Devil's Fruit (21+)

Kehidupan Bersama Oma dan Opa



Kehidupan Bersama Oma dan Opa

0

Fruit 4: Kehidupan Bersama Oma dan Opa

=[ Andrea POV ]=

"Oma~ Drea pulang~"

BRUKK!

Tas yang tadi ada di bahu kini udah nangkring tak elit di sofa ruang tamu sempit rumah kecil kami. Hunian kami emang sederhana. Bahkan mungkin kelewat sederhana saking kecilnya. Tapi Opa bikin nih rumah jadi dua lantai. Yang atas khusus untuk kamar gue ama kamar Oma-Opa.

"Duh.. duh.. cucu manis Oma masih aja main lempar tas sembarangan. Ckck~" Oma gue muncul dari ruang belakang seraya geleng-geleng liat kelakuan si cucu yang bisanya nyengir ditegur lembut begitu. Eaaa~

"Hehe~ Oma, ini kan udah trademark aku. Nanti kalau beda, bukan Drea lagi donk namanya. Jyehehee~" Gue menggaruk rambut cepak gue. Kalo ama orang yang lebih tua—apalagi ke Oma ama Opa tersayang, gue gak pernah pake bahasa gaul. Gue kan tau adat, mameenn!

Satu lagi anak seumuran gue yang gue gak bisa pake bahasa gaul. Yaitu ma Shelly. Kalian pasti udah tau, kan? Gak tau napa, bawaannya kalo ama dia gak tega ngucap 'elu – gue' gitu. Mungkin dia saking berkharisma-nya ampe gue mikir dia selevel ama Oma en Opa. Maksudnya udah keliatan tuir, gitu? Ntah deh! Hahah!

"Hghh~ dasar kamu~ ada aja ngelesnya. Ya sudah sini makan. Oma udah bikin jengkol goreng bumbu rendang." Oma balik kanan dan menuju ke dalam diikuti cucunya yang cakep ini. Ehekk! Wajar lah muji diri sendiri!

"Aseekk!! Bakal 3 piring nih!" Gue langsung aja tersenyum sumringah dan lekas menempatkan diri di kursi makan.

"Heehh! Jangan habiskan jatah Opa, loh!" Tetiba, si Opa sudah muncul dan mengacak rambut di ubun-ubun gue. Cuma Opa aja yang gue bolehin ngacak rambut di sana. Jangan harap yang lain bisa. Bakalan gue ciat ntar! Toh Oma kagak pernah ngacak ubun-ubun gue. Oma seringnya ngelus pipi gue. Oma tuh lembut banget, kalem kayak Shelly.

"Opa tumben pulang gasik?" tanya gue sambil mata mengikuti pergerakan Opa yang menuju ke belakang untuk mencuci tangan dan kakinya.

Opa gue ini buruh toko mebel. Walau udah tua, tapi Opa tetep maksain untuk kerja demi bisa hidupi gue dan Oma. Sedangkan Oma kerja jadi penjahit di rumah. Karena pekerjaan Oma itu bagus dan rajin, maka banyak tetangga sini yang sering meminta jasa Oma. Apalagi kalo sudah menjelang hari raya, duuhh~ rumah isinya kain dan kertas dimana-mana.

Makanya, sebenarnya gue kepingin banget bisa bantu mereka dengan kerja, tapi mereka malah melarang dan meminta agar gue fokus sekolah aja. Itulah kenapa gue kagak diperbolehkan loncat kelas oleh Oma.

Kesannya gue muna banget yah udah ngebacot soal itu ke bebeb Shelly tadi pagi. Tapi gimana lagi, gue malas bilang kalau Oma dan Opa memintaku begini dan begitu. Ngapain buang energi jelasin gitu ke orang lain?! Toh, bebeb biasanya pasti iya-iya aja ama semua penjelasan gue, yiihaa!

"Oma~ nambah lagi dong satu piring," ucap gue sambil sodorkan piring kosong ke Oma yang sedang berdiri di dekat magic jar.

"Ini udah piring ke berapa nih, Drea?"

"Ketiga. Ini mo keempat. Hehe~" Gue gak jadi menggaruk idung karena tangan kanan udah terlanjur belepot bumbu rendang. Gue kan suka makan pakai tangan telanjang, meenn!

Oma cuma geleng-geleng. "Apa kamu nggak makan di kantin tadi?"

"Tadi sih waktu rehat pertama ada Shelly yang traktirin. Tapi pas rehat kedua, Shelly dipanggil ke ruang OSIS, jadinya aku kelaperan, Oma."

"Uang saku dari Opa ama Oma kurang?" Kini Oma duduk sambil angsurkan sepiring nasi ke gue yang langsung gue sambut bahagia sambil menyendokkan rendang jengkol untuk dipindah ke piring gue.

"Umm—enggak sih~ tapi~" Gue belagak mikir sambil liatin langit-langit rumah yang udah berwarna putih bluwek. "Ihh, Oma gak suka aku makan banyak, yah?" Langsung aja gue pasang tampang sedih tapi makan tetep lahap.

"Nggak gitu, sayank. Oma seneng kok kamu makannya banyak. Kan kamu lagi masa pertumbuhan." Oma mengelus pipiku sambil menjumput beberapa butir nasi yang nempel di sana. Gue kalo makan hardcore emang gitu! "Oma hanya gak mau kamu merepotkan temen-temen kamu soal jajan dan makan."

"Aihh Oma~ biyarin ajwa! Khan mwereka juja udah ngwepotin aku."

"Telen dulu makananmu, sayank. Dan sisakan beberapa jengkol untuk Opa-mu, yah."

"Ada apa, nih?" Akhirnya Opa pun bergabung di meja makan kecil tersebut. "Waduh! Kok jengkolnya tinggal dikit?" Mata Opa membelalak tak percaya.

"Hehe~ syowri Opa~ saking ueenakknya masakan Oma, hehe~"

"Andrea, telan dulu. Opa jijik liat nasi berhamburan dari mulutmu gitu."

"Ayay, Sir!" Gue langsung telan semua yang sedang ada di mulut. Setelah itu buru-buru sambar gelas berisi air es untuk melancarkan rasa seret di tenggorokan. "Ahhh~"

Oma dan Opa kompakan geleng-geleng liat tingkah gue. Gue hanya kasi cengiran lebar. Mo gimana lagi? Gue ini ya begini.

Sedari kecil hanya berusaha kuat dan tegar meski memendam rasa rindu pingin memiliki Ayah dan Ibu kayak anak lainnya. Tapi Oma dan Opa terus mencurahkan segala rasa sayang mereka. Bukannya gak tau terima kasih, tapi—tetap aja rasanya beda. Mereka bukan Ayah-Ibu gue yang sebenarnya, kan?!

Gue sih bersyukur meski gak ada orangtua kandung, namun masih ada kakek dan nenek yang senantiasa menyayangi. Tapi—tetap beda, kan? Kan? Kan??!

Anggap saja gue ini banyak maunya.

=[ Oma POV ]=

Rasanya selalu ingin menangis tiap melihat senyum ceria Andrea. Dari lahir ke dunia ini ia tak pernah tersentuh orangtua kandungnya. Ibunya langsung pergi menghilang entah kemana begitu selesai melahirkan Andrea.

Kami rela menyingkir dari desa daripada penduduk mencelakai cucuku satu – satunya milikku, satu – satunya peninggalan dari putriku tercinta, satu – satunya yang mengingatkanku akan Nivria.

Tadinya suamiku sudah akan membunuh Andrea ketika Nivria menghilang dan bayi merah itu tak punya detak jantung meski menangis keras begitu lahir. Suamiku mengira Andrea benar anak setan.

Aku waktu itu bersujud bercucuran airmata dan tanganku belepot darah persalinan sembari mendekap bayi mungil nan sangat cantik itu, memohon pengampunan pada suamiku yang sudah memegang parang tajam siap ditebaskan ke makhluk tak berdosa di pelukanku.

"Jangan, Yah! Jangan! Kumohon! Ini mahluk suci yang tak punya dosa pada siapapun, Yah! Dan dia satu-satunya warisan dari Nivria! Jangan berani-beraninya kau menyakiti bayi ini, Yah! Nivria sudah berjuang menantang dunia demi melahirkan anak ini! Jangan berani kau menyentuhnya dengan niat jahat apapun!" kalapku waktu itu.

Dan suamiku tak lama menurunkan senjata tajamnya, membuangnya ke sudut ruangan dan ikut menangis bersamaku.

Setelah Andrea menginjak usia balita, kami pun memutuskan pindah ke kota yang jauh terhalang oleh lautan daripada terus dimusuhi penduduk desa kami. Terlebih ini demi keselamatan Andrea juga.

Kami menjual semua harta yang kami punya untuk hidup di pulau seberang dan menetap di kota besar yang setidaknya masyarakatnya tidak terlalu peduli akan urusan orang lain.

Kami ingin memberikan kehidupan baru dan nyaman untuk cucu kami tercinta, harta terakhir dari putri kami.

Dan di sinilah kami, hidup sederhana, bukan lagi berkelimpahan seperti saat di desa. Namun kami merasa tentram dan damai. Namun—rasanya ada yang janggal dalam senyum Andrea. Seperti ada yang ia sembunyikan.

"Oma!"

Aku tersadar seketika. Kuuraikan senyum padanya. "Ya sayank? Mau nambah?" Tapi kulirik lauk di meja sudah habis tak bersisa. Bahkan bumbunya saja sudah tak ada jejaknya.

"Udah kenyang, sih." Dia mengelus-elus perutnya yang masih saja rata dengan tangan kirinya yang bersih. "Aku cuma takut Oma kesambet kalo kebanyakan ngelamun."

Aku makin melebarkan senyumku sambil mengusap sayang puncak kepalanya. "Gak ada setan yang doyan ama Oma yang udah tua ini." selorohku.

"Hohoo~ jadi mereka bakal doyannya ama aku yah?"

"Hahah~ makanya kamu jangan banyak ngelamun yah biar nggak digodain setan," timpal suamiku yang disahut kekehan cucuku.

Mendengar ucapan suamiku bagai ada rasa perih sesaat. Sampai kini—aku masih saja berprasangka bahwa anakku Nivria telah diganggu setan sehingga bisa hamil tanpa sebab. Padahal aku tau persis, meski Nivria termasuk bunga desa, tapi dia bukan perempuan gampangan apalagi genit.

Ditambah lagi dengan keanehan – keanehan yang menyertai kehamilan dan bayi nya, itu makin membuatku curiga sekaligus lega bahwa anakku—tidak terbukti jalang seperti yang dituduhkan.

Duh Gusti~ kumohon beri kami petunjuk-Mu dan terang-Mu selalu. Lindungi cucuku dari segala keburukan makhluk-Mu.

"Ihh Oma, mentang-mentang setan kagak doyan, Oma ngelamun terus. Hahaha!" Dan selorohan Andrea diikuti tawa lepas suamiku. Semoga kehidupan nan tenang seperti ini bisa berlangsung selamanya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.