Devil's Fruit (21+)

Ingin Memonopoli Gavin



Ingin Memonopoli Gavin

0Fruit 1464: Ingin Memonopoli Gavin     

Betapa bahagianya Cempluk usai mendapatkan malam panas bersama Gavin. Baru kali ini dia mendapatkan permainan membara yang sungguh bergelora.     

Dia semakin yakin bahwa sudah sepantasnya dia lebih memilih Gavin ketimbang Ferdi. Bahkan lelaki-lelaki sebelum Ferdi saja tidak ada yang senikmat Gavin, berikut pula mengenai daya ketahanan permaianan Gavin.     

Pokoknya, Cempluk mendadak saja tergila-gila dengan Gavin.     

Dia jadi sering keluar mengikuti Gavin, meninggalkan Ferdi begitu saja tanpa sudi memberikan alasan selain, "Aku sedang ingin jalan-jalan agar tidak bosan."     

Kalau sudah seperti itu, Ferdi hanya diam dan mengurung diri saja di kamar, melakukan hal lainnya.     

Sementara itu, setiap Cempluk mengikuti Gavin di luar, dia jadi susah untuk pergi ke tempat Jovano. Namun, karena ini sebuah misi, maka semuanya tentu sudah dipersiapkan dengan sangat teliti.     

Gavin di luar menemui warga dan dia dengan pandai membaur dengan mereka sambil melakukan kegiatan seperti mahasiswa sedang praktek KKN yang normal.     

Kadang Gavin menyediakan diri untuk mengajar anak-anak di desa itu bahasa Inggris ataupun matematika. Kadang pula Gavin membantu bapak-bapak yang sedang membuat saluran air.     

Semua kegiatan KKN Gavin diamati oleh Cempluk dengan pandangan kagum dan makin cinta.     

Ya, Cempluk kini merasa dirinya jatuh cinta pada Gavin. Dia menginginkan Gavin tidak hanya sebagai mangsanya namun juga pasangan dia.     

Awas saja kalau ada perempuan yang berani mendekati Gavin, akan dia cakar tanpa ragu-ragu.     

Dan hal itu terjadi juga di hari kedelapan Cempluk mengikuti Gavin.     

Ada sekumpulan perempuan remaja yang baru saja pulang dari sekolah dan mendapati Gavin sedang membantu mencangkul saluran air bersih yang dikerjakan warga secara gotong-royong.     

Melihat tubuh atletis dengan otot maskulin di lengan Gavin beserta 'roti sobek' memikat pada perutnya setiap dikontraksi saat Gavin mengayunkan cangkulnya kuat-kuat, itu sungguh membuat mereka cekikikan sembari saling berbisik.     

Kemudian, salah satu perempuan yang sepertinya lebih berani ketimbang yang lainnya pun maju mendekat ke Gavin sambil menyodorkan sebotol air mineral. "Minum, Mas, ini masih baru, kok! Belum aku buka."     

Teman si perempuan tadi hanya bisa ternganga melihat keberanian kawan mereka. Rupanya si perempuan itu sudah mempersiapkan botol air mineral baru tadi dari sekolahnya, sengaja akan diberikan ke Gavin jika nantinya melihat pemuda itu bekerja untuk warga.     

Kebetulan, hari ini adalah momen tepat bagi perempuan muda itu untuk memberikan air minum ke Gavin.     

Terkejut dengan sikap lugas perempuan di depannya, Gavin terkekeh dan berkata, "Wah, Dik. Kok malah repot begini?"     

"Tidak repot, kok Mas. Ini kebetulan aku punya botol ekstra, makanya aku kasi untuk Mas saja." Tangan perempuan itu masih terjulur dengan botol di genggamannya ke Gavin.     

Gavin menoleh ke bapak-bapak dan pemuda di sana, mereka ada yang menyoraki dan ada pula yang terkekeh melihat kelakuan remaja perempuan itu dan Gavin yang terlihat serasi.     

"Meina berani sekali, yah!"     

"Wah, aku jadi iri!"     

"Meina memang frontal kalau melihat lelaki kinclong!"     

"Tau begitu, aku juga tadi beli botol mineral sebelum ke sini!"     

Kawan-kawan Meina saling berbisik dan menjadi iri akan keberanian Meina terhadap Gavin.     

Karena desakan dari bapak-bapak di dekatnya, Gavin pun menerima botol air mineral itu. "Padahal sudah ada ibu-ibu yang membuatkan es teh untuk kami, loh!" Gavin menunjuk ke arah meja kecil untuk menaruh dispenser plastik sederhana berisi es teh dan belasan gelas plastik.      

"Siapa tau nanti Mas ingin minum air putih." Meina menjawab sembari menampilkan senyum manisnya. Gadis ini memang berparas cantik, ditunjang pula dengan kulit putih yang lebih putih bersih ketimbang kebanyakan temannya serta tubuh semampai dengan lekuk menarik di beberapa area.     

"Sudah, Mas Arvin, terima saja!"     

"Iya, Mas Vin, sudah terlanjur dibelikan."     

Bapak-bapak semakin menggoda keduanya.     

Gavin terkekeh dan mengucap, "Ya sudah, aku terima ini, yah! Terima kasih." Gavin membalas dengan senyum rupawan dia, menyebabkan hati Meina melonjak dan kawan-kawannya mulai merasa meleleh batinnya menatap senyum tersebut.     

"Mas, lain kali bisa tidak yah?" Meina ternyata masih berusaha mengajak bicara Gavin.     

"Bisa apa, yah, Nona?"     

"Jangan panggil nona, panggil Mein aja." Meina meremas tangannya sendiri sambil bersikap semanis mungkin sebagai remaja putri.     

"Oke, Mein, ingin dibantu apa?" Gavin mengulangi dengan pertanyaan menggunakan nama panggilan yang diminta Meina.     

"Aku … bisa tidak kalau Mas mengajariku bahasa Inggris dan matematika? Aku … aku sangat lemah di pelajaran itu." Ucapan berani Meina ini jelas saja membuat kawan-kawannya terperanjat.     

Sejak kapan Meina sangat lemah dalam pelajaran bahasa Inggris dan matematika? Meski tidak cemerlang, namun nilai Meina di kedua mata pelajaran itu tidak buruk!     

Lagipula, bukannya Gavin biasanya mengajar untuk anak-anak kecil dari kelas 1 hingga 4 SD?     

Karena tidak enak hati sudah terlalu lama mengobrol di tempat orang sedang bekerja, mau tak mau Gavin permisi ke para warga untuk naik ke tempat yang lebih pantas untuk mengobrol dengan Meina.     

"Mengajari kamu bahasa Inggris dan matematika?" ulang Gavin menggunakan nada tanya.     

Kepala Meina mengangguk sehingga rambut panjangnya yang dibuat curly di bagian ujungnya bergerak-gerak indah di depan dadanya.     

"Apa sangat buruk nilai kamu di dua pelajaran itu?" Gavin ingin memastikan saja. Dia tak enak apabila nantinya malah ada banyak remaja putri yang seperti Meina.     

"Iya, Mas, tapi kalau Mas keberatan, ya sudah, tak apa," ucap Meina sembari berikan kuluman senyum seakan kecewa tapi masih berharap.     

"Nanti coba aku lihat jadwal aku dulu, yah!" Gavin tidak berani main 'iya' saja.     

"Ya sudah, Mas, aku pulang dulu, yah!" Meina pun pamit dengan sikap manis layaknya remaja putri yang sedang malu-malu tapi mau.     

"Oke, hati-hati di jalan, yah!" Gavin mengangguk tanpa memudarkan senyum tampannya. Dia juga melambaikan tangan ke kawan-kawan Meina lainnya di dekat sana.     

Segera, suara para remaja putri mendesah setelah disapa Gavin pun terdengar seperti sebuah melodi simfoni darah muda.     

Meina pun tersenyum sambil berjalan meninggalkan Gavin dengan dua tangan diletakkan di belakang tubuh, diayun-ayun agar terlihat manis menggemaskan, sesekali dia akan menoleh ke belakang, mencari wajah Gavin, dan hatinya melonjak lagi jika melihat Gavin tersenyum padanya.     

Semua adegan itu dilihat dengan jelas oleh Cempluk. Mata kuningnya berkilat penuh akan aroma cemburu dan berbahaya.     

.     

.     

Malam harinya, di jam 7, ketika Gavin sedang berakting memeriksa pelajaran kuliahnya, dia heran karena tidak mendapati Cempluk di kamarnya.      

Biasanya kucing putih itu akan mendatangi kamarnya usai petang. Tapi ini sudah hampir jam 8, siluman kucing itu belum juga datang. Padahal dia sudah berakting seperti ini dengan buku-bukunya.     

Gavin tidak tahu, di tempat lain, di sebuah rumah, seorang gadis menjerit pilu karena wajahnya baru saja dicakar seekor kucing putih besar hingga berdarah-darah.     

Itu adalah Meina yang sedang diserang ganas oleh Cempluk.     

Mendadak, telinga Gavin mendengar seruan Jovano dari anting komunikasi mereka. "Gav! Panggil siluman itu! Dia sedang menyiksa remaja yang ketemu kamu tadi siang!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.