Devil's Fruit (21+)

Kau Tak Pernah Ikut Pramuka?



Kau Tak Pernah Ikut Pramuka?

0

Fruit 85: Kau Tak Pernah Ikut Pramuka?

Setelah pekerjaan melelahkan tersebut, Andrea pun berhasil membuat sebuah kain dari kulit beruang yang kuat. Apalagi dia menyukai corak bulunya. Belang cantik coklat dan putih seperti zebra.

Andrea meminta bantuan Dante untuk memotong kulit itu menjadi beberapa bagian karena kulit tersebut sangat lebar dikarenakan tubuh besar si beruangnya.

Setelah Dante memotongkan pedangnya pada kulit beruang sesuai arahan Andrea, dia kembali memanggang daging meski kali ini tidak dibumbui dengan air kelapa muda, karena biasanya Andrea yang lebih terampil soal itu. Dia kini hanya sekedar memanggang saja.

Sebenarnya Dante bisa langsung memakan daging itu mentah-mentah, tapi dia malas jika diolok-olok Andrea nantinya. Makanya dia terpaksa sedikit bersusah payah untuk menghindari sindirian gadis berlidah tajam itu, meskipun lidahnya kini ikut tersegel seperti tenggorokannya.

Tak berapa lama, Andrea membentangkan sesuatu di depan Dante. "Lihat, nih! Baju dari kulit beruang! Cantik, kan?" Ia mematut-matutkan baju kulit itu ke tubuhnya.

Dante menatap malas dan asal mengangguk saja. "Makanlah, sudah kupanggangkan banyak." Ia sodorkan daging hasil panggangannya.

Mata Andrea berbinar menatap daging yang sudah matang di hadapannya. Sejenak, dia melupakan baju kulit beruang di tangannya untuk segera menyantap dagingnya. Bagaimanapun, dia sudah kelaparan seharian ini belum makan sama sekali.

Namun, begitu dia mengunyah daging panggangnya, ekspresinya sedikit berganti. Dante menangkap itu dan bertanya, "Kenapa? Tak enak?"

Andrea hampir mengiyakan namun dia tak tega. Dante sudah susah payah memanggang untuknya sedari tadi. Maka, ia pun tersenyum lebar, lalu menjawab, "Walau tak seenak pangganganku, tapi aku tau ini juga enak dalam aspek lainnya."

"Maksudmu?"

"Yah, ini juga enak... karena dipanggang dengan penuh rasa sayang, hehe... makasih, yah Dante..." celoteh Andrea begitu saja.

Sedangkan Dante, nyaris tersedak salivanya sendiri. Dipanggang dengan penuh kasih sayang? Apa-apaan itu? Yah, meski itu memang benar, tapi kenapa Andrea bisa seenteng itu membukanya di depan dia? Apakah perasaannya terlalu kentara?

"Huh! Aku cuma tak mau kau mati kelaparan. Bukankah kalau begitu, aku juga yang binasa?" elak Dante seperti biasanya. Dia memang bukan orang yang jujur akan apa yang dia rasakan.

Andrea mengambil air kelapa mudanya dan meneguk di sela makannya. Sore ini semuanya terasa menyenangkan dan melegakan. Ia tertawa kecil dengan lepas sambil terus berceloteh mengenai baju barunya yang dikata limited edition.

Dante hanya mendengarkan karena terlalu malas menanggapi. Ia lebih suka mengamati Andrea saja.

Setelah mereka selesai makan, hari sudah menjelang petang, maka tak perlu lagi mereka makan malam.

"Kau tidak pakai baju barumu?" tanya Dante setelah melihat Andrea memasukkan semua perkakasnya ke Cincin Ruang.

"Iya, nanti. Omong-omong, akhir-akhir ini kita makin sering bertemu Beast. Kupikir, lebih baik kita tidur di atas pohon." Andrea berujar. Dia sendiri susah menjelaskan yang dia rasakan. Dia hanya merasa, bahwa malam ini bisa saja ada Beast yang akan mereka temui.

"Tsk! Bukankah selama ini kita selalu aman-aman saja tidur di bawah?" Dante meremehkan instuisi Andrea.

"Ayo kita masuk lebih ke dalam dan mencari pohon yang lebih besar dan nyaman untuk kita tidur." Andrea malas mendebat Dante. Orang seperti Dante akan susah diyakinkan jika hanya berdasarkan intuisi saja.

"Kenapa tidak di sini?"

"Dante, kita butuh pohon yang lebih besar dan punya dahan yang bisa untuk tidur. Di sini kebanyakan adanya pohon kelapa." Andrea terpaksa memberikan logika pada Dante.

"Haruskah masuk ke dalam hutan?"

"Memangnya mau sampai kapan kita berada di pinggir hutan terus? Bukankah kita harus mencari pintu keluar dari sini? Lupa?"

"Tsk! Ya sudah, ayo!"

Mereka pun mulai bergerak memasuki hutan untuk menemukan pohon yang lebih rimbun dan besar sebagai tempat tidur malam ini. Dan sekaligus bergerak mendekat ke jalan keluar dari alam ini.

Setelah menemukan sebuah pohon yang rimbun, besar dan lumayan tinggi, Andrea meminta diterbangkan ke salah satu dahan oleh Dante.

"Nah, ini cocok untuk tidur. Setidaknya dahannya ada cekungan seperti perahu, cocok sekali untuk tidur." Andrea senang mendapatkan dahan yang sangat sesuai dengan harapannya. Dia ini tidurnya lasak, makanya kuatir juga apabila tidur di dahan dan akhirnya terjatuh karena saking lasaknya.

Andrea segera mengeluarkan selimut-selimutnya dan menata sebagai alas tidur di cekungan dahan tebal itu. "Kau mau kucarikan dahan untukmu?"

Dante menggeleng. "Aku lebih suka tidur di bawah. Kau aturkan saja tempat tidur untukku di bawah seperti biasa."

"Csk! Kau ini! Lebih aman di atas pohon!"

"Aku bukan penakut!"

"Apa ini maksudnya aku penakut?" Andrea picingkan mata, lumayan tidak menyukai kalimat Dante tadi.

"Aku tidak menuduhmu. Kau sendiri yang mengatakan."

Andrea angkat bahu, lalu serahkan satu selimut ke Dante secara tegas karena tersinggung Dante seakan mengatainya penakut. "Silahkan atur sendiri tempat tidurmu di bawah sana. Syuuhh, syuuhh, aku mau ganti baju. Lekas sana turun, tuan pemberani."

Dante ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya urung dan terbang ke bawah membawa selimut dari Andrea. Ia terpaksa mencari ranting-ranting kayu untuk dijadikan api unggun.

Andrea baru saja selesai mengganti bajunya dengan kulit bulu beruang. Satu set baju yang sangat cantik meski sederhana. Atasannya hanya bertali satu sepinggang. Bawahannya berbentuk rok setengah paha, karena ia belum bisa membuat celana. Lalu di kedua betisnya, ada semacam kaos kaki kulit bulu beruang yang membungkus dari mata kaki sampai di bawah lutut. Dia menautkan kulit itu menggunakan tali akar seadanya yang dia temukan.

Ketika Andrea melihat api unggun yang dibuat Dante, dia menjerit, "Padamkan! Padamkan!"

Dante melongok ke atas, ke tempat Andrea. "Kenapa?" Ia heran kenapa Andrea berteriak sepanik itu hanya karena dia membuat api unggun.

"Api seperti itu akan menarik perhatian binatang buas, bodoh!" Andrea berseru dari atas pohon.

"Hei, di sini terlalu gelap. Rasanya tak nyaman, makanya aku membuat api unggun!" Dante masih membantah.

"Kau ini tak pernah ikut Pramuka, yah?" pekik Andrea. "Oh iya, kau ini kan Tuan Muda dunia Nephilim yang pemberani, mana mungkin kau ikut kegiatan para penakut semacam Pramuka?" Andrea berkata menggunakan sindiran.

"Tsk! Tak bisakah kau biarkan aku saja? Ya, aku memang pemberani, lalu kenapa? Aku tak perlu bersembunyi di atas sana. Akan kuhadapi semuanya!"

Andrea mendengus. "Terserah kau saja! Lihat saja nanti..." Dan ia pun kembali meringkuk di cekungan nyaman miliknya. "Dasar lelaki bodoh! Apa dia tidak pernah kemah sama sekali di alam liar?"

Maka, Andrea pun memilih pejamkan mata karena dia sudah lelah seharian ini membuat kain dari kulit bulu beruang yang amat susah dan menguras tenaga.

Sementara, di bawah sana, Dante meringkuk di pangkal pohon dengan selimut ia rangkumkan ke tubuhnya, sedangkan api unggun ada di dekatnya. Udara memang tergolong dingin jika malam tiba.

Baru saja Dante katupkan matanya dan hampir terlelap karena nyamannya kehangatan api unggun, tiba-tiba dia sudah mendengar lolongan serigala di dekat areanya. Ia segera membuka matanya.

Di depannya sudah datang rombongan serigala yang sepertinya berjumlah hampir seratus ekor.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.