Devil's Fruit (21+)

Tidak Terdeteksi



Tidak Terdeteksi

0

Fruit 58: Tidak Terdeteksi

Kenzo pun membuntuti Andrea, namun gadis itu tatap galak ke Kenzo dan mengancam akan kabur lebih jauh kalau Kenzo masih akan ikut campur urusannya.

Dia kembali kesal dan ingin habiskan waktu sebentar dengan Danang, karena biasanya Danang mudah menaikkan mood Andrea. Terpaksa Kenzo membiarkan Andrea pergi bersama Danang ke rumah lelaki itu.

Setiba di rumah Danang, sang Ibu berteriak kaget. "Ini artis Korea mana yang kamu bawa, Nang?!" teriak Beliau begitu Andrea menginjakkan kaki di teras rumah tersebut. Danang hanya hidup berdua saja dengan Ibunya yang janda. Meski janda, Tante Lidya masih terlihat muda dan cantik. Tak heran Pak RT sempat naksir. Sayangnya Beliau justru berharapnya Pak Lurah saja yang naksir, karena Pak Lurah tajir melintir.

Tante Lidya segera melepas semua rol rambut yang menempel, dan melepas juga koyo cabe yang ada di kening dan lehernya. Ia lekas membenahi penampilannya, dikira anaknya membawa artis luar negeri yang siapa tau itu adalah calon menantu dia.

Andrea menundukkan kepala penuh sopan pada Tante Lidya.

Sekarang Tante Lidya yang kelimpungan. Tak menyangka anak lakinya bisa membawa gadis Korea yang putih mulus nan cantik maksimal ke rumah kampung mereka. Dikiranya sih ada syuting film Korea yang berlatar tempat kampung mereka ini. "A-anyeong haseo..." Tante Lidya berusaha menyapa pakai Bahasa Korea. "Eh, bener itu salamnya, kan? Ato... kamsahamnida?"

Si Cambion malah cekikikan bareng Danang. Tentu saja geli melihat gelagat kelimpungan Tante Lidya. "Tak perlu repot-repot mencari kosakata Bahasa Korea, Tante."

"Eh busyet!" Sekarang Tante Lidya malah terpekik takjub. "Nih bule Korea bisa Bahasa Indonesia juga, Nang! Aduduuhh~"

"Tante, saya bukan orang Korea." Nah, jahilnya Andrea malah kumat.

"La-lalu... orang mana? Hongkong? Pilipina? Tiongkok?" Tante Lidya menyebut beberapa nama negara yang orang-orangnya terkenal cantik dan tampan di benua Asia. "Atau Thailand? Ah! Pasti Jepang! Iya! Pasti orang Jepang, haik?! Haik, yes?!"

Kedua remaja itu pun semakin terkikik geli. Dua-duanya kompakan jahil sepertinya, nih.

"Dia orang Timbuktu, Ma." Danang pun bersuara.

Sang Mama menggeleng. "Plis deh, Nang. Jangan sok ngibulin Mama. Gini-gini Mama paham kok tampilan orang Timbuktu kayak gimana." Tante Lidya menyipit, sewot.. "Matanya jelas tidak seperti neng geulis ini, lah! Apalagi kulitnya!"

"Halah, Ma." Danang tepok jidat. "Ya udah, deh. Terserah Mama mo ngiranya dia orang mana. Tapi ni orang mo dikeringin di sini ato mo diajak masuk, Ma?"

"Eh, iya!" Sekarang gantian Tante Lidya yang tepok jidat. "Duh, maaf... maaf, haik! Saya lupa, haik!" Tante Lidya meraih bahu Andrea dan menggiring masuk ke dalam rumah. "Hayok, mari masuk, haik! Di dalam nanti akan saya sediakan yang enak-enak. Cemilan. You know cemilan? Haik?"

Andrea senyum geli. "Haik, deh Tante. Arigatou." Tuh, jahilnya makin menjadi. Tante Lidya pun jadi tambah yakin Andrea versi baru ini sungguh orang Jepang.

"Come... come... sit down dulu, haik! Saya ambilkan cemilan. Ah, snack! Yes, snack!" Dan tak menunggu haik dari Andrea, Tante pun melayang ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi sang 'tamu'.

"Ma." Danang ikut menyusul di dapur. Tangannya mencomot kacang mete di toples yang ada di rak dapur.

"Ada apa, sayank?" Mama masih sibuk memotongkan kue Red Velvet untuk ditaruh di piring kecil.

"Gak. Gak ada apa-apa, kok. Pengen ke sini aja." Danang senderkan punggung ke meja dapur sembari amati kegiatan sang Ibunda.

"Sayank, kamu kok bisa kenal ama cewek Korea, gimana ceritanya?"

"Loh, Ma... katanya Jepang. Kok pindah ke Korea lagi?"

"Oh iya bener, Mama lupa. Hihi. Ya itu, kok bisa kamu kenal ama cewek Jepang? Emang dia ada kegiatan apa di Indonesia? Dia blasteran Indonesia, yah? Lagi liburan?"

"Ya, kali." Danang asal-asalan menjawab. "Emangnya kenapa, Ma?"

"Enggak." Mama pun selesai memotong kue merah tersebut, dan kini menatap sang anak. "Siapa tau itu calon menantu Mama, hihi..."

"Halah, Ma. Ngarepnya tinggi amat. Awas kepentok rudal Kim Jong-Un loh, Ma."

"Haisshh kamu ini. Oh ya, sayank... tolong ambilkan gelas panjang yang biasa untuk tamu di rak sana."

"Gak usah pake gelas begituan, Ma. Pake ini aja." Danang sodorkan sebuah gelas dari bahan plastik melamin bergambar Rambo. Iya, Rambo. Entah siapa produsen pembuat gelas ajaib tersebut, sampai memajangkan gambar sebuah karakter film fenomenal tahun 80-an.

Kening Ibunya berkerut. "Kok itu, sih? Itu kan gelas yang biasa dipakai Andrea."

"Hihi... Mama masih inget ama Andrea, yah." Anaknya terkikik.

"Jelas ingat, dong! Dari kecil kan mainnya sering ke sini."

"Makanya pakai gelas ini aja, Ma."

"Kok itu, sih?"

"Udah, percaya aja ama Danang. Pasti tamunya bakalan seneng." Danang malah tuangkan jus melon yang biasa ada di kulkas, dicampur dengan jus semangka. Dua jus itu wajib ada sehari-hari. Tante Lidya ini memang Ibu yang telaten urusan gizi anaknya.

"Eh? Kok di... campur?" Tante Lidya tambah keheranan. "Itu kan-"

"Iya, ini minuman favorit Andrea kalo di sini. Ya, kan Ma? Siapa tau tamunya juga suka minuman aneh kayak gini."

Tanpa menunggu komentar sang Ibu, Danang pun membawa sepiring kecil Red Velvet plus jus duo fussion melon-semangka.

"Woi, crut. Nih gue bawain kesukaan elu semua," tukas Danang begitu sampai di ruang keluarga. Ia pun letakkan kedua benda di tangannya ke meja di hadapan Andrea yang menatap penuh binar.

"Huaaahh~ sudah lama aku tidak makan dan minum ini! Rasanya kangen sekali. Terima kasih, yah Nang. Kamu memang sohib terhebat aku di sini." Andrea langsung saja meraih piring kecil dan segera memotong-motong roti enak itu untuk dijejalkan ke dalam mulutnya. "Ummhh~ enyaakkhh~ hehe..." Ia meringis senang.

Danang mendengus geli. "Pfftt! Kelakuan lo ternyata masih sama, yah walo udah oplas ama sok-sokan pake bahasa alay."

Andrea mengangguk. "Iya, tentu saja. Hanya ini yang masih bisa aku pertahankan dari semuanya," ucapnya sembari mengunyah. Tenang saja, Andrea sudah memiliki ability mengunyah sambil bicara tanpa tersedak dari kecil. Entah itu karena kebiasaan atau karena darah Cambionnya. Anggaplah percampuran keduanya supaya adil dan beradab. Eh?!

"Pertahankan?" Danang mengernyitkan dahi. "Emangnya yang udah ilang apa aja?"

Mungkin kalau bukan Andrea, sudah tersedak ditambah terbatuk-batuk diberi pertanyaan menyudut memojok demikian. Karena ini Andrea, maka ia hanya berhenti sebentar dan menatap Danang. Agak gugup juga, tapi berusaha disembunyikan. "Ehek, penasaran ya? Cuma penasaran atau penasaran sekali?"

"Penasaran dua kali! Puas lo, kucrut?" sengit Danang yang direspon cekikikan Andrea.

"Kok..." Ternyata Tante Lidya ada di ruang tersebut tanpa ketahuan sedang mengulik keduanya. Dan sekarang beliau muncul di hadapan duo remaja itu. "...ketawanya mirip Andrea, yah?"

Andrea menelan roti yang ada di mulutnya. Bicara dengan orang lebih tua sambil makan kan tidak sopan. "Terima kasih kuenya, Tante. Enak seperti biasanya buatan Tante."

Tante Lidya makin heran. "Kok tau itu buatan Tante?"

"Ummhh... yah, tau dong. Karena rasanya khas. Manisnya beda dari buatan toko roti manapun. Punya Tante manisnya tuh ada gurih-gurihnya." Lalu sebuah senyuman dipamerkan ke Beliau.

"Ka-kamu... Andrea?!" Tante Lidya antara yakin dan tak yakin. Plus ragu.

Yang ditanya pun mengangguk seraya senyum manis.

"Lah, Mama baru nyadar?" Anaknya yang menyahut.

"Eh?!"

Dan hebohlah Tante Lidya. Dia pun sibuk bertanya macam-macam hal ini dan itu tentang perubahan Andrea yang amat mencolok. Nona Cambion pun hanya memberi jawaban standar yang sekiranya wajar bisa dilogika akal manusia.

Sementara di luar, Kenzo mengintip Tuan Puterinya yang asik berbincang akrab dengan Danang dan Tante Lidya. Melalui telepati, Andrea mengusir Kenzo. 'Sana, pulanglah. Aku ingin bersantai dengan temanku. Aku tak ingin terus marah di rumah. Apalagi jika melihat wajah kalian, para Iblis yang menjengkelkan.'

Kenzo pun patuh, dan kembali ke rumah Andrea, berharap Puteri junjungannya tidak berbuat hal konyol yang berbahaya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.