Devil's Fruit (21+)

Dukun Bule



Dukun Bule

0Fruit 1439: Dukun Bule     

"Tuan Agung sudah menetapkan hukuman baru untukmu karena kau berani melanggar sabda Tuan Agung." Nafael menatap datar tanpa ekspresi ke Jovano.      

Jovano penasaran dan bertanya, "Hukuman? Apa hukumannya?"     

"Masa hidupmu akan dikurangi." Lalu, Nafael menghilang tanpa mengucapkan hal lainnya.     

Mendengar itu, Jovano mengambil napas panjang dan dalam hingga paru-parunya penuh akan udara dan dia hembuskan setelahnya kuat-kuat. "Hghh! Ya sudah, kalo emang musti kayak gitu, ya udah, mo gimana lagi." Lalu dia terkekeh ringan.     

Setelah itu, Jovano menoleh ke jiwa Mardi dan dia berkata, "Yuk, kita balik ke tempatmu."     

"Tuan …." Jiwa Mardi masih agak heran dengan penampilan Jovano yang sangat bule tapi kenapa logatnya seperti sudah tinggal di Indonesia sejak lahir?     

"Panggil Jo aja, atau kak Jo juga boleh." Jovano tidak ingin terlalu terdengar formal dengan dipanggil tuan, itu terlalu kaku di telinganya.     

"Emm, iya, Kak Jo." Jiwa Mardi mengangguk.     

Jovano pun memegangi tangan jiwa Mardi dan terbang melesat ke rumah pemuda itu. Di sana, ada banyak kerabat Mardi yang berkumpul di depan pintu kamarnya dan ada orang tua serta kakeknya di dalam kamar dengan 2 gadis bule yang dia yakini itu adalah teman Jovano.     

"Masuklah ke tubuhmu, pelan-pelan, jangan buru-buru biar kagak terpental." Jovano memberikan arahan.     

Jiwa Mardi mengangguk dan mulai memposisikan dirinya di dekat tubuh fisiknya. Ia melakukan sesuai yang Jovano katakan dan bergerak sangat pelan ketika merebahkan dirinya kembali ke tubuh ragawinya.     

Sementara itu, Jovano juga mulai masuk ke tubuhnya sendiri.      

"Mardi!"     

"Ya Tuhan, Mardi!"     

Semua yang di kamar berteriak ketika melihat tangan Mardi bergerak-gerak sebelum matanya membuka pelan-pelan.      

Shona menghentikan penyaluran energi healing-nya dan menarik tapak tangan dari Mardi.     

Heboh seketika di rumah itu. Mardi yang tadinya tidak bisa dibangunkan oleh banyak paranormal dan pemuka agama di sana, ternyata malah bisa ditangani oleh bule muda seperti Jovano. Ini seperti sebuah ironi, sebuah lelucon yang keterlaluan ketika diceritakan ke orang lain nantinya.      

Kemudian, adegan haru-biru pun terjadi di kamar itu, orang tua Mardi bersimbah air mata ketika memeluk putra mereka, demikian juga Pak Tarno dan istrinya, ikut mengusap air mata yang deras mengalir di pipi mereka.     

Pak Tarno menoleh ke Jovano dan berkata, "Kami sangat berterima kasih atas pertolongan Mister. Sungguh budi baik Mister tidak akan kami lupakan." Beliau bahkan menekuk lutut hendak bersujud di hadapan Jovano.     

Namun, Jovano sigap menangkap Pak Tarno dan mengatakan, "Jangan begini, Pak. Tak perlu berlutut, Pak Tarno. Saya hanya melakukan yang seharusnya saya lakukan. Kalau Bapak berlutut, saya justru merasa berdosa."     

Pak Tarno makin terharu dengan jawaban Jovano.      

"Jadi, sebenarnya, Mardi kena seret tumbal pesugihannya Pak Haji Udin atau bagaimana, Mister?" tanya salah satu kerabat yang berdiri di ambang pintu.     

Jovano menjawab, "Tidak, dia tidak dibawa jin pesugihan, tapi memang jin penghuni kebun itu saja. Walau sebenarnya tadi memang dia ada di alam tempat banyak jin pesugihan berada." Dia tidak menyebutkan mengenai adanya jiwa-jiwa korban tumbal pesugihan.     

"Jadi, pak haji Udin tidak melakukan pesugihan?" tanya istri Pak Tarno.     

"Sepertinya itu hanya rumor, Bu. Yah, meskipun kita tetap harus waspada akan dimanapun kita berada." Jovano menjawab secara diplomatis. Dia tidak ingin warga seenaknya saja menuduh orang lain melakukan pesugihan jika belum ada bukti nyatanya.     

Kemudian, Shona berinisiatif untuk memberikan energi healing dia lagi supaya Mardi bisa lebih cepat pulih dan lebih kuat.     

Sembari menunggu Shona bekerja di kamar Mardi ditemani ayah dan ibu pemuda itu, Jovano dan Serafima duduk di ruang tamu rumah Pak Tarno. Banyak kerabat yang ikut duduk di sana dan bertanya ini serta itu ke Jovano.     

Sebagai orang yang sopan, tentu Jovano menjawab sesuai kapasitasnya. Sesekali dia memberikan nasehat pada mereka dan berbagai saran baik lainnya.     

Setelah Shona selesai memberikan energi healing-nya ke Mardi, dia bergabung dengan Jovano dan Serafima.     

"Sepertinya kami harus kembali pulang ke rumah, Pak Tarno." Jovano mulai pamit ijin pulang.     

"Ohh, sebentar, saya panggil dulu sopir mobilnya!" Pak Tarno bergegas mencari si sopir.     

Sementara itu, dari arah belakang, keluar Bu Tarno dengan beberapa anggota keluarganya muncul di hadapan Jovano sambil membawa banyak hasil bumi seperti setandan pisang, sekeranjang buah mangga, sekarung kecil beras, dan juga berbagai bumbu dapur.     

"Bu? Ini …." Jovano sampai bingung melihat apa yang diserahkan di hadapannya.     

"Ini sekedar rasa terima kasih kami atas bantuan Mister Jo. Maaf kalau hanya ini kemampuan kami. Mohon diterima." Bu Tarno berkata dengan suara lembut disertai senyum ramah bersahaja wanita desa.     

Jovano dan kedua istrinya saling pandang. Meski sebenarnya merasa sangat tak enak hati malah membuat keluarga itu memberikan banyak hal padanya, dia tak enak juga jika menolaknya. "Um, baiklah, Bu, saya sungguh berterima kasih atas ini semua, kebetulan saya memang ingin buah mangga dan istri-istri saya suka pisang," ucapnya untuk menyenangkan hati keluarga Pak Tarno.      

'Yah, istri-istriku memang sangat menyukai pisang, yaitu pisangku,' batin Jovano sambil melirik ke Shona dan Serafima sambil tersenyum.     

Maka, diantar dengan lambaian tangan oleh keluarga Pak Tarno, Jovano dan dua istrinya, beserta Pak Tarno, kembali ke desa tempat Jovano menginap.     

Setelah sampai di rumah sewanya, Pak Tarno menyerahkan amplop yang Jovano tahu isinya pasti uang. Dia menolak amplop itu dan berkata dia menolong tanpa mengharapkan imbalan apapun, terlebih uang.     

Jovano justru menahan agar Pak Tarno jangan pulang dulu saat lelaki tua itu hendak kembali ke mobil. "Pak, ikut saya sebentar, bisa?"     

"Iya, Mister." Pak Tarno yang agak bingung, berjalan masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi ruang tamu.     

Jovano berlagak masuk kamar dan saat keluar, dia membawa sebuah kantung warna putih setinggi kertas folio, namun kantung itu terlihat gemuk penuh isi.     

"Pak, ini sedikit rasa kasih sayang kami ke Pak Tarno." Jovano menyerahkan kantung gemuk itu.     

"Apa ini, Mister?" Pak Tarno heran dan membukanya. Ketika melihat isi dari kantung gemuk itu adalah uang merah memenuhi kantung, Beliau terkejut sampai menjatuhkan kantung itu. "Mister!" Ia menatap bingung ke Jovano. Apa maksud dari pemuda itu? Beliau tak paham.     

"Bapak, ini sekedar rasa sayang kami kepada Bapak dan keluarga. Ohh, dan di sana juga ada uang yang bisa dipakai membeli motor untuk Mardi. Tolong diterima, yah Pak!" Jovano memungut kembali kantung itu dan diserahkan ke Pak Tarno.     

Seketika, mata Pak Tarno basah. Ia tak percaya mendapatkan begitu banyak uang dari Jovano. Ia sampai menjatuhkan lututnya ke lantai dan menangis haru.     

"Ya ampun, Pak! Jangan begini. Sudah, jangan begini." Jovano membantu Pak Tarno berdiri lagi sambil mengusap air mata di pipi Pak Tarno.     

"Sungguh tidak menyangka ada orang sebaik Mister. Saya benar-benar tidak menyangka." Beliau masih menangis.     

Setelah itu, nama Jovano makin gemilang tersebar luas dan dia disebut-sebut sebagai dukun bule. Jovano hanya tertawa jika digoda dengan sebutan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.