Devil's Fruit (21+)

Gemuruh Duka Mewarnai Angin Malam



Gemuruh Duka Mewarnai Angin Malam

0Fruit 697: Gemuruh Duka Mewarnai Angin Malam     

Ivy terhenyak sebentar ketika kakaknya berbicara. Apa tadi Jovano bilang? Gadis cilik itu berusaha mencerna kalimat sang kakak dengan sebaik mungkin.      

"Papa… ke alam… lain?" ulang Ivy menggunakan nada tanya. "Papa… tidak ada di sini? Papa… di alam lain?" Matanya menatap Jovano penuh harap.     

Dua tangan Jovano menangkup kedua pipi adiknya. Meski sang adik ini baru saja meluapkan tantrum-nya dan menangis menjerit-jerit, tapi tidak mengurangi keimutan dia di mata sang kakak.      

"Iya, my Ivy… Poppa sedang traveling ke alam lain, berusaha mencari cara untuk menyembuhkan sakitnya." Jovano memaksakan senyum tercetak di wajahnya.      

Mata besar dan bening dengan iris warna merah itu terus menatap Jovano, sungguh berharap bahwa dia mendengar sesuatu yang tidak menipunya. "Papa… pergi… berobat…"     

"Iya, sayank… Poppa sedang pergi berobat di alam lain, alam yang sangat jauh dan susah kita gapai. Kita saat ini belum bisa menyusul Poppa, tapi nanti mungkin suatu hari nanti, bisa." Senyum di wajah Jovano seolah menyegel keyakinan sang bocah cilik.      

Meski sudah tau bahwa ayahnya ada di alam lain dan susah ditemui, Ivy masih saja merintih menangis sambil masuk ke dekapan kakaknya.      

Ivy menangis semalaman hingga dia jatuh tertidur di dini hari.      

Sedangkan Andrea, dia sudah menghancurkan tangan bercakar yang kian membusuk itu. Ia masih syok dan menangis dalam pelukan Dante.      

"Sayank, jangan terus menerus menangis begini, kau bisa sakit." Dante mengusap punggung Andrea setelah mereka kini berdua saja di kamar.      

"Aku… hiks… aku rasanya gak berguna banget, Dan… hiks!" Andrea terus tenggelamkan wajahnya ke dada suami pertamanya.      

"Kita tidak bisa melakukan apapun, sayank. Semua tau itu. Ini tidak bisa dicegah." Dante mencari kalimat yang tepat. "Misalkan Ivy tidak mencabut tangan itupun, tangan itu masih terus membusuk dan akan berakibat buruk pula ke jantung Gio."     

Szzhhh…     

Muncul kabut di dekat tempat tidur tersebut. Perlahan, satu sosok pun terbentuk.      

"Andrea, bagaimana?" King Zardakh sudah muncul dalam sosok penuh dari kabut tadi.      

Putri Cambion menoleh ke asal suara. "Semua udah kelar." Lalu ia kembali ke dada suaminya.      

King Zardakh duduk di tepi ranjang. "Kelar bagaimana, maksudmu? Apanya yang kelar?"     

"Tentu aja soal Gio!" sentak Andrea.      

King Zardakh mengabaikan bentakan putrinya dan bertanya lagi, "Oh ya, mana Gio?"     

Andrea enggan menjawab. King Zardakh pun menoleh ke menantunya, Dante.      

Karena sang Cambion menolak memberitau, Dante terpaksa yang mengatakannya ke King Zardakh, "Ayah, Gio… Gio sudah tidak ada."     

King Zardakh sempat melongo sekejap, lalu bertanya lagi, "Sudah tidak ada bagaimana, Dante? Apa dia pergi?"     

Dante mengangguk. "Dia pergi menjadi debu." Lalu tertunduk sambil makin memperat dekapannya pada sang istri dengan duduk bersandar di kepala ranjang.     

"Hah? Menjadi debu?" ulang King Zardakh. "Maksudmu dia sudah…"      

"Iya, Ayah. Gio sudah meninggal." Dante menyahut lirih.      

"Ceritakan padaku kronologisnya!"      

Akhirnya, Dante menceritakan mengenai kondisi Giorge yang tidak juga membaik dan mengenai Ivy yang mencabut tangan bercakar di dada Giorge yang mengakibatkan kematian sang vampire, suami kedua Andrea.      

Setelah mendengar semua cerita dari sang menantu, King Zardakh terdiam sejenak. Lalu dia berkata, "Memang, sebenarnya… Ayah datang ke sini… untuk mengatakan bahwa… tidak ada obat untuk jantung vampire yang telah ditembus sesuatu. Ayah sudah bertanya kenalan lama ayah yang merupakan vampire yang sudah menyepi dari dunia."     

"Apa aja yang dia omong, Beh?" Kini Andrea mulai tertarik dan menoleh ke ayahnya. Satu tangannya menghapus lelehan air mata di pipi.      

"Kata teman lama Ayah, bahwa jika jantung vampire sudah ditembus sesuatu, meski itu setipis jarum sekalipun, itu sudah fatal. Memang, jika penembusnya dipertahankan di jantung itu, vampire tersebut tidak akan langsung mati." King Zardakh berhati-hati agar tidak salah bicara.      

"Lalu, Beh?"     

"Lalu, dalam kasus Giorge ini, yang menembus jantung dia adalah sesuatu yang hidup, yaitu tangan seseorang. Dan ketika empu tangan itu mati, tangan itu kian lama akan kian membusuk dan nantinya akan menyusut dan menjadi debu. Di saat itu, maka jantung yang berlubang itu pun tidak bisa lagi diselamatkan." King Zardakh menuntaskan perkataan sesuai yang dia ketahui dari teman lamanya.     

"Jadi… emang kagak bisa disembuhkan, yah?" Andrea terpekur lalu masuk kembali ke dekapan Dante untuk menangis lirih. Yah, ia memang tidak bisa menyalahkan Ivy sepenuhnya. Apalagi, bocah itu tidak tau menahu mengenai prosedur agar Giorge hidup lebih lama sebentar sebelum mati.      

Andrea tidak bisa berkata-kata lagi dan terus menangis di pelukan suami pertamanya.      

King Zardakh pun pamit pergi lagi. Namun, sebelum pergi, Beliau berkata pada Dante dan Andrea, "Janganlah kalian lupa, bahwa esok hari adalah ulang tahun Ivy. Aku akan usahakan untuk datang lagi ketika mentari sudah muncul." Lalu sang raja pun pergi menghilang.      

Sang Cambion terpekur. Ya, ayahnya benar, ketika hari berganti, maka itu adalah hari ulang tahun Ivy.      

Andrea mendongak demi mempertemukan wajahnya dengan suami pertamanya. "Dan… besok ulang tahun Ivy. Ohh, gak, gak, ini sudah merupakan pergantian hari, maka ini adalah hari ulang tahun Ivy. Malangnya putriku… uhuhuuu…"     

Dante kembali mendekap istrinya sambil dia juga merasakan hatinya sakit. Gadis itu, Ivy, mendapatkan ulang tahun paling pahit seumur hidupnya, yaitu kematian ayah yang sangat dia cinta dan sayang.      

Tuan Nephilim mengambil napas dalam-dalam. Dunia terus saja bersikap kejam, bahkan pada gadis cilik seperti Ivy.      

Di kamar lain, ternyata King Zardakh mengunjungi kamar Jovano. Cucu lelakinya itu belum tertidur, memeluk adiknya yang sudah lelap sambil keduanya sama-sama rebah di kasur.     

"Jo…" sapa King Zardakh pada cucu kebanggaannya.      

Jovano menoleh dan mendapati sang kakek berjalan ke arah kasur. "Opa."     

"Opa sudah dengar tentang Gio, Poppa kamu, dari Mama dan Daddy kamu." King Zardakh pelan-pelan duduk di tepi tempat tidur. "Bagaimana adikmu?" Ia melirik Ivy yang sudah lelap di sebelah Jovano.     

"Ivy sempat menangis histeris dan menanyakan Poppa, tapi… aku bilang padanya bahwa Poppa sedang pergi ke alam lain untuk berobat." Jovano menyahut dengan suara lirih agar tidak membangunkan adiknya.      

Sang kakek pun mengangguk. "Tidak apa, itu juga alasan yang bagus. Hm… lalu… apakah adikmu baik-baik saja?"     

"Dia… dia belum mau makan apapun sejak dibawa ke sini, Opa." Jovano mengeluh. "Aku takut dia sakit jika terus menolak makan."     

King Zardakh terus mengamati Ivy. "Ada yang bilang, mata Ivy berubah jadi merah?"     

"Ohh itu, umm… iya, Opa." Jovano tidak menyembunyikannya. "Apakah itu buruk, Opa?"     

"Hm… matanya merah, yah? Hm… nanti akan Opa cari tau mengenai itu. Oh ya, ini sudah hampir subuh, kenapa kau belum tidur, Jo?"      

"Um… aku susah pejamkan mata sejak tadi, Opa. Karena… aku bingung."     

"Bingung kenapa, Jo?"     

"Karena ini hari ulang tahun Ivy…"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.