Devil's Fruit (21+)

Bermalam di Negri Antah-Berantah



Bermalam di Negri Antah-Berantah

0

Fruit 74: Bermalam di Negri Antah-Berantah

Mencium Andrea?

Kenapa tiba-tiba Dante punya keinginan seperti itu? Ah, ternyata dia teringat semua keintiman dia dengan Andrea selama ini. Di dunia Meercomv... dan juga di alam mimpi. Semuanya masih membekas lekat tidak terlepas dari memori Dante. Bahkan dia seakan masih bisa merasakan kekenyalan payudara dan bibir khusus di bawah tubuh Andrea.

"Huuff~" Dante menghembuskan napas.

Andrea berhenti bergerak. "Kenapa? Ini sudah hampir kita congkel, nih!"

Dante menatap Andrea.

Cium? Tidak? Cium? Tidak? Cium? Tidak? Ci— TIDAK!

Dante menggeleng kuat dua kali sebelum kembali tertunduk dan fokus pada pedang dan buah di bawah sana. Lebih baik dia menyingkirkan keinginan keparat itu sebelum harga dirinya jatuh berkeping-keping.

Dia yang berhasrat membunuh Andrea, kenapa bisa dia malah ingin mencium gadis itu? Hal demikian sangat tidak sesuai! Sangat kontras! Tidak patut!

Ia harus fokus pada tujuan hidup dia yang semula. Cita-citanya tak boleh goyah! Naik ke Surga, menjadi Malaikat dan membuat bangga ayahnya sehingga dia bisa diakui oleh sang ayah. Yah! Harus begitu! Yang terbaik adalah dia hanya perlu keluar dari tempat terkutuk ini lalu lekas bunuh Andrea, dan semua pun beres!

Andrea menyipitkan mata, tak tau apa yang terjadi dengan Dante, lalu ia tidak terlalu perduli lagi dan kembali fokus ke buah.

Akhirnya semua buah pun berhasil dikeluarkan air kelapa mudanya dan mereka menyisakan dua gelas air kelapa muda untuk makan malam.

Setelah itu, Andrea meminta Dante untuk duduk dan memegangi pedangnya dengan ujung pedang yang tajam diarahkan ke atas. Tentu tak ada alasan bagi Dante untuk menolak, ya kan?

Dante pun memposisikan diri seperti yang diminta Andrea. Sesudah itu, Andrea mulai hantamkan buah sambil ia pegangi ke ujung pedang Dante hingga buah pun terbelah menampakkan daging kelapa mudanya.

"Hahah! Berhasil! Kita punya makan malam!" Andrea girang.

Dante hanya berikan decakan melihat kelakuan Andrea. Orang-orang semuanya pasti takkan percaya jika mereka diberitau bahwa pedang besar Tuan Muda Nephilim hanya digunakan sebagai alat pembelah kelapa.

Takkan ada yang percaya kecuali mereka melihat sendiri.

Andrea membelah buah kelapa satu demi satu menggunakan ujung pedang Dante.

"Hati-hati, atau kepalamu yang nantinya terbelah," celetuk Dante melihat Andrea tampak bersemangat menghantamkan kelapa ke ujung Pedang Rogard-nya yang besar perkasa dengan ujung runcing mematikan.

Andrea terkekeh. "Apa kau sedang mengkuatirkan aku? Hehe, terima kasih atas perhatianmu... Tenang saja, aku bisa menjaga diri."

"Tentu saja kau harus menjaga diri, atau aku akan ikut mati konyol jika kau mati, Cambion bodoh!" rutuk Dante.

Andrea melongo sesaat lalu julurkan lidah, teringat peraturan dari gulungan yang menyebutkan jika salah satu dari mereka mati, maka semuanya akan mati juga. "Tak apa, setidaknya aku senang kau punya sisi baik juga mengkuatirkan orang lain, meski ujung-ujungnya untuk kepentinganmu sendiri, hehe..."

Usai membelah keempat kelapa itu, Andrea menemukan kerang untuk mengerok daging kelapa. Dia sendiri pun heran kenapa ada cangkang kerang di tempat begini? Ini bukan pantai, tapi berpasir dan memiliki pohon kelapa, lalu ada cangkang kerang berbagai jenis bertebaran di sepanjang pasir.

Sungguh aneh.

Tapi jika memikirkan bahwa ini adalah dunia ciptaan Djanh, maka ia tidak lagi heran. Pangeran Incubus itu sendiri sudah merupakan eksistensi aneh, maka tak perlu heran pada apapun yang dia ciptakan.

Setelah petang mulai datang, keduanya makan daging kelapa dengan khidmat, lalu sesekali meneguk air kelapa muda.

"Ah~ nikmatnya~" Andrea mengusap perutnya yang terasa penuh ketika dia sudah menghabiskan semua makanan dan minumannya.

Malamnya, mereka sudah sama-sama berbaring di atas tempat tidur kumpulan daun dengan beralaskan selimut Andrea.

"Hei, beri aku selimut." Dante melirik ke samping, melihat Andrea terlihat nyaman dalam selimut yang menutupi tubuhnya. Udara mulai terasa dingin.

"Eh, ini kan barang-barangku. Sudah bagus aku pinjamkan satu selimut untukmu. Coba kalau aku kejam, takkan aku pinjamkan padamu!" Andrea makin erat pegangi selimutnya bagai kuatir itu akan direbut Dante.

"Cih! Kupikir kau ini orang baik." Dante pun balikkan badan, memunggungi Andrea.

Kesal, Andrea julurkan kaki sepanjang mungkin untuk menendang pelan pantat Dante.

"Hei!" Dante melotot galak sambil berbalik menghadap ke Andrea. "Kuharap kau disambar petir!"

Andrea malah terkikik geli melihat Dante kesal.

Mengabaikan kekesalan Dante, Andrea menatap langit yang ternyata juga memiliki bintang-bintang dengan jumlah sangat banyak memenuhi langit dunia ciptaan Djanh ini. "Sebenarnya... Indah sekali tempat ini. Sayangnya aku kemari dengan orang yang bernafsu membunuhku." Ia melirik sekilas ke Dante di sampingnya yang agak jauh. "Andai ke sini dengan membawa bekal piknik, tentu lebih menyenangkan, bukan? Daripada hanya memikirkan soal bunuh-membunuh yang konyol."

Bintang di langit berkedip-kedip sangat mempesona, membuat hati nyaman siapapun yang memandangnya.

Dante terdiam tidak berminat untuk memulai debat kusir dengan Andrea. Mereka sudah kekenyangan dan lebih baik saling menyamankan diri masing-masing saja.

"Kau tau, tuan hebat... aku berharap aku hanyalah anak manusia biasa. Punya ayah dan ibu yang biasa saja. Kau tau, kata Oma... Ibu dihamili oleh setan. Dan penduduk semua menghujat Ibu. Namun, Ibu tetap melahirkan aku dengan penuh perjuangan, sampai hampir dibunuh oleh Opa." Andrea berhenti bercerita dan menerawang ke langit penuh kerlip bintang dengan bulan yang begitu tampak besar dan terang.

Desahan kecil lolos dari  mulut Andrea. "Oma mati-matian membujuk Opa agar tidak membunuhku yang masih bayi merah. Dan Ibu... Ibu langsung pergi entah ke mana setelah melahirkanku. Ibu menghilang begitu saja."

Lalu gadis itu menoleh ke Dante. "Apakah kau dari kecil merasakan kasih sayang orang tuamu? Atau kita sama? Kalau memang sama, pasti kau paham bagaimana perasaanku."

Andrea gunakan dua lengannya sebagai bantal sambil tetap menatap langit usai menoleh sejenak ke Dante. "Meski Oma dan Opa sangat menyayangiku, namun ada bagian dalam hatiku yang terasa hampa ingin merasakan kasih sayang seorang ayah dan ibu. Aku sering memandang iri anak-anak lain yang begitu ceria pergi bergandengan tangan dengan orang tua mereka. Aku iri."

Dante membisu. Ia bisa memahami perasaan hampa Andrea, karena dia juga sama-sama 'dibuang' oleh kedua orang tuanya. Bahkan sedari kecil ia hanya diasuh oleh seorang Nephilim tua yang akhirnya mati dan menyerahkan Dante ke tangan Erefim untuk dijaga baik-baik karena dia keturunan dari salah satu Malaikat Agung.

"Kau juga harus tau, Tuan... betapa aku marah saat Kenzo menceritakan latar belakangku. Aku mengamuk dan tidak mau menerima bahwa aku punya darah Iblis selain darah manusia. Aku sendiri membenci kenyataan mengenai hidupku. Aku... tak ingin menjadi Iblis. Aku ingin sebagai Andrea yang biasa saja, yang berkehidupan normal."

Ada helaan nafas dari Dante. Tiba-tiba saja dia memiliki pemikiran sendiri mengenai Andrea. Ia pandangi Andrea yang sedang melihat langit buatan Djanh.

"Aku ingin jadi orang biasa saja, tanpa kekuatan apapun. Hanya ingin bisa terus sekolah, lalu punya pekerjaan agar Oma dan Opa bisa istirahat. Lalu punya pacar, menikah dan punya anak agar Oma dan Opa tak kesepian kalau aku sedang bekerja di luar rumah."

Pria Nephilim hanya mendengarkan semua celotehan Andrea. Meski dia menangkap adanya bulir air mata mengalir tipis di pipi si gadis yang masih saja menerawang langit.

"Fakta tetaplah fakta. Tak bisa kau ubah." Akhirnya Dante tergelitik berkomentar. Ada desir iba meski secuil di hatinya mendengar kisah Andrea.

"Ya, kau benar, tuan hebat. Fakta tetaplah fakta. Dan rasanya aku ingin menonjok kuat-kuat ayahku nantinya jika bertemu. Akan kusumpahi dia, akan kumaki dia sepuasku karena membuatku begini. Karena sudah membuatku terlahir."

"Apa kau membenci ibumu?"

Andrea menggeleng. "Tidak mungkin. Aku punya feeling kalau Ibu tidak bersalah. Ibu hanyalah korban sewenang-wenang dari Iblis yaitu ayahku. Aku yakin Ibu pun tidak menginginkan dikawini Iblis. Ibu... Ibuku yang malang..." Air mata itu kian berbulir keluar satu persatu, namun tak ada isak tangis. 

"Huumm..." Dante hanya menggumam.

"Apakah kau tau sejarah mengenai orang tuamu?" Gadis itu menoleh ke Dante usai mengusap air mata. "Apakah kau... diceritakan mengenai ibumu?"

"Tidak," jawab Dante singkat. "Aku tak butuh cerita apapun. Aku hanya ingin berkumpul dengan keluargaku di Surga."

"Apakah harus dengan cara membunuh hanya untuk bisa berkumpul dengan keluarga? Apakah kita... tak bisa berteman?" Tatapan sayu Andrea lumayan menusuk sanubari Dante. Ia juga tak tau apakah ada cara lain agar ia bisa naik ke Surga dan diakui sebagai keturunan Malaikat.

"Hummfhh! Hentikan omong kosong ini. Aku malas mendengarnya!" Dante berusaha menghentikan percakapan. Ia memilih berbaring memunggungi Andrea, berharap gadis itu tak mengusiknya lagi entah dengan omongannya atau perbuatan.

"Csk! Dasar pemarah..." lirih Andrea, sebal karena diabaikan begitu saja.

Dante tidak menggubris. Ia memutuskan untuk tidur saja daripada pusing memikirkan bagaimana keluar dari dimensi ini. Entah sampai kapan ia terjebak di sini bersama Andrea. Ini bukan sesuatu yang ingin ia jalani tapi ia tetap saja harus jalani karena perbuatan Pangeran keparat itu.

Mengetahui Dante malah diam dan sepertinya lelap, Andrea mendengus kesal dan mencoba untuk tidur senyaman mungkin. Mereka tidak membutuhkan api unggun karena langit begitu penuh akan bintang dan cahaya bulan juga bebas mereka nikmati tanpa tertutup apapun.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.