovano dan histeris menanyakan ayahnya.      

Jovano berinisiatif untuk membawa adiknya keluar daripada terus histeris. Ia membawa Ivy masuk ke kamarnya.      

Ivy sempat menendang apapun yang terjangkau dengan kakinya. Bunyi beberapa benda jatuh terasa membuat suasana kacau saat itu.      

Ketika orang hendak masuk ke kamar Jovano untuk membantu menenangkan Ivy, Jovano menggeleng ke mereka dan meminta mereka keluar untuk membiarkan dia yang menenangkan adiknya.      

Orang-orang pun urung masuk ke kamar Jovano dan menutup pintu kamar itu agar Jovano dan Ivy bisa memiliki waktu pribadi untuk bicara lebih nyaman sebagai saudara.      

Ivy masih menangis dan meronta di tempat tidur, meneriaki kakaknya karena tidak juga memberikan jawaban kemana sang ayah menghilang.      

"Ivy, stop, stop Ivy-ku. Kakak mohon, jangan begini."      

"TAPI MANA PAPA?! Uhuhuhuu…"     

"Berhenti berteriak dan Kak Jo akan beritau Ivy kemana Poppa Gio pergi."     

Berbekal janji dari Jovano itulah, Ivy mulai menghentikan tantrum-nya dan diam di tempat meski masih tersedu-sedu.      

Jovano sebenarnya juga bingung bagaimana menjelaskan pada sang adik mengenai ayah vampire mereka.      

Haruskah Jovano mengatakan dengan blak-blakan bahwa poppa dia, Giorge, sudah mati dan menjadi serpihan debu?      

Atau haruskah Jovano cukup berkata bahwa poppa dia sudah ke Surga, seperti kata-kata mainstream yang sering diucapkan orang untuk pihak yang berduka dan tidak bisa menerima kematian seseorang yang mereka sayangi?     

Tapi… mana mungkin Giorge mencapai Surga atau Nirwana. Nirwana bukanlah tempat yang bisa mudah dicapai seseorang. Bahkan keturunan malaikat seperti Nephilim saja sangat amat susah masuk ke Nirwana dan musti melakukan banyak pengorbanan dan pengujian yang tidak main-main.     

Lalu… apakah Jovano harus mengatakan Giorge sudah di Alam Hades, alias Neraka? Memangnya ada kepastian mengenai itu?     

Atau… haruskah Jovano menjelaskan bahwa adiknya lah yang membuat sang poppa menjadi butiran debu? Tapi, itu sangat menyakitkan jika didengar Ivy.     

Menjadi pembunuh dari ayah yang dia sayangi sendiri? Tidak, Ivy tidak boleh didakwa sebagai pembunuh dari ayahnya. Itu tidak mungkin bagi siapapun menuding demikian ke Ivy.      

Bocah cilik itu tidak tau akan efek dari tindakan spontanitas dia. Jovano sangat yakin adiknya tidak sengaja membunuh Giorge hanya karena dia kesal ada benda mengerikan di dada ayahnya dan Ivy hanya mencoba menghilangkan benda itu.     

Wajar jika gadis cilik itu ketakutan dan benci dengan tangan bercakar yang terus ada di dada ayahnya, karena tangan bercakar itu pasti mengingatkan dia akan sosok para tetua vampire yang sudah menyiksa dia siang malam tanpa henti selama hampir 2 bulan.      

Mungkin itulah yang membuat Ivy ingin benda terkutuk itu jauh-jauh dari tubuh ayah tercintanya. Namun, dia tidak mengira bahwa dengan diambilnya tangan mengerikan yang mulai membusuk itu, maka terambil pula nyawa ayahnya.      

Mana mungkin Jovano mengungkapkan ini semua secara gamblang ke Ivy?! Apalagi bocah itu masih sangat kecil! Dia hanya paham, ayahnya tiba-tiba menghilang di depan mata dia tanpa dia bisa diberitahu kenapa bisa terjadi demikian.      

Oke, Jovano mulai memahami pemikiran sederhana adiknya dan mencoba mencari jawaban setepat mungkin agar tidak menyakiti hati Ivy.      

"Ivy…" Jovano menggenggam kedua bahu kecil Ivy sambil menatap mata sang adik. "Ivy-ku sayank, dengarkan Kak Jo, oke?"     

Bocah perempuan yang masih terisak meski sudah tidak sekencang tadi, mengangguk, menunggu Jovano memberikan penjelasan padanya perihal sang ayah.      

"Poppa saat ini sedang ke Alam lain untuk menyembuhkan dirinya." Itu yang bisa terpikirkan oleh Jovano saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.