Devil's Fruit (21+)

Memperdaya Demi Daya Hidup



Memperdaya Demi Daya Hidup

0Fruit 1458: Memperdaya Demi Daya Hidup     

Setelah pagi menjelang, barulah warga yang mulai keluar dari rumah mereka menemukan Ferdi yang tergeletak di depan rumah orang tuanya.     

"Wah! Kok Mas Ferdi bisa ada di sini?"     

"Kenapa dia, ya ampun!"     

"Itu kenapa anaknya pak Lurah bisa pingsan di depan rumahnya?"     

"Ei! Panggil pak Lurah atau siapa, gitu!"     

Warga mulai berdatangan mengerumuni Ferdi. Ketika mereka hendak mengangkat Ferdi, justru pemuda itu mulai tersadar setelah ada banyak suara di sekelilingnya.     

"Ehh! Mas Fer sudah sadar!"     

"Fer! Ferdi! Kamu gak apa?"     

Warga mulai memegangi Ferdi yang bangun dan kebingungan. Tapi, alih-alih berterima kasih atas perhatian warga padanya, Ferdi justru menepis tangan mereka dengan wajah tak bersahabat.     

"Ferdi! Anakku! Kenapa dia? Anakku kenapa?" Terdengar pekikan panik dari arah rumah pak Lurah, ternyata itu ibunya Ferdi, berlari tergopoh-gopoh ke depan rumah.     

"Kenapa dengan Ferdi? Mana dia?" Pak Lurah ikut berjalan cepat di belakang istrinya.     

"Di sana, Pak!"     

"Monggo, Bu! Itu dia."     

Warga memimpin pak lurah dan istrinya ke depan rumah mereka sendiri untuk menjumpai Ferdi.     

Melihat Ferdi sudah duduk di tanah dengan wajah berhiaskan tanah kering, pak lurah dan istrinya sama-sama panik.     

"Kamu kenapa, Nak?" Pak Lurah  memeriksa tubuh Ferdi.     

"Le, kamu baik-baik saja? Mana yang sakit, Le?" tanya istri pak lurah menggunakan sebutan akrab pada anak di daerah Jawa.     

Namun, bukannya menjawab ayah dan ibunya yang cemas, Ferdi justru cemberut sambil berusaha bangun. Tanpa berkata apapun, Ferdi pun masuk kembali ke dalam rumah.     

Ibunya mengejar. "Le, ayo ke rumah sakit dulu atau ke kliniknya pak mantri, diperiksa dulu, siapa tau ada yang luka!"     

Alih-alih senang atas perhatian ibunya, Ferdi justru mendesis keras sembari berjalan terus menuju kamarnya sendiri.     

"Le! Le! Thole Ferdi!" panggil ibunya, tapi Ferdi sama sekali tidak menggubris dan mempercepat langkahnya ke kamar, lalu menguncinya begitu dia sudah masuk ke sana.     

"Bu, sudah biarkan saja dia." Pak Lurah menepuk bahu istrinya, berusaha menenangkan sang istri yang terlihat gusar.     

Di dalam kamarnya, Ferdi melihat Cempluk sudah berbaring santai dalam wujud kucingnya. Ekornya mengibas pelan di udara dan melirik ketika Ferdi datang.     

Tapi kemudian, saat melihat rona wajah cemberut pemuda itu, Cempluk bergegas mengubah dirinya jadi manusia setelah yakin Ferdi telah mengunci kamar.     

"Mas … Mas Ferdi … Mas …." Cempluk lekas menghampiri Ferdi sambil mengusap-usapkan kepalanya ke dada dan lengan Ferdi layaknya kebiasaan kucing.     

"Semalam kamu meninggalkan aku sendirian di depan rumahku, yah Pluk?" tanya Ferdi dengan nada agak kesal.     

Sadar kalau Ferdi sedang kesal, Cempluk pun membujuk dengan membimbing Ferdi duduk di tepi ranjang dan mulai membelai-belai dada Ferdi, sambil berkata, "Mas … bukan maksud Cempluk meninggalkan Mas. Apakah Mas tahu, apa yang terjadi usai Mas dibuat pingsan?"     

"Ahh, siapa yang membuat aku pingsan tadi malam?" Ferdi jadi ingat akan ini.     

Mata besar Cempluk mengerling manja sambil berlagak takut-takut namun dalam tingkah menggemaskan, menjawab, "Mereka. Mereka yang membuat Mas Fer pingsan."     

"Mereka?" Mata Ferdi melotot dipenuhi aroma emosi.     

Kepala Cempluk bergerak mengangguk-angguk sambil terus bertingkah imut menggemaskan agar Ferdi makin luluh. "Mereka begitu jahat, Mas. Selain membuatmu pingsan, mereka juga menyerang aku, mengeroyok aku, sampai aku … aku terluka … uhuk! Uhuk!"      

Cempluk berlagak terbatuk-batuk, mengakibatkan Ferdi segera beralih dari emosi ke cemas.      

"Pluk, sayank, kamu luka di mana?" Dia lekas memegangi Cempluk yang sedang berlagak terluka. "Katakan, mana yang sakit?"     

"Uhuk! Uhuk! Mas … ini … ini luka dalam, mereka menyerangku di organ-organ dalamku, uffhh … sakit sekali, Mas …." Cempluk makin bertingkah manja dan menampilkan wajah memelas.     

"Mana? Mana yang sakit?" Mendengar sosok tercinta dia menyebutkan mengenai luka dalam, mana mungkin Ferdi tidak cemas?     

"Di sini, mereka memukulku di sini …." Cempluk menyentuh area dadanya. "Uffhh … sakit sekali, Mas … tolong usap di sini …."     

"Iya, sayank … aku usap, yah!" Tangan Ferdi bergegas mengusap-usap lembut dada bagian atas Cempluk.      

Mata Ferdi menatap gundukan yang setengahnya tertutup kain tipis warna kuning. Jakunnya turun dan naik menatap tanpa jeda di sana sembari membayangkan berbagai fantasi liar di kepalanya.     

Mata Cempluk mengerling, dia paham dia berhasil meluluhkan Ferdi, bahkan membangkitkan gairah kelelakian pemuda tersebut. "Di sini juga sakit, Mas …." Kini, tangan halus lentik Cempluk menyentuh pangkal pahanya.     

"Di sana juga?" Ferdi mendelik kaget. Pemuda ini tak tahu bahwa semua perkataan Cempluk hanyalah dusta.     

Cempluk mengangguk. "Mereka kan mengeroyok aku, Mas, ada yang memukul kakiku saat aku berusaha membawa Mas masuk ke rumah. Mereka mengancam, kalau aku membawa Mas masuk, mereka akan patahkan kakiku, hu hu huuu … Mas, aku takut …."     

"Iya, sayank, jangan takut, jangan takut, yah!" Ferdi pun beralih mengusap-usap pangkal paha nan mulus milik Cempluk dengan menahan birahinya sekuat tenaga.     

"Mas … Mas Ferdi … tolong beri energi Mas padaku, yah … Cempluk sangat butuh itu …." Sembari mengatakannya, Cempluk menyibak kain tipis yang menutupi pinggang dan kakinya sehingga tampaklah surga dunia di hadapan Ferdi.     

Rasanya Ferdi sudah tidak bisa menahan lebih lama, apalagi tingkah Cempluk semakin mengundang dengan menarik tangan dia untuk menyentuh ke pusat kebahagiaan si siluman di bawah sana.     

"Aaanghh … Mas, aku butuh kamu, Mas … aku butuh energi cintamu. Buktikan kau mencintaiku, Mas …." Dengan gerakan gemulai, Cempluk membuka kedua pahanya sembari menatap binal ke Ferdi.     

Maka, pemuda itupun jatuh tenggelam dalam pesona sang siluman iblis. Dia tidak mengetahui, energi cinta yang dimaksud Cempluk adalah energi hidup Ferdi sebagai manusia.     

.     

.     

"Sialan sekali siluman bedebah itu! Ingin aku remas dia sampai jadi perkedel!" seru Serafima dengan sengitnya.     

"Tenang, sayank, kendalikan emosimu." Jovano mengusap pipi istri pertamanya. "Kita tidak boleh gegabah menangani siluman itu. Ada manusia yang sudah dia sandera sebagian jiwanya."     

"Hm, itulah kenapa Ferdi sepertinya sangat patuh ke siluman itu, yah!" Shona mengerutkan kening sambil berpikir. Suaminya mengangguk tanda menyetujui ucapannya.     

"Kita tidak bisa berlama-lama, Kak Jo, sebelum nantinya pemuda bodoh itu kehabisan semua daya hidup dia. Tsk, dasar manusia tolol, begitu mudahnya terjerat segala yang terlihat bagus di mata!" Zivena geram sendiri.     

"Ha ha, sabar, Zizi sayank. Kak Jo udah siapkan senjata pemungkas Kakak. Semoga aja ini beneran bisa bikin keok siluman itu." Jovano menepuk puncak kepala adiknya.     

"Senjata?" Ketiga perempuan itu memekik bersamaan.     

"Ya, lebih tepatnya … siapa." Jovano tersenyum simpul.     

"Siapa?" Mereka makin bingung.     

"Keluarlah, duhai senjata pamungkas!" seru Jovano.     

Lalu, muncullah Gavin ke ruangan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.