Devil's Fruit (21+)

Day 1



Day 1

0

Fruit 72: Day 1

Andre memandang sekelilingnya. Ini merupakan padang pasir namun bukan seperti gurun tandus. Ini mirip pantai berpasir, namun sama sekali tak ada laut. Hanya ada hamparan pasir, batu, dan pohon-pohon yang mirip dengan pohon kelapa namun lebih menjulang tinggi lagi.

"Sepertinya kita harus tinggal di sini dulu sementara," ujar Andrea sambil dia mengamati sekitar. Cuaca di tempat ini tidak panas gersang. Ada matahari, namun tidak terik menyengat. Seolah matahari itu hanyalah aksesoris saja di langit.

Dante menghela napas berat. Ia berjalan ingin berkeliling.

"Hei, jangan sampai melebihi 100 meter atau kau akan dicumbu petir, loh! Hahaha!" Andrea mengingatkan.

Dante langsung berhenti berjalan. Ia teringat betapa tersiksanya disambar petir. Untung saja Andrea memperingatkan dia.

Kembali Dante menghela napas dan berjalan mendekati Andrea yang tengah duduk santai di atas pasir di bawah pohon yang mirip kelapa ini.

Mereka kini duduk berdampingan.

"Oh, aku kan membawa makanan dan minuman!" Andrea teringat. Lekas saja dia merogoh Cincin Ruangnya dan mengambil pizza dan tiramisu yang sudah dia selamatkan di gunung waktu terjadi pertempuran. Ia segera saja menggigit nikmat sepotong pizza.

Dante memandanginya. Merasa dipandangi, Andrea menoleh ke Dante dan sodorkan potongan pizza lainnya, namun Dante menggeleng. "Aku tidak doyan makanan buruk begitu."

Andrea angkat bahu dan teruskan makannya. Kebetulan sekali dia sedang lapar berat karena pagi tadi dia belum makan. Sekarang setelah dia tersambar petir dua kali, perutnya jadi sangat lapar.

Krruuukk~

Wajah Dante jatuh. Itu suara dari perutnya. Andrea jelas-jelas mendengar karena mereka duduk bersebelahan. Andrea tertawa ringan dan kembali sodorkan kotak pizza yang akhirnya diterima Dante dengan sikap enggan.

"Ini aku... terpaksa! Agar tidak kelaparan!"

"Iya, iya, percaya..." sahut Andrea dengan nada mengolok. "Makanya aku bagikan makanan ke kamu, agar kamu tidak mati. Kalau kamu mati, aku juga mati! Ya, kan?" Ia menyikut lengan Dante di sebelahnya menggunakan sikunya.

Setelah menghabiskan 2 potong pizza dan 2 tiramisu ukuran kecil, ia kembali merogoh Cincin Ruangnya dan mengambil minuman di sana. Dante mengamati tingkah Andrea. Dalam hatinya, dia juga ingin memiliki Cincin Ruang seperti itu.

"Yaahh... cuma tinggal Choco-latte, nih! Barengan, yah! Sodanya ternyata tinggal sejumput aja." Ia melongok ke gelas soda yang tinggal sangat sedikit di dalamnya.

Dante mengangguk.

Mereka berdua minum dari gelas yang sama dan saling bertukar sedotan dengan cara dibalik, jadi tidak akan saling menyentuh sisi yang sudah disedot salah satu dari mereka.

Setelah menghabiskan semua makanan dan minuman, Andrea pun rebahkan tubuhnya secara santai di pasir di sebelah Dante.

Dante melirik Andrea yang tengah berbaring sambil pejamkan mata. Dia pikir ini di pantai? Satu tangan Dante memeluk lututnya.

Andrea memang cantik, Dante tidak menyangkal itu. Namun, sayang sekali karena dia harus membunuh Andrea. Hasrat untuk naik ke Surga sudah ia pendam lama sejak dia mengetahui bahwa dia adalah putra dari Malaikat Suci Mikael.

Surga sudah menjadi cita-cita Dante.

Namun, kini Andrea bagai sebuah godaan terbesar baginya. Andrea kerap membuat Dante limbung akhir-akhir ini. Ia bersyukur aroma feromon spesial Andrea tidak merebak saat ini, atau dia bisa-bisa menerjang Andrea tanpa pikir panjang.

Apakah feromon Andrea tidak bisa muncul di dimensi ini? Oh, Dante bersyukur jika benar demikian. Ia lebih suka bila tidak dihasut oleh bau feromon keji yang sanggup menjungkir-balikkan kesadarannya itu.

"Dante..."

Dante lekas palingkan pandangan dari Andrea sebelum gadis itu membuka matanya dan kini terduduk seperti sebelumnya. "Hum?"

"Boleh kutau... kenapa kau sebenci itu denganku? Memangnya apa dosaku sampai kau terus saja mengejar untuk memburu nyawaku?" Andrea memicingkan mata, sangat penasaran akan jawaban Dante.

"Kaummu banyak berbuat dosa di muka bumi." Itu jawaban awal Dante. "Dan kau adalah tiket emasku agar aku bisa naik ke surga, ke tempat yang seharusnya aku berada dan berkumpul dengan orang tuaku."

"Ohh, mulia sekali cita-citamu," nyinyir Andrea sambil tersenyum masam. "Harusnya kau mendapat nobel atas pemikiranmu itu."

"Hrrmhhh..." geram Dante, sadar dirinya sedang disindir halus. "Pokoknya aku membenci semua Iblis!" Apakah Andrea kembali memprovokasi emosinya?

"Apakah aku menurutmu sudah sesuai dengan deskripsi Iblis?" tanya Andrea tanpa rasa takut, karena ia yakin Dante takkan berani menyerangnya di sini atau ada petir yang akan menjawab di dimensi ini. "Apakah aku punya tanduk? Apakah aku berekor? Apakah wajahku merah membara? Apa aku bertaring? Bercakar panjang? Melelehkan darah di ujung bibir sambil menyeringai psycho?"

Dante terdiam. Nyatanya, Andrea memang tidak memiliki fisik Iblis sama sekali. Ia beda dengan para Iblis yang mengelilinginya seperti Kenzo, Djanh, atau lainnya. Mereka memang gampang menyaru sebagai manusia, namun wujud asli mereka tetap bisa dirasakan.

Namun Andrea? Tidak sama sekali.

"Tapi kau keturunan Iblis laknat."

"Memangnya aku punya hak pilih ingin berorang-tua siapa? Apa kau juga bisa memilih ingin menjadi anak siapa?"

Lagi-lagi Dante terdiam mendengar pertanyaan menohok dari Andrea. Ia sadar apa yang dikatakan gadis itu memang ada benarnya. Semua makhluk di dunia tak dapat memilih ingin hadir melalui rahim siapa dan siapa ayahnya.

"Tak penting! Pokoknya aku harus membunuhmu agar aku bisa ke surga!" Dante berkeras, mengetatkan rahangnya. Kalimat Andrea jelas masuk akal. Namun Dante menganggap itu hanya kesialan Andrea saja apabila terlahir dari darah Iblis.

Andrea putar bola matanya. "Dasar Nepholim bodoh dan keras kepala," bisiknya sebal.

"Apa kau bilang?!" Dante menatap tak suka ke Andrea. Padahal mereka baru saja mulai lebih bersahabat.

"Iya, aku mengatakan kau ini Nephilim bodoh dan keras kepala! Kenapa?! Tersinggung?! Ingin membunuhku?!" Andrea tak mau kalah galak. Ia memang lekas terpancing emosi jika teringat hidupnya yang menyedihkan. "Apa kau tak malu membunuh seorang gadis hanya untuk bisa ke Surga? Hei, bukannya Surga itu tempat suci? Kenapa bisa Surga malah menampung para pembunuh?!"

"Diam saja kau kalau tak tau apa-apa!" Dante terusik.

"Tidak! Aku tidak mau diam! Memangnya siapa kau berani memerintah aku?" Gadis itu melotot seolah menantang.

Dante maju cepat mendekat dan nyaris julurkan tangan untuk mencekik leher Andrea, namun urung. "Kau memang paling pintar mengeluarkan emosiku, hah? Bersyukurlah bahwa tempat ini ada peraturan konyol dari gulungan, atau aku sudah membunuhmu berkali-kali!"

Andrea pun terkikik, menjadikan rasa bingung pada diri Dante. Gadis ini seperti orang gila saja. Sebentar marah, sebentar memprovokasi, dan sebentar kemudian sudah tertawa tak jelas.

"Aku salut! Hihi! Aku salut padamu, Dante!" Andrea sampai menepuk-nepuk pundak Dante.

Tuan Nephilim berusaha berkelit menghindari tepukan itu meski tetap saja tak bisa karena jarak mereka dekat. "Apa maksudmu, Iblis?"

Andrea berdehem beberapa kali sebelum hentikan kikikan dia. "Aku hanya mengujimu."

"Mengujiku?" Dante kerutkan dahi. "Menguji bagaimana?"

"Menguji kesabaranmu, fuhuhuhuu..." Andrea menekuk kedua lutut dan memeluk menggunakan dua lengannya. "Ternyata kau masih bisa menahan diri tidak jadi mencekikku. Kau tadi bermaksud ingin mencekik aku, iya kan? Mengakulah..."

Dante akhirnya paham apa yang dimaksud Andrea. "Hgh, dasar Iblis busuk penuh intrik."

"Haiiih! Nephilim memang tampaknya tak pernah berkata sopan. Mungkin tak ada pelajaran budi pekerti di ras kalian," ejek Andrea sambil julurkan lidah ke Dante, kemudian bangkit berdiri dan tepuk-tepuk bokongnya untuk membersihkan pasir yang melekat.

"Kau pikir Iblis penuh kesopanan kah?!" balas Dante.

"Maaf, aku masih berdarah manusia, Tuan. Aku bukan Iblis murni. Camkan itu. Eh, bukankah Nephilim itu juga berdarah manusia?! Aku pernah mendengarnya dari Kenzo." Dua tangan terlipat di depan dada. Andrea menyeringai menang.

Dante terdiam. Dia sibuk menguasai dirinya agar tidak terpengaruh provokasi Andrea. Ini Cambion itu sedang memprovokasi untuk menguji batas kesabaran dia lagi, ya kan?

Andrea menatap sekitar. Dimensi ini sangat berbeda dengan yang dulu pernah ia datangi dengan Dante. Di sini... lebih nyaman, tidak sepekat yang dulu. "Sebenarnya ini dunia apa, yah? Apakah Iblis seperti Djanh mudah menciptakan seperti ini? Wow sekali kekuatan Iblis."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.