Devil's Fruit (21+)

Rumah Roh



Rumah Roh

0Fruit 1403: Rumah Roh     

Gavin dan Zivena baru saja memusnahkan genk Phi Tai Hong yang dikepalai oleh iblis murni. Ini bukan hal aneh di dunia supernatural, dimana iblis bisa menguasai sekelompok jin jahat atau siluman untuk mencelakai manusia.     

Umumnya, iblis tidak bisa menyerang manusia secara fisik karena itu sesuatu yang sangat terlarang oleh hukum langit, oleh karena itu mereka memakai perantara atau memanipulasi jin dan siluman untuk bekerja pada mereka dan mencelakai manusia.     

Tidak disangka-sangka ternyata setan wanita yang disebut Phi Tai Hong itu cukup meresahkan penduduk di Pattaya karena telah menelan korban lelaki belasan orang, baik itu turis maupun warga lokal.     

Namun, anehnya, meski sudah ada banyak kasus kematian misterius seperti itu di Pattaya, tetap saja tidak menyurutkan turis untuk terus berdatangan ke kawasan wisata di sana.     

Bahkan ada turis pria yang pernah berseru, "Aku rela mati di tangan wanita cantik yang aku tiduri!" ketika dia diperingatkan akan bahaya hantu Phi Tai Hong. Entah apakah pria itu sekarang masih hidup atau ….     

Malam semakin larut dan Gavin masih berkeliaran di kawasan wisata yang tak pernah redup, selalu hidup diwarnai hiruk-pikuk tiada henti. Sementara itu, Zivena memilih tidur kembali di kamar vila untuk memulihkan tenaga yang tadi sudah dia gunakan untuk memusnahkan iblis.     

Ketika Gavin sedang berjalan-jalan menikmati suasana, ada kerumunan yang sepertinya sedang meributkan sesuatu. Ia pun lekas mendekat untuk tahu ada apa gerangan di sana.     

"Tapi, Tuan, Anda tidak boleh bertindak seperti itu. Anda terlalu gegabah." Seorang lelaki Thailand mencoba bicara secara sopan pada turis pria berambut merah.      

"Arrghhh! Persetan dengan itu!" Sepertinya turis tersebut mabuk, wajahnya memerah dan berdiri tak cukup stabil. "Kalian ini aneh! Kenapa memajang banyak rumah-rumahan boneka di setiap depan rumah? Aneh! Kalian suka bermain Barbi, hah? Ha ha ha!"     

"Bro, sudahlah, jangan mengacau di sini. Ayo kembali ke hotel saja." Teman dari turis rambut merah itu mencoba meredakan ketegangan di sana. Ia memegangi lengan si rambut merah.      

"Alan, jangan ikut campur urusanku!" Si rambut merah malah menghardik teman yang memeganginya.     

"Tapi kau juga keterlaluan sudah merusak dan mengencingi rumah roh mereka." Alan terus berusaha menasehati temannya. "Aku khawatir nanti terjadi sesuatu padamu, Doug."     

"Apa? Terjadi apa, hah?!" Si rambut merah bernama Doug malah makin emosi dan melotot ke Alan.     

Sementara itu, warga yang berkerumun di sana hanya bisa menatap kesal, iba, dan juga terheran-heran dengan tingkah Doug. Bisik-bisik mereka tentu saja mendengung di sekitar.     

"Dasar orang asing, seenaknya saja bertingkah di tempat orang."     

"Dia pikir dia sudah keren kalau melakukan itu?"     

"Bisa-bisanya dia menghancurkan rumah roh dan malah mengencingi pula!"     

"Apa dia tak takut dia mendapatkan karma setelah ini?"     

"Mungkin dia pikir dirinya sangat hebat."     

"Tapi, bukankah dia melakukan itu karena mabuk?"     

"Mabuk tidak bisa dijadikan alasan untuk berbuat kurang ajar."     

"Kuharap dia lekas mendapatkan karma."     

Gavin mendengar kasak-kusuk di sekitarnya dan matanya tertuju pada bangunan mirip seperti rumah boneka yang tergeletak mengenaskan di tanah. Pikirannya langsung menyimpulkan bahwa itulah yang disebut sebagai rumah roh oleh orang-orang di dekatnya.     

Karena ingin tahu lebih banyak, Gavin pun bertanya pada seorang gadis yang berdiri di sebelahnya, "Permisi, rumah roh itu apa? Kegunaannya apa?"     

Gadis cantik berparas lokal itu tersenyum senang ditanya lelaki setampan Gavin yang mirip idol Kpop. Dia menjawab, "Rumah roh atau kami biasa menyebutnya San Phra Phum, itu rumah mini yang biasa kami tempatkan di depan rumah atau bangunan seperti kantor atau tempat bisnis untuk memberi penghormatan kepada para penjaga tanah dan juga sebagai pelindung bagi kami dari roh-roh yang nakal atau jahat."     

"Aku masih tak paham. Maksudku, apakah kalian harus mempunyai rumah roh?" Gavin mencoba mengorek informasi unik itu lebih dalam.     

Teman dari gadis itu menjawab, "Kami tak tahu apakah ini sebuah keharusan atau apa, tapi ini sudah turun-temurun dari jaman dulu dan kami tidak keberatan meneruskan tradisi ini. Karena, selain untuk roh-roh penjaga tanah, itu juga bisa untuk hunian leluhur kami yang sudah meninggal."     

"Ohh, jadi … penghuni rumah roh bisa berupa roh penjaga atau leluhur kalian?" Gavin menyimpulkan.     

"Ya, begitulah." Kedua gadis Thailand itu menjawab hampir bersamaan sambil terkikik genit ke Gavin.      

"Itu … kenapa ada makanan dan juga minuman soda di dekat rumah roh yang dirusak lelaki tadi?" Gavin menatap adanya roti, buah, nasi goreng dan juga beberapa botol minuman soda warna merah bergeletakan di dekat rumah roh yang rusak di tanah.     

"Itu sesajen yang bisa diletakkan di rumah roh." Gadis pertama menjawab.      

"Apakah roh-roh di sini juga suka minuman soda? Bahkan ada sedotannya pula!" Gavin agak geli mengenai itu.     

"Ha ha, kami juga tak tahu siapa yang memulai tren memberikan minuman soda merah itu di rumah roh. Tapi, konon para roh menyukainya." Gadis kedua menjawab.     

"Siapa nama kalian?" Gavin akhirnya bertanya mengenai itu.     

"Aku Wind." Gadis pertama menjawab.     

"Aku Cherry." Gadis kedua menyebutkan nama.     

"Apa itu nama asli kalian?" Gavin mengerutkan kening dengan kerling jenaka.     

"Ha ha, tentu saja bukan. Kami jarang memakai nama asli kami untuk berkenalan." Wind terkekeh.     

"Kenapa begitu?" tanya Gavin.     

"Menurut leluhur kami, itu untuk membingungkan roh jahat yang ingin mencelakai kami ketika kami masih kecil. Maka dari itu, kami akan dipanggil dengan nama lain, agar terhindar dari mereka."     

"Ya, kami harus punya nick name. Nama lengkap kami itu sakral, tak boleh sembarangan diketahui, hi hi!"     

"Ehh, aneh juga tradisi kalian." Gavin baru tahu kalau ada roh jahat yang akan mencelakai anak bayi dan cara penangkalannya adalah memanggil si bayi dengan nama alias yang sangat berbeda dengan nama asli.     

"Ya, begitulah kepercayaan di negara kami ini. Kami diberi nama panggilan yang unik atau bahkan seburuk mungkin agar tidak diganggu roh jahat yang ingin mencelakai kami." Cherry kemudian terkikik.     

Sementara itu, Doug yang merusak rumah roh itu tak sudi dinasehati dan Alan pun lekas membawa pergi setelah mengganti kerugian rumah roh menggunakan uangnya. Pemilik kafe yang bersangkutan menerima uang dari Alan sambil mendesah kecewa. Bukan masalah uangnya kurang, namun karena rusaknya rumah roh itu. Ia khawatir jika kafenya akan mendapatkan celaka karena hal itu.     

Setelahnya, kerumunan pun mulai bubar. Sedangkan Gavin bertanya ke Wind dan Cherry, "Kalian, apakah belum mengantuk? Ini sudah larut malam, loh!"     

"Ohh? Kami sudah biasa jalan-jalan malam hingga larut begini." Cherry menjawab.     

Gavin melihat kerlingan genit dari keduanya dan langsung menembak mereka dengan kalimat, "Bagaimana kalau kita mengobrol di suatu tempat? Hotel, misalnya?"     

Wind dan Cherry berpandangan satu sama lain sebelum kemudian mereka serempak berkata, "Boleh!"     

Maka, tak lama sesudah itu, Gavin sudah memboyong Wind dan Cherry ke salah satu kamar hotel bintang 3 dan bersenang-senang di sana.     

Sementara Gavin sedang melakukan petualangan membaranya bersama Wind dan Cherry, Alan sudah membaringkan Doug di kamar hotel mereka, bahkan telah mengganti baju Doug pula. Sungguh teman yang baik.     

Baru saja Alan hendak beranjak ke kamar mandi karena Doug sempat muntah di celana Alan, dia mendengar jeritan Doug. Dia segera berlari ke Doug dan melihat temannya sudah terkapar di lantai dan darah keluar dari mulutnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.