Devil's Fruit (21+)

Anak Pak Lurah



Anak Pak Lurah

0Fruit 1454: Anak Pak Lurah     

Jovano dan kelompoknya sudah duduk bersama di ruang tengah rumah tersebut yang cukup luas. Jika butuh kursi tambahan, tidak perlu repot-repot membelinya, cukup dia menjentikkan jemari dan kursi lain pun muncul secara ajaib, tak perlu merapal mantra apapun ala dukun.     

"Zizi, sekarang, Kak Jo pengin denger apa yang kamu rasakan waktu kamu liat orang yang kamu bilang aneh di rumah pak lurah." Dia mengumpulkan semua anggota kelompoknya memang ingin membahas mengenai hal tersebut.     

Zivena duduk bersila di atas sofa dan mulai mengatakan sesuai yang dia pikirkan. "Orang itu … sepertinya sih dia pemuda, karena dari rambutnya yang tak menjuntai waktu posisi dia memiringkan kepala dari balik tirai tebal itu."     

"Oke, seorang pemuda. Lalu, apa lagi?" Jovano terus menatap adiknya.     

"Kira-kira dia seumuran Kak Jo. Dia lumayan tinggi, mungkin perawakannya seperti Kak Jo juga."     

"Huh, aku tak yakin dia bisa seperti Jo, pastinya dia ada di bawah Jo untuk hal apapun." Serafima di sisi Jovano menyahut karena dia tidak terima suaminya yang hebat disamakan dengan manusia biasa.     

"Aku hanya sedang menggambarkan saja, tidak bermaksud menyamakan dia dengan kemampuan Kak Jo. Hanya untuk kalian bisa mengira-ngira seperti apa perawakan dia saja, bukan mengenai wajah ataupun kemampuannya. Apa kau mengalami kesulitan mencerna ucapanku, heh?" Zivena tidak menahan diri ketika mengejek Serafima.     

Ucapan Zivena yang pedas dan tegas mengakibatkan Serafima terdiam. Ingin mendebat adik suaminya, namun dia teringat bahwa Zivena sudah menolong dia kemarin, bahkan Zivena rela menerima efek dari tindakannya.      

Hal itulah yang akhirnya menyurutkan keinginan Serafima ketika hendak menjawab ucapan pedas adik iparnya. Dia sangat beruntung Zivena tidak jadi memperoleh efek dari menolong dia. Bayangkan jika saat ini Zivena harus kembali ke wujud kanak-kanak, akan sepedas apa bocah itu kepadanya setiap bertutur?     

Bisa-bisa telinga Serafima harus terus dikompres es batu agar tidak selalu merasa kepanasan.     

"Oke, oke, jadi dia ini seumuran Kak Jo dan juga tinggi seperti Kakak. Hm, lalu, apa yang kamu rasakan dari dia, Zi?" Jovano tidak ingin orang-orang terdekatnya saling berdebat panas pada hal yang tidak penting.     

Zivena mengerutkan keningnya sebelum bicara, "Dari dia … aku seperti mencium hawa … hm … hawa apa yah itu? Aku tidak yakin, tapi seperti bukan hawa manusia normal."     

"Bukan hawa manusia normal?" Shona mengulang dengan nada tanya. "Jadi … maksud kamu … dia itu … seperti dikuasai energi astral?"     

Kepala Zivena mengangguk mengisyaratkan bahwa ucapan Shona ada benarnya. "Seperti itu, Kak. Rasanya seperti ada energi gaib yang menyelubungi dia. Tapi aku belum bisa menebak dengan pasti, energi makhluk apa itu."     

"Wah, ternyata orang yang tinggal di tempat pak lurah malah dikuasai energi gaib. Semoga saja itu bukan energi jahat." Gavin menimpali.     

"Itu energi jahat atau bukan, aku belum bisa pasti." Zivena menggelengkan kepala seakan menyesali kekuatannya yang masih belum pulih sepenuhnya semenjak menolong Serafima kemarin lusa. "Pokoknya, dari wajahnya yang aku tahu … dia ini seperti … gloomy?" ia menambahkan.     

"Gloomy?" ulang Gavin dengan nada tanya.     

"Apa itu … yah … gloomy!" Zivena belum menemukan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Maklum saja, dia tidak sefasih kakaknya mengenai kosakata bahasa Indonesia.     

"Ohh, maksudnya dia terlihat murung?" Jovano mencoba menebak.     

"Murung?" Zivena butuh memahami kosakata tersebut.     

"Ya, murung, semacam nuansa sedih dan terlihat tidak gembira." Jovano memperjelas kata-katanya.     

"Ahh, ya! Itu dia, terlihat tidak gembira, muram, betul?" Zivena mengangguk-angguk cepat.     

"Ya, bisa juga disebut muram. Jadi dia ini vibe-nya muram, yah? Oke." Jovano menyimpan informasi dari adiknya ini.     

"Apakah kita perlu menyelidiki dia di rumah pak lurah?" Shona mengemukakan idenya.     

"Sepertinya harus begitu." Jovano setuju saja.     

"Tapi tentunya kita ke sana tidak dengan wujud fisik kita, ya kan?" Zivena mengingatkan.     

"Tentu aja enggak, Zi." Jovano tersenyum. "Nanti malam, siapa yang mo ikut—"     

"Aku!"     

"Aku, Kak Jo!"     

Mereka bersahutan menyediakan diri sambil mengangkat tangan.     

"Astaga, kalian semua mau ikutan, ha ha ha!" Jovano tak bisa menahan tawanya.     

.     

.     

Di tempat pak lurah, di rumah utama Beliau yang cukup luas, karena masih ada anak-anak Beliau berjumlah 5 orang tinggal di sana.     

Anak tertua, perempuan dan sudah menikah namun beberapa bulan lalu bercerai dan dia kembali tinggal di rumah pak lurah sebagai orang tua dan mengajak anaknya yang masih balita pula.     

Sedangkan anak kedua, lelaki, seumuran Jovano, mungkin inilah yang dimaksud oleh Zivena. Dia masih lajang meski sudah pantas berumah tangga.     

Anak ketiga, lelaki, masih di bangku SMA. Yang keempat, lelaki, masih di bangku SMP, sedangkan anak bungsu, perempuan, masih duduk di bangku SD.      

Seperti yang sudah Zivena sempat katakan pada kelompoknya, bahwa si pemuda itu terlihat gloomy atau murung atau muram, itu memang benar.     

Di antara semua anak pak lurah, hanya pemuda itu saja yang terlihat berbeda dan tidak banyak ingin keluar untuk bergaul dengan yang lainnya, termasuk dengan keluarganya sendiri.     

"Pak, dari kemarin sepertinya Ferdi gak juga keluar kamar, yah!" Bu Lurah berkata sambil menyerahkan secangkir kopi di meja ketika suaminya sedang membaca surat kabar sore itu sambil televisi menyala.     

"Hm? Iya kah? Tsk! Bocah itu." Pak Lurah menurunkan sebentar surat kabar di tangannya dan setelah selesai berbicara, dia naikkan lagi kertas lebar itu.     

"Kira-kira dia kenapa, yah? Sepertinya sudah setahun lebih dia begitu, sampai-sampai tak mau kuliah." Bu Lurah duduk di samping suaminya.     

"Kan tingkah dia sejak remaja begitu, Bu." Elmia, si anak pertama, atau yang biasa disapa Emi, ikut berkomentar sambil dia menyuapi anaknya sambil menonton program kartun di televisi.     

Wajah bu lurah menjadi muram ketika memikirkan anak kedua Beliau. "Iya, yah … dia sejak remaja jadi tak suka bersosialisasi dan suka mengurung diri di kamar. Padahal teman-teman seusia dia kala itu kan lagi senang-senangnya keluar main di luar rumah."     

"Lah, dulu bukannya Ibu senang dia lebih banyak di rumah ketimbang main di luar?" Pak Lurah sedikit memberikan sindiran sambil terus memegangi surat kabarnya.     

Istrinya menepuk paha Pak Lurah sambil berkata, "Yah, kala itu kan Ibu ketakutan dia kena pergaulan bebas seperti anak-anak lainnya sampai kena narkoba segala."     

"Dan sekarang Ibu maunya apa? Dia sering keluar rumah?" Pak Lurah melirik istrinya.     

"Yah, aku … aku sih tak masalah dia di rumah terus, tapi setidaknya sering-seringlah kumpul dengan kita di rumah ini, mengobrol dengan saudara-saudaranya, tapi dia malah sibuk ama kucingnya di kamar." Bu Lurah menyampaikan uneg-unegnya.     

Sementara dirinya sedang dibicarakan orang tua dan kakaknya di ruang tengah sore itu, Ferdian atau Ferdi justru bersantai di kamarnya dan terus mengelus leher kucingnya.     

"Kamu lagi dibicarakan, tuh!"     

"Iya, biar saja."     

Setelah Ferdi menjawab suara tadi, tiba-tiba saja kucing yang berbaring di atas perut Ferdi secara perlahan mulai berubah menjadi sosok perempuan muda.     

"Kamu sungguh tak ingin main keluar rumah seperti temanmu?" Kucing betina itu berkata dalam wujud perempuan muda.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.