Devil's Fruit (21+)

Mengunjungi Kampung Batik Sambil Memborong



Mengunjungi Kampung Batik Sambil Memborong

0Fruit 1478: Mengunjungi Kampung Batik Sambil Memborong     

Zivena dan yang lainnya memandang heran ke Jovano usai mereka menyelesaikan dukun dan para makhluk astralnya.     

Itu karena Jovano mendadak saja bisa memindai memori pemilik hotel tersebut hanya berdasarkan fotonya saja di lobi utama.      

Adiknya bahkan bertanya mengenai itu dan menganggap kakaknya mendapatkan kekuatan baru.     

"Aku? Ahh, entahlah, aku sendiri tak tau kenapa juga bisa tiba-tiba memiliki kelebatan memori orang hanya dari melihat fotonya saja." Jovano mengangkat bahunya dengan cepat.     

Lantas, baru saja mereka hendak kembali ke kamar masing-masing, muncul malaikat Nafael. Kali ini dia sendiri saja tanpa didampingi siapapun entah dari ras malaikat maupun iblis yang bekerja di jalan Sang Sumber.     

"Ohh, Kak Nafael, ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan lagi?" tanya Jovano menyapa si malaikat level tinggi tersebut.     

"Aku datang membawa firman Tuanku Agung kepadamu." Nafael menjawab. Matanya melirik ke Zivena namun gadis itu langsung memalingkan pandangan dan mendengus. Nafael pun tidak menggubris.     

"Ohh! Silahkan." Jovano tersenyum.     

"Tuanku Agung berfirman padamu, Jovano putra api dan cahaya, agar kau tidak bermain-main dengan kekuatan istimewamu itu secara berlebihan." Nafael bertutur sesuai yang diamanatkan oleh Sang Sumber padanya.     

"Ehh? Maksudnya bagaimana, Kak Nafael? Tolong beri pencerahan pada aku yang bodoh ini." Jovano merendah.     

"Tuanku memaksudkan agar kau tidak berlebihan menggunakan api dan cahaya istimewamu terhadap makhluk Tuanku lainnya." Nafael menjelaskan dengan kalimat sedikit berbeda.     

Jovano lekas berpikir dan dia mengonfirmasinya, "Apakah aku dilarang memakai Api Hitam Neraka dan Cahaya Surgawi untuk menindak astral yang berdosa meski sudah direstui Sang Sumber untuk dimusnahkan?"     

"Tuanku memperbolehkan itu, hanya jangan berlebihan, jangan suka melebih-lebihkan apa yang sudah berikan Tuanku Agung kepadamu. Sungguh lebih baik jika kau merendah dan menggunakannya seperlunya saja." Nafael menjabarkan lebih detil meski dalam bahasa yang tergolong rumit.     

"Ahh, jadi … tetap boleh tapi tak boleh berlebihan. Baiklah." Jovano mulai paham dan mengangguk.     

"Memangnya kenapa kalau kakakku memakai kekuatannya secara berlebihan? Itu hak dia sebagai pemilik kekuatan itu, kan?" Zivena membela kakaknya.     

Mata biru terang Nafael menatap pada Zivena dan berkata, "Kekuatan itu memang miliknya, namun itu berasal dari Tuanku Sang Sumber segala hal di alam ini. Apakah kau ingin kekuatan itu dicabut oleh Tuanku?"     

Zivena tidak berkutik, dia bungkam. Rupanya itu konsekuensinya apabila kakaknya menggunakan kekuatan itu secara berlebihan.     

Nafael kembali menoleh ke Jovano dan berkata, "Tidak sepatutnya kau menggunakan api istimewamu itu kepada makhluk seperti jin. Itu terlalu berlebihan. Para jin itu sudah bisa kau hukum menggunakan api biasa saja, tak perlu melebih-lebihkan dengan api hitam seperti tadi. Itu hanya patut digunakan pada iblis saja."     

Jovano makin paham. Ternyata Sang Sumber ingin Jovano bersikap patut pada apa yang sedang ditindak. Kalau ingin membunuh kecoak, tak perlu menggunakan kapak. Seperti itu perumpamaannya.     

"Baiklah, aku paham, Kak Nafael. Terima kasih sudah menyampaikan ini. Berikan salam hormatku pada Sang Sumber. Aku berjanji akan tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan kekuatanku setelah ini." Jovano mengangguk sopan ke Nafael.     

"Ya." Nafael membalas dengan anggukan pula lalu dia mulai menghilang dari hadapan kelompok Jovano.     

Sepeninggal Nafael, Jovano mengajak adik dan kedua istrinya kembali ke kamar masing-masing. Malam itu, tak ada satupun makhluk astral yang memberikan gangguan kepada pengunjung hotel tersebut.     

Semuanya terasa tenang dan damai di sana.     

-0---00—0-     

"Kita hendak ke mana, nih?" tanya Serafima ketika mereka berkumpul di lobi lantai mereka di pagi jam 8.      

"Bagaimana kalau jalan-jalan dulu sebentar hari ini?" Jovano memberikan ide.     

"Baguslah! Aku memang ingin bersantai sejenak." Serafima mengangguk puas akan ide suaminya.     

Maka, setelah menyewa mobil untuk keperluan mobilitas mereka berempat, mereka bertanya pada sopir yang membawa mereka mana tempat wisata menarik di Pekalongan.     

"Kalau di dalam kota begini, lebih banyak wisata kulinernya, Pak. Tapi kalau ingin wisata alam, ada di daerah kabupaten atau pinggiran kota, bahkan ada banyak di Karesidenan Pekalongan."      

"Memangnya karesidenan Pekalongan itu mencakup apa saja, Pak Sopir?" tanya Jovano yang duduk di kursi navigasi.     

"Itu mencakup Kota dan Kabupaten Pekalongan, Kota dan Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Batang." Sopir menjabarkan secara general.     

"Ohh, sepertinya luas juga, yah!" Jovano mengingat peta Indonesia di kepalanya dan manggut-manggutkan kepala.     

"Bapak ini masih muda dan pasti bukan orang Indonesia, kan?" tanya si sopir.     

"Ohh, saya punya darah Indonesia dari ibuku, Pak!" Jovano dengan bangga menyebutkannya.     

"Wah, ternyata blasteran! Pantas saja lancar bicara bahasa Indonesia." Sopir terkesan dengan identitas Jovano.     

"Ha ha, begitulah. Ohh, mobil dan juga Pak Sopir bisa saya sewa selama beberapa hari, kan?"      

"Bisa, Pak! Panggil saja saya Pak Aan."     

"Baiklah, Pak Aan. Saya Jovano, yang di belakang itu 2 istri saya dan 1 adik saya."     

Pak Aan terkejut mendengar ucapan Jovano. "Wah! Bapak ternyata bule yang berpoligami! Sungguh mengejutkan."     

"Ha ha ha … begitulah, Pak!" Jovano tidak ingin menjabarkan lebih jauh mengenai itu dan mengiyakan saja.     

"Jadi, Pak Jovano ini ingin wisata jenis apa sekarang ini?" tanya Pak Aan.     

"Hm … katanya Pekalongan ini kota batik, benar kan Pak?"     

"Ya, benar, Pak Jovano."     

"Panggil saya Pak Jo saja biar gampang."     

"Ahh, baiklah, Pak Jo. Jadi, Pak Jo ingin berwisata ke kampung batik?"     

"Wah, boleh! Tolong bawa kami ke kampung batik paling bagus di sini, yah Pak Aan."     

"Baiklah, Pak Jo! Ada 2 yang menurut saya paling bagus dan cocok untuk para bule." Pak Aan bersemangat. "Di sana batiknya kualitas atas dan sering dieskpor keluar negeri!"     

"Wah, saya tak sabar ingin melihatnya, Pak! Let's go!" Jovano merespon, ikut bersemangat juga.     

Pak Aan pun menbawa mereka ke salah satu kampung batik yang terkenal di Pekalongan.  Lokasinya masih di dalam kota dan tidak membutuhkan waktu lama dari hotel mencapai tempat tersebut.     

Ketika rombongan Jovano masuk ke tempat itu, mereka menyaksikan beragai rumah dengan warna-warna cerah di sepanjang kampung dan ada pula rumah yang menjadi workshop sebagai tempat pembuatan batik serta ada yang menjadi showroom.     

Jovano memilih salah satu yang sepertinya menjanjikan dan melihat-lihat batik di sana.      

"Ternyata ini yang namanya batik. Warnanya sangat cerah dan motifnya unik, yah!" Shona memegang salah satu kain batik yang dipajang di showroom.     

"Ini seperti motif etnik." Zivena menyahut.     

Hanya Serafima saja yang diam tanpa bisa memahami topik pembahasan timnya. Batik? Mana dia tahu mengenai hal tersebut? Di Antediluvian tak ada kain batik!     

Pada akhirnya, Jovano memborong banyak baju dan juga kain batik dari beberapa showroom di sana untuk dirinya dan juga kedua istri serta adiknya.      

"Aku tak sabar ingin pakai baju yang ini dan akan berfoto untuk akun instagramm aku." Shona teringat sudah begitu lama dia tidak menengok akun media sosialnya.     

"Apa itu akun instagramm?" tanya Serafima.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.