Devil's Fruit (21+)

Perjuangan Jovano 3



Perjuangan Jovano 3

0Fruit 648: Perjuangan Jovano 3     

Andrea yang berada di depan pintu luar Pondok Alkimia, hanya bisa menghela napas. Meskipun bisa tau anaknya masih gagal dalam percobaan pengujian ketahanan pedang, ia masih merasa bangga akan putranya.      

Dalam hidup ini, keberhasilan selalu berdampingan dengan kegagalan. Semua imbang dan komplit. Tidak ada namanya absolut.      

Bahkan, betapa naifnya jika berpikir bahwa hidup di dunia ini hanya ada suka cita bahagia. Setiap tangis dan luka pun akan menghiasi perjalanan nasib tanpa bisa dihindari. Semua datang silih berganti sesuai dengan porsinya masing-masing.      

Demikian juga, sebagai orang tua, Andrea tidak melulu mewajibkan sang anak untuk tampil paling hebat dan menuntut tinggi. Ia berkaca dari pengalaman Revka dan Shona di Alam Schnee.      

Oleh karena itu, sebagai ibu, ia hanya akan terus dan terus mendukung apapun keinginan Jovano selama itu positif dan benar.      

Andrea menyadari sikapnya sebelum ini memang tergolong picik dan terlalu over protektif ketika dia melarang Jovano untuk mengikuti kegiatan berbagai macam klub di sekolahnya.      

Ia sadar, bahwa dia hanya akan menghalangi potensi anaknya. Andai saja dia tidak dibujuk oleh orang-orang sekitarnya untuk membiarkan Jovano beraktivitas seperti yang bocah itu mau, mungkin Andrea akan menyesali hidupnya.      

Kehancuran seorang anak, juga bisa terjadi karena keegoisan dari orang tuanya. Sedangkan keberhasilan anak bisa terjadi akibat dari kepercayaan orang tua yang diiringi dengan bimbingan dan komunikasi yang baik satu sama lain.      

Sekarang dia sudah menyadari ini dan ia semakin bersyukur lekas sadar akan sikap kelirunya pada Jovano. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mempercayai sang anak mampu melakukan apapun yang hebat dan akan tampil sebagai orang tua yang membimbing dan mendukung selagi sang anak tumbuh berkembang.      

Sudah terlalu banyak orang tua yang bersikap keliru pada sang anak, dan hal paling ekstrim akibat dari itu adalah rasa benci anak pada orang tua.      

Tidak! Andrea tidak ingin dibenci anak-anaknya. Ia ingin memperbaiki semua kekeliruannya. Bahkan pada Ivy juga.      

Ia berharap, takdir masih mau berbaik hati padanya untuk memberikan dia kesempatan sekali lagi agar dia bisa lebih mengakrabkan diri pada Ivy dan lebih mendengarkan apa yang putrinya inginkan, sebelum semuanya terlambat.      

Astaga, memikirkan Ivy, Andrea jadi menangis tanpa suara.      

Sementara itu, di dalam pondok kayu itu, Jovano sedang menenangkan dirinya setelah rasa frustrasi menderanya. Ia kemudian berkata, "Mom, kau bisa masuk kalau ingin."     

Andrea pun beranjak dari tempatnya dan masuk ke pondok tersebut, mendapati wajah gusar putranya. "Jo?"     

"Kuharap Mom tidak mengatakan apapun yang menyebalkan." Jovano langsung berkata demikian sebagai antisipasi. Ia tau, ibunya cerewet dan sering mengomeli dia, tapi dia tetap saja ingin Andrea hadir di saat dia sedih dan frustrasi.      

Andrea langsung bergerak mendekat ke anaknya dan memeluk bocah yang tingginya hampir menyamai sang ibu. "Gak apa." Ia menepuk-nepuk punggung putranya secara pelan. "Kau tau gak, Mama dulu juga sering gagal waktu bikin pil obat."     

Jovano melepaskan pelukan ibunya perlahan-lahan dan menatap tak percaya. "Serius, Mom? Kau? Berkali-kali gagal?"      

Andrea tersenyum. "Kamu bisa tanya Paman Ro kamu kalo gak percaya. Dia yang sering liat Mama frustrasi kayak kamu sekarang ini."     

"Emangnya aku frustrasi, yah Mom?" goda Jovano.      

Sang ibu mencubit hidung mancung anaknya. "Kalau enggak, yah bagus lah!"     

"He he… iya, kok Mom. Ini sungguhan bikin aku frustrasi. Ampe rasanya pengin bakar pondok ini." Jovano mengerutkan mulutnya sebagai tanda kesal.      

"Woeh! Jangan, dong!" Andrea menepuk keras lengan sang anak. Lengan bocah itu terasa keras dan padat, padahal kecil layaknya lengan bocah 11 tahun biasa, namun… terasa penuh dengan otot.      

Jovano terkekeh berhasil menggoda ibunya.      

"Mom, kamu serius sering gagal waktu bikin pil obat?" tanya Jovano dengan nada heran.      

Andrea mengangguk. "Sejenius-jeniusnya Mama, tetap aja akan menemui namanya trial and error. Itu sebuah kewajaran, Jo. Tinggal bagaimana kita menyikapi eror itu, apakah menyerah, atau tetap lanjutkan sampai berhasil."     

"Aku kira, Mom yang jenius ini hanya butuh sekali dua kali eror lalu sukses." Jovano menggaruk belakang kepalanya dengan senyum malu.      

Ibunya terkekeh sebentar dan melanjutkan bicara, "Mendingan kamu masuk ke pondok hunian dan istirahat dulu, deh. Besok bisa kamu lanjutin lagi ini. Siapa tau, dengan rehat, kamu nemuin cara baru yang bikin berhasil. Oke?"     

Sang putra nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Ucapan dan saran ibunya tidak sepenuhnya buruk. Mungkin memang dengan istirahat malam ini, maka besok dia akan menemukan ide lainnya untuk menghasilkan pedang seperti yang dia harapkan.      

Oleh karena itu, Jovano melangkah keluar dari Pondok Alkimia bersama dengan sang ibu, menuju ke pondok hunian.      

Masih ada banyak orang di ruang makan, saling berbincang meskipun makan malam sudah mereka habiskan.      

"Jo, mau Aunty buatkan sesuatu?" Shelly menawarkan diri.      

"Biar Daddy saja sini." Dante mengambil alih. "Shelly biar istirahat, sudah dari tadi sibuk, iya kan?"      

Shelly tersenyum dan akhirnya mengangguk, lalu mengambil Kiran dari Kenzo dan bersama dengan sang suami, ia pun naik ke atas menuju kamar mereka.      

"Dad, buatkan aku nasi goreng daging atau seafood yang enak, yah!" Jovano duduk di ruang makan.      

Tuan Vampir menjejeri anak tirinya dan berseru ke Dante, "Kakak Senior, tolong buatkan satu juga untukku!"      

Dante tersenyum miring ke Giorge. "Dasar Junior kurang ajar, malah menyuruh Seniornya, heh?"     

"Ha ha ha! Karena kau lah yang terbaik untuk urusan memasak, Senior! Ini sebuah pujian loh jika aku meminta dibuatkan makanan olehmu," kelit Giorge.      

"Iya, deh, iya… Vampir memang makhluk yang paling pintar merayu," olok Dante yang ditangapi kekehan tawa Tuan Vampir.      

-0-0-0-0-0-     

Esoknya, seperti kemarin, Jovano sudah bangun jam 6 pagi. Dia tidak sarapan, hanya meminum susu coklat hangat buatan Shelly sebelum menuju ke Pondok Alkimia.      

Sekali lagi dia mengulang semua proses. Dari pengubahan bubur tulang menjadi bentuk bubuk yang ia tepikan dulu ke samping sembari dia akan memproses besi baja damaskus menjadi sebuah lempengan hingga bisa dia bentuk menjadi sebuah bilah tajam.      

Kali ini, melipat baja damaskus tidak dia lakukan ketika baja masih berbentuk padat, namun ketika baja sudah menjadi lempengan bilah.      

Ini memang lebih susah dan lebih beresiko. Apalagi sambil memasukkan bubuk tulang beast ke dalam lipatan dan kemudian menempa kuat-kuat sampai jadi pipih berbentuk bilah ramping dengan bagian tengah bilah agak mencembung sedikit, perpaduan antara pedang Cina klasik dengan pedang Eropa klasik.      

Jovano membutuhkan waktu hingga empat jam lamanya dari proses peleburan tulang beast hingga ke tahap penyelesaian bilah, lalu mencelupkan bilah ke dalam air sebagai akhir dari seluruh proses.      

Setelah menunggu dingin, maka ia mengeluarkan bilah dari air, mengelapnya hingga kering dan muncul bentuk cantik mengkilat seperti biasanya, dan kini saatnya untuk diuji ketahanannya dengan pedang lainnya.      

Jovano menarik napas banyak-banyak dan mengeluarkan secara perlahan sebelum 'menarungkan' dua pedang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.