Devil's Fruit (21+)

Aku Tak Ingin Pergi



Aku Tak Ingin Pergi

0

Fruit 98: Aku Tak Ingin Pergi

Dante sampai terduduk di tanah karena dorongan dari Andrea. Gadis itu lekas bereskan pakaian atasnya kembali sambil dia mengambil sesuatu dari Cincin Ruangnya. Ia mengambil dua gelas dan beberapa puluh batok kelapa kosong.

Andrea sedang menadah air hujan yang sekarang mulai agak reda, tidak sederas tadinya. Ia sibuk mengatur batok-batok kelapa agar semua bisa menampung air hujan, sehingga mereka bisa memiliki persediaan air minum selama beberapa hari ke depan.

Tuan Nephilim cuma bisa tersenyum kecut. Dia merasa dilupakan begitu saja. Dia bisa saja meraih Andrea dan memaksa mengulang momen intim barusan, namun melihat betapa girangnya Andrea yang sedang menanti gelas dan batok-batok kelapanya penuh akan air, dia jadi tak tega.

Akhirnya, Dante malah turut membantu. Ia yang mengatur batok-batok itu berjajar menampung air hujan, Andrea yang memasukkan mereka ke dalam Cincin Ruang dan mencari batok lainnya yang masih kosong.

"Untung saja ini semua nggak aku buang, hahah!" Andrea berseru senang. Ia lega akhirnya memiliki persediaan air minum. Ia mengira dirinya akan mati dengan tubuh kering kerontang karena tidak menemukan air untuk diminum. Nyatanya, Pangeran Djanh sangat baik hati mencurahkan hujan dari langit alam ciptaannya.

"Semoga saja ini benar-benar air bersih higienis yang Djanh-piip kasi. Awas aja kalau ternyata ini air aneh-aneh dia. Apalagi air-piip dia." Andrea masih sempat-sempatnya berceloteh asal mengenai air dari Djanh ini.

"Apakah Cincin Ruangmu tidak penuh sesak?" tanya Dante.

"Oh, tenang aja. Ini cincin bisa memuat seratus gajah, kok!" Andrea menyahut dengan bangga. Cincinnya memang sangat luas seiring bertambahnya kekuatan dia. Apakah memang karakteristik Cincin Spasial begitu? Akan membesar jika pemiliknya makin kuat?

Mungkin.

Andrea tak peduli. Yang penting dia tidak dirugikan.

Mulut Andrea kembali membuka menengadah ke langit, seolah ingin memuaskan dahaganya. Dia sudah selesai mengisi semua batok kelapa yang berjumlah hampir seratus buah.

Dante mendekat dan memeluk pinggang Andrea dari belakang. "Andrea..."

Andrea berhenti menadah air hujan menggunakan mulutnya. Ia menoleh ke Dante di belakangnya. "Hum?"

"Apakah kau ingin keluar dari sini?" tanya Dante sambil tatap lekat mata Andrea.

Andrea naikkan alis karena terkejut. "Ah, tentu saja ingin keluar dari sini. Bukankah kau juga begitu? Ingin segera keluar dari sini?" Kini dia sudah menghadap ke Dante.

Dante mengerang pelan sebelum menyahut, "Aku... rasanya aku tidak ingin segera keluar dari sini."

"Hei..." Andrea menatap heran tanpa pedulikan pinggangnya sudah dililit lengan Dante. "Kenapa bicara begitu? Memangnya kenapa kau tak ingin lekas keluar dari sini?" Pandangan Andrea terlihat menyelidik.

Dante ingin menghindari pandangan itu karena dia bagaikan sedang dikupas dan dipindai. "Aku... aku merasa lebih nyaman berada di sini. Apakah kau tidak merasakan demikian?" Tak mampu mengelakkan matanya, ia pun menatap Andrea, namun bukan dengan tatapan tajam seperti biasanya.

Pandangan itu terasa lembut, berisi kasih sayang.

Andrea jadi bingung, tak tau harus berikan jawaban macam apa pada pertanyaan Dante. Matanya berkeliaran ke sana dan kemari berusaha menemukan kalimat yang tepat. "Aku..."

"Bagaimana kalau kita tinggal di sini saja, Andrea?" pinta Dante dengan suara parau. Ia tatap lekat gadis Cambion dalam pelukannya. Ia agak merunduk untuk menyejajarkan pandangan mereka karena dia lebih tinggi sekitar dua puluh sentimeter dari Andrea.

"Tinggal di sini?" ulang Andrea menggunakan nada tanya.

"Ya. Kau mau?"

"Tapi di sini sangat berbahaya. Banyak Beast yang bisa mengancam nyawa kita..."

"Apa kau pikir di luar dunia ini lebih aman?"

Andrea terdiam, merenung. Memang, jika harus jujur, dunia di luar alam ini pun sama berbahayanya. Bahkan, mungkin lebih berbahaya di luar ketimbang di sini. Ia teringat tentang orang-orang yang nyaris memperkosa dia, tentang para Iblis dan Nephilim yang tak henti-hentinya mengganggu kehidupan dia.

"Tapi..."

"Ya?" Dante angkat dagu Andrea sehingga mereka bisa saling menatap.

"Aku... aku punya kehidupan sendiri di luar alam ini, Dan..."

Ucapan Andrea sedikit banyak menghantam hati Dante. "Apakah kau masih ingin kehidupan seperti itu? Kehidupan berbahaya di luar sini? Banyak makhluk yang mengejarmu di luar. Bahkan mereka berkali-kali melecehkanmu!"

"Emmhh..."

"Aku tak suka."

"Tak suka apa?" tanya Andrea bingung.

"Tak suka jika kau dilecehkan."

Andrea merasakan hatinya menghangat meski hujan masih mengguyur meski sudah berbentuk rinai saja sekarang. "Tapi, di luar aku punya Oma dan Opa, juga Shelly. Mereka semua pasti menunggu aku, dan mungkin juga mengkuatirkan aku."

"Tak bisakah kau lebih egois dan hidup di sini saja denganku?" Mata Dante tampak terluka. Apakah dia tidak lebih penting dibandingkan Oma, Opa, dan Shelly?

"Aku..."

"Andrea, jadilah wanitaku."

"Hah?" Andrea naikkan alisnya tinggi-tinggi, terkejut akan ucapan Dante.

"Aku takkan mengulang kalimatku baru saja." Harga diri Dante masih saja bergaung dan menolak untuk menyuarakan kalimat tersebut untuk kali kedua. "Apa kau bersedia?" Satu tangan Dante sudah mengelus pipi Andrea.

"Tapi... bukankah kau memiliki cita-cita luhurmu itu? Naik ke Surga?" selidik Andrea. Ia kaget dan bingung, Dante tiba-tiba saja meminta dia menjadi wanitanya. Apa ini dia sedang ditembak?

DITEMBAK?!

"Jangan sebut-sebut itu lagi!" Dante jadi kesal sendiri. Tatapannya kembali tajam.

"Kenapa?" Andrea justru ingin tau. Karena yang dia ketahui, Dante selalu saja mendengungkan mengenai cinta-cita mulianya itu dalam berbagai kesempatan.

"Rasanya aku sudah tidak menginginkan itu lagi." Dante kembali lirih dan berikan tatapan penuh sayang ke Andrea. "Jadilah milikku dan kita bisa hidup di sini saja, tak perlu mengkuatirkan apapun urusan di dunia luar. Oke?"

Andrea menelan salivanya.

Detik berikutnya, Dante kembali mencumbu bibir Andrea. Gadis Cambion itu juga membalas lumatan Dante.

"Anghh~ pelan-pelan, Dan..." lirih Andrea ketika mulut Dante mulai menjelajahi leher Andrea.

"Iya, aku—mmccph—akan pelan-pelan saja kali ini—mrrsspphh..."

"Bu-bukan itu maksudku..." Andrea turunkan tangan Dante yang sudah menyusup ke payudaranya.

Dante hentikan aksinya dan tatap bingung Andrea. "Lalu, apa maksudmu berkata pelan-pelan saja?" Ia terlihat tak mengerti dengan alam pikiran Andrea.

Setelah meneguk salivanya sekali lagi, Nona Cambion pun menjawab, "Pelan-pelan saja jalani ini." Lalu dia menunduk karena merasa malu setengah mati.

Tapi kepala itu kembali naik karena tangan Dante yang menengadahkannya sehingga pandangan mereka bertemu kembali. "Maksudmu pelan-pelan saja jalani ini, bagaimana?"

"Y-ya ini!" Andrea menyahut dengan suara kecil. "Kita... Kita bisa pelan-pelan jalani ini... Hubungan ini..." Diakhir kalimat, suara Andrea sudah mencicit saking lirihnya.

Dante merasakan jiwanya membuncah terbang mendengar ucapan Andrea. "Kau... Apa ini artinya kau... kau menerimaku, Andrea?!" Sudah terlihat kilau bahagia di netra Dante.

Andrea enggan menjawab. Ia palingkan pandangan. Wajahnya sudah merah padam saking malunya. "Kenapa sih gitu aja ditanyain? Dasar Nephilim bodoh!" Meski begitu, ada gurat senyum di wajah cantik Andrea.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.