Devil's Fruit (21+)

Pemuda Aneh



Pemuda Aneh

0Fruit 1452: Pemuda Aneh     

Jovano, Gavin, dan Zivena pergi ke rumah pak lurah desa tempat mereka bertempat tinggal sementara waktu.     

Di rumah kepala desa tersebut, ketiganya dijamu dengan sangat baik, mencicipi banyak jajanan tradisional yang sama sekali baru bagi mereka bertiga.     

Jovano dan Gavin berulang kali takjub akan rasa baru yang hadir pada lidah mereka ketika memasukkan jajanan tradisional tersebut.     

Namun, Zivena justru diam bergeming melihat kelakuan kakak dan kawannya.     

Yang menjadi perhatian Zivena justru sosok di balik kain tebal yang membatasi ruang tamu dengan ruang dalam rumah.     

Sosok itu seperti seorang pemuda di bawah usia 30 tahun, mengintip ke ruang tamu, tapi dia ketahuan mata tajam Zivena dan pemuda itu lekas mundur dan lenyap ke dalam rumah.     

Menyadari ada keterdiaman adiknya, Jovano menoleh dan bertanya, "Zizi, ada apa?"     

"Hm?" Zivena menoleh ke kakaknya dengan sikap kaget.     

"Kamu nggak coba makanan ini? Enak, loh! Coba yang ini, Kue Lumpur, atau ini … Putu Mayang." Jovano menawarkan beberapa jajanan tradisional yang sudah dia cicipi dan semuanya enak.     

Tapi, perhatian mata Zivena malah tertuju ke jajanan lain. "Itu saja." Telunjuknya mengarah ke sebuah kue berbentuk bundar pipih mirip pancake dan di sebelahnya ada bungkusan plastik kecil berisi kuah kecoklatan cair. Ia berpikir sederhana bahwa itu hanyalah pancake dan kuah dari cokelat cair.     

Pancake, tentunya lidah dia tidak akan merasa asing dengan makanan mendunia tersebut. Maka, jajanan yang dia tunjuk tadi pastinya akan aman-aman saja untuk selera lidahnya.     

"Ohh, Serabi!" Bu Lurah mengambilkan apa yang Zivena mau, menaruh serabi ke mangkuk kecil, lalu membuka bungkusan plastik kecil dan menuang isinya, menggenangi kue serabi itu. "Biasanya begini cara makannya di daerah sini."     

"Terima kasih." Zivena bukanlah gadis tanpa adab. Dia tetap mengucapkan rasa terima kasih ketika Bu Lurah menyodorkan mangkuk kecil berisi serabi berkuah kepadanya.     

"Apa tadi namanya, Bu?" tanya Jovano.     

"Kue Serabi. Dan yang ini versi berkuah." Bu Lurah menjelaskan singkat, "Beberapa serabi bisa berbeda pembuatan dan penyajian di berbagai daerah di Indonesia. Kebetulan, saya lebih suka serabi yang jenis berkuah begini."     

Ketika Zivena memasukkan potongan serabi beserta kuah ke mulutnya, sensasi yang dia rasakan begitu berbeda dengan apa yang dia kira itu semacam pancake.     

Jovano dan yang lainnya mengamati respon Zivena.     

"Gimana rasanya, Zi? Enak?" tanya Jovano.     

"Ini … aku pikir ini seperti pancake, tapi ternyata berbeda." Zivena jujur, tidak ingin menutupi apa yang ada di benaknya, mengungkapkan begitu saja.     

"Boleh saya coba juga, Bu?" Jovano meminta dengan sopan.     

"Tentu saja!" Bu Lurah kembali meladeni tamunya dan menyerahkan mangkuk kecil sama seperti yang dia tadi berikan ke Zivena pada Jovano.     

Tak lama setelah serabi berkuah itu masuk ke mulut Jovano, matanya membelalak dengan mulut senyum senang. "Hm! Ini enak sekali! Ini manis dan lembut!"     

"He he … itu kuahnya juga dari gula jawa yang dicairkan bersama santan dan juga daun pandan." Kini Pak Lurah yang menjawab.     

"Wah, makanan Indonesia sungguh enak-enak, yah!" Jovano memuji tulus. Bagaimanapun, ini merupakan tanah kelahiran ibunya, dia turut bangga dengan kehebatan ragam kuliner dan keindahan alam Indonesia.      

"Benar, Mister Jo. Kuliner tradisional Indonesia ini memang sangat lezat dan sudah tergantikan, ha ha ha!" Pak Lurah tertawa riang, senang bahwa tamu-tamunya menikmati hidangan yang dia persiapkan dengan cukup buru-buru sejak pagi menerima telepon dari Jovano.     

Kemudian, mereka mengobrol basa-basi lainnya dan setelah di sana selama 2 jam lebih, akhirnya Jovano dan 2 lainnya pun pamit pulang kembali ke rumah sewa mereka.     

Di perjalanan pulang, Zivena masih saja diam. Ini cukup membuat Jovano agak heran. Apakah sekarang adiknya lebih pendiam setelah melalang buana ke berbagai negara di Asia?     

"Zizi, hei adik Kak Jo yang cantik?" panggil Jovano agar Zivena tidak lagi diam.     

"Hm?" Zivena menoleh ke kakak di sampingnya. "Ada apa, Kak Jo?"     

"Apa kamu sekarang udah jadi bocah pendiam?" tanya Jovano sesuai dengan yang ada di benaknya.     

Bukannya menjawab pertanyaan sang kakak, Zivena justru mengerutkan keningnya sambil dia berkata, "Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari pemuda tadi."     

"Pemuda yang mana?" tanya Gavin.     

"Kalian tidak melihatnya?" Zivena memandang keduanya secara bergantian.     

"Yang mana, sih Zi?" Jovano ikut bertanya.     

"Tsk! Sepertinya kalian terlalu asik makan melulu sehingga tidak waspada akan sekitar. Tsk, sungguh ceroboh." Lalu, Zivena mulai berceramah seperti kebiasaan dia dulunya kala masih kanak-kanak.     

Jovano dan Gavin sama-sama terkekeh geli jika Zivena sudah dalam mode begitu. Lucu dan menggemaskan.     

Mengetahui nasehatnya malah direspon tawa, Zivena makin cemberut dan berkata, "Kalian ini bisa diajak bicara serius atau tidak?"     

"Ha ha, oke, oke, maaf … Kak Jo hanya merasa kamu ini sangat imut dan menggemaskan kalau sedang berceramah begitu." Jovano menyatakan apa adanya yang dia pikirkan.     

"Huft! Kak Jo ini payah, kenapa malah fokus kepada itu? Ada yang harus Kak Jo perdulikan." Zivena terlihat makin jengkel.     

"Baiklah, baiklah, ayo ngomong ke Kak Jo kamu ini, apa tadi yang soal … errr … pemuda aneh?"     

"Iya, tadi dia ada di balik kain tebal yang memisahkan ruang."     

"Ohh, itu namanya tirai, Zi."     

"Iya, terserah apa namanya, pokoknya itu!"     

"Menurutmu, kenapa dengan pemuda itu?"     

Zivena terdiam sejenak selama beberapa detik sebelum dia mulai bicara dengan nada seakan meragukan kata-katanya sendiri, "Aku … hm, entah ini aku yang keterlaluan atau apa … tapi aku … aku seperti mengendus aura tak baik dari pemuda tadi."     

"Aura tak baik?" ulang Jovano menggunakan nada tanya.     

Kepala Zivena mengangguk. "Ya, aura tak baik. Seperti … apa, yah … seakan ada sesuatu yang gelap melingkupi orang itu."     

"Dia seperti apa sosoknya, Zi?" Gavin ikut bertanya.     

"Dia pemuda, mungkin usianya hampir sama dengan Kak Jo, lumayan tinggi, tapi jujur saja masih lebih tampan Kak Jo." Zivena blak-blakan memuji kakaknya.     

Hal ini mengakibatkan tawa renyah keluar dari mulut Jovano. "Ha ha ha! Zizi memang adikku paling imut!" Jovano sampai harus berhenti dan mencubit pelan meski gemas ke pipi adiknya.     

"Ihh! Kak Jo, ini serius! Aku berkata serius!" Zivena merengut dengan pipi menggembung dan mulut mengerucut, makin imut.     

"Iya, iya deh, iya, serius. Ini Kak Jo juga sedang serius memuji kamu." Jovano beruntung masih memiliki adik seperti Zivena, adik yang bisa dia andalkan dan baik serta … normal.     

Langkah mereka bertiga tidak terasa sudah mencapai halaman depan rumah yang mereka sewa.     

"Jo!" Sebuah teriakan menghampiri pendengaran ketiga orang itu.     

Kemudian, tampaklah Serafima yang telah siuman dan sehat seperti sedia kala, berlari untuk menubruk Jovano, suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.