Devil's Fruit (21+)

Pilih, Cium atau Jatuh?



Pilih, Cium atau Jatuh?

0

Fruit 80: Pilih, Cium atau Jatuh?

=[[ Dante POV ]]=

Haha, aku sangat amat menikmati raut kesal dan tatapan jengkel dia. Aku sedang ingin menggodanya. Salah sendiri dia juga sering menggodaku. Anggap saja ini pembalasan.

"Kau ini apa-apaan, sih?!" Ia memukul dadaku lagi. Tak masalah, toh dadaku kuat, asalkan jangan dipukul pakai bola energi dia saja.

"Kenapa?" Mataku mengerling nakal ke arahnya. Sesekali mempermainkan Iblis boleh, kan? Ups! Dia tak mau dianggap Iblis. Dasar Iblis kecil tak tau diri dan status. Tanpa kau menjadi Iblis pun, kau sudah sering menjelma jadi Iblis penggodaku, apa kau tau itu?

Oh, dia tak perlu mengetahuinya!

"Masih tanya kenapa? Ucapanmu ngawur! Sangat ngawur!" Ia alihkan pandangan ke tempat lain.

Enak saja berani palingkan pandangan dariku? Maka kulonggarkan lagi pelukanku dan dia menjerit-jerit sambil makin ketat memelukku. Aku bisa merasakan dada montok dia menekanku, membuat darahku berdesir.

"Dante! Dante! Jangan! Jangan lepasin!" Ia terus saja menjerit sekaligus memohon. Bagus. Kau memang seharusnya begitu, Iblis kecilku! Eh, sekarang dia malah kaitkan dua kakinya di sekeliling pinggangku. Ini benar-benar fantastis.

"Takut sekali, yah?"

"Dante, please very please... jangan jatuhkan aku! Aku takut ketinggian, uhuhuuu..." Dia sampai desakkan wajahnya ke leherku. Bersikap manja, heh?

Hum... rupanya dia takut ketinggian. Lalu bagaimana dia bisa terbang sebelumnya bila dia takut ketinggian? Nanti saja itu kutanyakan. Aku sedang ingin menggodanya.

"Makanya, pilih... cium... atau jatuh?" Ingin kulihat, sekuat apa dia menahan diri.

"Dante jangan jahat-jahat, kenapa sih? Uhuhu... aku beneran takut ketinggian ini!" Ia mirip koala sekarang. Aku berusaha tidak tertawa.

"Takut jatuh?"

Dia mengangguk sambil masih menempelkan kepalanya di bahuku.

"Kalau begitu, cium aku."

Andrea mulai jauhkan wajahnya dari bahuku untuk menatap mataku yang tetap kubuat dingin dan tajam. "Kamu kerasukan setan apa, sih? Perasaan di sini aroma bau aku nggak bisa keluar, kan?"

Aku seperti ditohok. Ini sama saja dia bilang bahwa aku menginginkan ciuman itu bukan karena terpengaruh aroma feromon dia. Sial! Tapi... aku pantang menarik kata-kata!

Kutatap tajam dia sebagai balasan. "Pilih. Cepat."

Dia cemberut, memanyunkan bibirnya. Apakah itu godaan balasan darinya? Sungguh Iblis binal!

Akhirnya, setelah menit berlalu... di menit ke-3, dia pun dekatkan wajahnya ke aku. Rupanya dia sangat tidak mau jatuh. Benar-benar takut ketinggian, eh?

Cupp!

Aku mengernyit. "Apa itu tadi?" tanyaku, meski tau itu sebenarnya apa.

"Tentu saja ciuman! Memangnya apa lagi definisi untuk itu?" Ia mendelik sewot.

"Apanya yang ciuman? Itu tadi sebuah kecupan sangat singkat hingga aku rasanya seperti dihinggapi lalat saja saking cepat dan tidak terasa!"

"Apa? Lalat? Jahatnya bibirku kau samakan dengan lalat!" raungnya, protes. Haha, aku senang dia sebal.

"Iya, itu tadi cuma kecupan sangat singkat dan tidak terasa. Bukan ciuman!" tegasku tak mau kalah.

Dia memutar bola mata besarnya. "Kamu lagi bercanda pasti, kan?"

"Apakah kau mengenalku sebagai orang yang suka bercanda akan sesuatu?" Aku tatap tajam dia, meski hatiku tertawa terbahak-bahak. "Dan aku tak mau dicium di pipi."

Dia melotot selebar-lebarnya. "Lalu maunya?"

"Tentu saja di bibir!"

"Kok gitu?!" Dia kembali meraung.

"Aku sudah berkali-kali menuruti kemauanmu, apapun itu. Apa berlebihan kalau aku minta dibalas dengan ciuman di bibir, heh?" Aku pertajam tatapanku.

Andrea mendesah berat. Aku merasa kemenangan sudah di depan mata.

"Ya sudah, ya sudah, aku mengalah. Sepertinya ada yang sangat ngebet ingin kucium di bibir..." Dia lagi-lagi mencoba bermain psikologi terbalik denganku. Tapi aku tak menanggapi dan diam menunggu dia. "Tutup matamu."

"Hum?" Aku sipitkan mata. "Kenapa harus begitu?"

"Pokoknya tutup matamu."

Aku ganti yang mendesah berat dan turuti dia, menutup mata. Bisa kurasakan hembusan napasnya makin kentara di depan hidungku, tanda dia makin mendekatkan wajah ke aku. Lalu——

Cupp!

Kubuka mata persis ketika dia labuhkan sebuah kecupan singkat di bibirku yang diam. Dia sempat kaget karena aku membuka mata sebelum dia selesai mengecup.

"Itu bukan ciuman."

"Enak saja! Itu ciuman, Dante! Dan kau curang membuka mata!"

"Ciuman?" Aku tersenyum mengejek ke dia. "Kau sebut itu sebuah ciuman?"

"Tentu saja itu sebuah ciuman!" Dia ngotot.

Langsung saja aku bawa dia terbang hingga aku berhasil pepetkan punggung dia ke batang pohon kelapa, lalu kulumat bibirnya tanpa dia bisa bereaksi.

Pedang Rogard kusingkirkan, dan kugunakan tangan itu untuk merangkum satu pipinya sembari aku melumat bibirnya. Bibir yang dari kemarin sudah membuatku frustrasi.

Andrea tampak ingin berontak, tapi kutahan belakang kepalanya agar dia susah untuk menoleh menghindari cumbuanku.

Aku menikmati bibir kenyal dia yang kuimpi-impikan. Bisa aku rasakan kelembutan bibir dia yang terus kukulum dan kuhisap-hisap, berusaha mereguk semua sensasi yang ditawarkan bilah kenyal dia tersebut.

Dia yang tadinya melawan, kini mulai patuh dan lebih diam. Sepertinya dia berhasil kutaklukkan. Bahkan yang mengejutkanku... dia sedikit membalas pagutanku, meski terlihat malu-malu.

Aku makin berkobar. Kutekan tubuhnya yang menempel di batang pohon kelapa, mengakibatkan selangkanganku bertemu dengan miliknya. Apalagi tadi dia sempat kalungkan kakinya ke pinggangku.

Milikku serasa berdenyut.

"Angh~ Dante~"

Oh tidak! Dia memanggil namaku dengan suara seperti itu! Ini bahaya. Bahaya! Alarm tubuhku berdering riuh.

Ternyata tanganku sudah berpindah ke dadanya dan membelai lembut salah satu payudaranya.

"Haangh~" Ia masih sempat mengeluarkan desahannya disela cumbuan kami? Dasar Iblis penggoda! Begitu kau masih tak sudi kupanggil Iblis?! Bahkan desahannya makin keras ketika mulutku tiba di lehernya.

Tidak. Tidak ada jejak bau feromon. Ini murni... kemauanku.

Aku mulai sesat! Semua gara-gara Iblis kecil ini!

"Dante~ Stopphh... ennghh..." Ia masih pejamkan mata saat aku menyesap lehernya. Aku justru makin bersemangat. Kejadian di alam mimpi, seketika terbayang. Lekuk tubuh Andrea, desahan erotisnya saat kumasuki, dan tatapan sayunya... aku masih mengingat semua.

Aku kian desakkan selangkanganku ke miliknya dan menggerakkan di sana.

Namun—

"Grrrghhh..."

Kami berdua sama-sama terkejut dan mencari sumber suara.

Ternyata, di bawah sudah ada seekor anjing menatap kami di atas dengan tatapan membunuh.  Anjing itu sebesar kambing dewasa dan taringnya panjang melebihi ukuran normal taring anjing biasanya. Oh ya, ini kan di dunia ciptaan seorang Iblis, jadi tak heran jika hewan-hewan di sini abnormal semua bentuknya.

"Anjingnya seram, Dan..." Andrea melihat ke anjing di bawah sana.

"Biar saja. Toh kita di atas. Bisa apa dia?" Aku menatap remeh ke anjing itu. Anjing bedebah! Menggangguku saja! Andai tadi hewan itu tidak muncul, bukankah aku sudah bisa—

Wuuss!

Tiba-tiba, anjing itu mengeluarkan sayap dan terbang menuju kami.

"Bisa terbang dia, Dan!"

SHIT!


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.